KRITIK SOSIAL
DALAM KUMPULAN CERPEN ACUH TAK ACUH
KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah ekologis menjadi tema segar dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie Layun Rampan, disamping masalah-masalah sosial lain yang ditulisnya pada masa pemerintahan Orde Baru. Sederetan nama hewan dan tumbuhan langka berbahasa Latin dihadirkan Korrie dalam beberapa cerpennya, misalnya saja dalam cerpen Penyu, ia menghadirkan nama zebrazoma, zebrazoma xanthurum, zebrazoma flavercens untuk nama latin jenis ikan hias; brassia rex, dendrabium Claudia phalaenopsis ambinoze, phalaenopsis violacea untuk nama latin jenis anggrek dan licuala grandis, licuala rumphii yang merupakan nama latin jenis palem. Masih ada beberapa nama latin lain yang muncul dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie Layun Rampan. Hadirnya nama-nama latin dalam cerpen Korrie ini menunjukkan kekayaan flora dan fauna Indonesia yang perlu dilindungi agar mereka dapat mengembangkan habitatnya juga merupakan bukti bahwa Korrie mempunyai banyak pengetahuan tentang dunia flora dan fauna.
Korrie menyimpan kegelisahan yang kuat melihat kurang responsifnya
pemerintah terhadap berbagai macam pengrusakan lingkungan. Penebangan hutan
secara liar dalam skala besar yang menyebabkan pengundulan di sana-sini dan
perburuan liar terhadap jenis-jenis hewan yang dilindungi adalah bagian mata rantai
masalah lingkungan pada masa itu. Pembantaian penyu, perburuan buaya dan
pencemaran air yang berakibat pada punahnya beberapa jenis ikan merupakan contoh tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab mewarnai cerpen Korrie dalam Acuh Tak Acuh. Para penjarah memanfaatkan kekayaan alam untuk kepentingan pribadi mereka tanpa memikirkan kelangsungan hidup kekayaan alam tersebut yang nantinya juga mereka butuhkan.Membaca kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie Layun Rampan,seakan membaca wajah ekologis Indonesia serta masalah-masalah yang terdapat di dalamnya. Inilah yang coba dibeberkannya kepada masyarakat (pembaca) sehingga
mereka mau mengintrospeksi diri mereka untuk selanjutnya diharapkan mereka bisa
melakukan sesuatu hal untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.
Kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh menyajikan masalah-masalah pelik tanpa
disertai penyelesaian atas masalah-masalah sosial yang terjadi. Banyak masalah yang muncul akibat ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah terhadap pengrusakan hutan. Penebangan hutan secara liar mengakibatkan banjir, merajalelanya wanita tunasusila dan juga berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar yang menurun karena mereka kehilangan mata pencahariannya dari hutan tersebut. Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Sementara itu pihak pemerintah kurangpeduli pada nasib mereka juga nasib hutan yang telah menjadi gundul.Pengrusakan dan penghancuran lingkungan pada zaman lampau membawa akibat-akibat yang panjang pada kehidupan masa kini. Semua dicoba ditransformasikan ke dalam kisah-kisah kehidupan yang dikaitkan dengan ekspresi umat manusia dalam hubungannya dengan lingkungan hidup.Mayoritas cerpen-cerpen Korrie dalam Acuh Tak Acuh menceritakan perjalanan hidup seorang kuli tinta yang menemui berbagai macam kepincangan dalam masyarakat yang berdampak bagi kelangsungan hidup mereka. Masalahmasalah kemiskinan; keadilan; pengangguran; pemerkosaan; pembunuhan; Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN); disorganisasi keluarga; pelacuran; pelanggaran tata
tertib lalu lintas; seks di luar nikah; delinkuensi anak; kepadatan penduduk; punahnya satwa langka; perusakan hutan; polusi dan kebijakan pemerintah atas perlindungan satwa diangkat Korrie dalam cerpen-cerpennya.Kata acuh tak acuh yang dijadikan judul dalam kumpulan cerpen Korrie seolah-olah merupakan aplikasi sikap tokoh ciptaannya yang kurang peduli terhadap berbagai masalah sosial yang terjadi di sekitar mereka. Secara tidak langsung hal ini juga merupakan kritikan kepada mereka yang bersikap acuh tak acuh terhadap kepincangan-kepincangan sosial tersebut.Profesi Korrie sebagai seorang wartawan tentu saja berpengaruh terhadap karya-karyanya termasuk dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh. Korrie mencoba mengungkapkan fakta berdasarkan pengamatan dan perenungannya terhadap masalah-masalah sosial di masyarakat yang didapatkannya selama perjalanannya meliput berita di berbagai daerah. Masalah-masalah sosial yang ia temui ia renungkan kemudian diolah, dengan imajinasinya ia tuangkan ke dalam sebuah cerpen. Korrie melahirkan karya-karyanya karena ingin menunjukkan kepincangan-kepincangan sosial dan kesalahan-kesalahan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Korrie sendiri sebagai anggota masyarakat yang selalu merasa terlibat sehingga ia merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat. Idealisme dan pandangan Korrie akan berpengaruh dalam menanggapi masalah-masalah sosial yang disajikannya dalam sebuah cerpen secara tidak langsung Korrie akan mengungkapkan pendapat dan sikapnya atas masalah-masalah sosial yang terjadi dalam cerpennya tersebut.Masalah-masalah sosial yang disajikan Korrie atas fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat ke dalam cerpen-cerpenya secara otomatis membuat cerpencerpen tersebut mengandung kritik sosial yang ingin ia sampaikan kepada masyarakat agar mereka lebih peka terhadap lingkungan sosialnya.Tidak semua sisi kehidupan dapat dituangkan dalam sebuah pemberitaan.Seorang wartawan harus berhati-hati dalam menyusun kalimat, data dan hasil pengamatannya sehingga berita menjadi laporan yang tidak objektif. Keadaan demikian menjadi beban himpitan berat bagi wartawan, mereka tidak memiliki kebebasan untuk mengatakan yang sebenarnya.Pada masa Orde Baru dimana cerpen Acuh Tak Acuh dibuat, dunia
kepenulisan tidaklah mudah. Tidak mungkin seorang penulis dapat menulis kritik
sosial secara tajam dan terbuka. Mengungkapkan hal-hal yang dianggap bertentangan
dengan kebijakan pemerintah maka penulis harus siap menerima sanksi politik. Masamasa
kejayaan Orde baru adalah tahun-tahun kelumpuhan sastra Indonesia. Hanya
sastra eskapis yang cenderung menghindar dari fakta dengan mencari ketentraman
dalam situasi rekaan dan sastra yang mengikuti keseragaman yang mempunyai hak
publikasi. Melalui sastralah Korrie mencoba membentangkan masalah-masalah yang
ada di masyarakat dan Korrie sendiri menyebut sastra jurnalistik untuk genre
kumpulan cerpennya.
Keterbatasan untuk mengungkapkan kepincangan-kepincangan yang menjadi
masalah-masalah sosial inilah yang menuntut Korrie untuk lebih berhati-hati dalam
menyampaikan kritikannya terhadap kepincangan-kepincangan tersebut. Di sinilah
kepiawaian Korrie ia tunjukkan dalam mengolah kata dan kalimat sehingga mampu
dicapai tujuan yang diinginkan. Korrie sangat matang mendeskripsikan latar tempat
dan latar budaya dengan kehidupan masyarakat yang terpencil, jauh dari hingarbingar
kota dan hidup antara satwa dan rimba yang damai. Ini menjadi pijakan bagi
korrie untuk menguatkan cerpennya.
Korrie Layun Rampan yang lahir pada tanggal, 17 Agustus 1953 di
Samarinda, Kalimantan Timur ini, selain sebagai penulis seratus buku sastra yang
meliputi novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, esai dan kritik sastra, ia berprofesi
sebagai wartawan dan editor buku untuk beberapa penerbit. Sejak Maret 2001 ia
menjadi pemimpin redaksi Koran Sentawar Pos di Barong Tongkok, Kabupaten
Kutai Barat, Kalimantan Timur. Ia juga menulis sekitar lima puluh judul buku cerita
anak-anak juga menerjemahkan sekitar seratus judul buku cerita anak-anak dari
puluhan judul cerpen dari para cerpenis dunia. Sejumlah bukunya dijadikan bacaan
utama dan referensi di tingkat SD,SLTP,SMU dan perguruan tinggi. Banyak
penghargaan yang telah ia raih antara lain, novelnya yang berjudul Upacara dan Api
Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta,
tahun 1976 dan 1998. beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film dan karya
jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara dan cerita anak-anak yang
berjudul Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997)
mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh merupakan cerpen Korrie yang dibuat pada
tahun 1990 dan diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 2003 ini terdiri atas
sepuluh cerpen yaitu ‘Penyu’, ‘Lada’, ‘Bunaken’, ‘Kejam’, ‘Patin’, ‘Teka Teki Sang
Waktu’, ‘Tanah’, ‘Jembatan’, ‘Sirih’ dan ‘Buaya’. Di antara kesepuluh cerpen
tersebut yang akan dianalisis dalam skripsi ini untuk diungkap kritik sosial, faktor
penyebab munculnya masalah sosial sebagai ekspresi kritik sosial dan cara pengarang
menyampaikan kritik sosialnya adalah ‘Penyu’, ‘Lada’, ‘Bunaken’, ‘Kejam’, ‘Patin’
‘Tanah’, ‘Jembatan’, ‘Sirih’ dan ‘Buaya’, karena kesembilan cerpen inilah yang
mengandung kritik sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas maka
muncul permasalahan sebagai berikut:
1. Kritik sosial apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh
Karya Korrie Layun Rampan yang terefleksi melalui masalah-masalah sosial
dalam kumpulan cerpen tersebut?
2. Faktor apa yang menyebabkan munculnya masalah sosial sebagai ekspresi
kritik sosial yang ada di dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie
Layun Rampan?
3. Bagaimana cara pengarang dalam menyampaikan kritik sosial dalam
kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari analisis ini adalah:
1. Mengungkap kritik sosial yang terefleksi melalui masalah-masalah sosial
dalam kumpulan cerpen Acuh Tak acuh karya Korrie Layun Rampan.
2. Mengungkap faktor yang menyebabkan munculnya masalah sosial sebagai
ekspresi kritik sosial dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie
Layun Rampan.
3. Mengungkap cara pengarang dalam menyampaikan kritik sosial pada
kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie Layun Rampan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian kedelapan cerpen dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh
karya Korrie Layun Rampan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi tentang berbagai macam kritik sosial yang terefleksi
melalui masalah-masalah sosial dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya
Korrie Layun Rampan..
2. Memberikan informasi tentang faktor penyebab munculnya masalah sosial
sebagai ekspresi kritik sosial dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya
Korrie Layun Rampan.
3. Memberikan informasi tentang cara pengarang dalam menyampaikan kritik
sosial dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya Korrie Layun Rampan.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Prinsip-Prinsip Sosiologi Sastra
Sosiologi berasal dari bahasa Yunani soio atau socious yang berarti
‘masyarakat’ dan kata logi atau logos yang berarti ‘ilmu’. Jadi sosiologi berarti ilmu
mengenai asal-usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang
mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat,
sifatnya umum, rasional dan empiris (Ratna.2003:1).
Sastra juga diambil dari bahasa Yunani, dari kata sas (sansekerta) berarti
‘mengarahkan,mengajar, memberi petunjuk dan intruksi’. Dan akhiran tra berarti
‘alat atau sarana’. Jadi sastra berarti ‘kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk
atau buku pengajaran yang baik’. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah
terbentuk menjadi kata jadian yaitu kesusastraan, yang berarti ‘kumpulan hasil karya
yang baik’ (Ratna.2003:1).
Berdasarkan definisi tersebut Ratna (2003:2) mengemukakan adanya sejumlah
definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan, dalam rangka
menentukan objektifitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemasyarakatan.
2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat
yang melatarbelakanginya.
4) Analisis terhadap karya sastra yang mempertimbangkan seberapa jauh perannya
dalam mengubah struktur kemasyarakatan.
5) Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya sastra dalam membantu
perkembangan masyarakat.
6) Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara unsur-unsur karya dengan
dengan unsur-unsur masyarakat.
7) Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai anggota
masyarakat.
8) Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra.
9) Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat.
10) Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positifistik) antara sastra dengan
masyarakat.
11) Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan
masyarakat.
12) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepensi antara sastra dengan
masyarakat.
13) Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif sebagai semata-mata proses
sosiokultural.
14) Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan pemasaran karya.
15) Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakat pembaca.
Diantara kelima belas definisi di atas definisi nomor 1, 2, 3, 11 dan 12
dianggap mewakili keseimbangan kedua komponen yaitu sastra dan masyarakat,
dengan memberikan prioritas pada definisi nomor 1. Alasannya, pertama,definisi
nomor 1 bersifat luas, fleksibel dan tentatif, kedua, secara implisit telah memberikan
intensitas terhadap peranan karya sastra. Dengan kalimat lain, definisi nomor 1
berbunyi: analisis terhadap unsur (-unsur) karya seni sebagai bagian integral unsur (-
unsur) sosiokultural (Ratna.2003:3)
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood
(1972) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmuah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses
sosial (Faruk 1999:1), sedangkan Ritzer (1975) menganggap sosiologi sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut
dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha
merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu
sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam
suatu ilmu pengetahuan.
Ritzer dalam Faruk (1999:2), menemukan tiga paradigma dalam sosiologi
yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku
sosial. Di dalam paradigma fakta-fakta sosial yang ditentukan sebagai pokok-pokok
persoalan sosiologi adalah fakta sosial yang berupa lembaga-lembaga dan strukturstruktur
sosial. Fakta sosial dianggap sebagai sesuatu yang nyata, yang berbeda dari
dan berada di luar individu. Dalam paradigma definisi sosial yang dianggap sebagai
pokok persoalan sosiologi bukanlah fakta-fakta sosial “objektif”, melainkan suatu
cara subjektif setiap individu menghayati fakta-fakta sosial tersebut. Sedangkan yang
dianggap sebagai pokok persoalan sosiologi oleh paradigma perilaku sosial adalah
perilaku manusia sebagai subjek yang nyata, individual.
Keadaan masyarakat di salah satu tempat pada suatu saat penciptaan karya
sastra, secara ilustratif akan tercermin di dalam sebuah karya sastra. Karya sastra
biasanya berisi lukisan yang jelas tentang suatu tempat dalam suatu masa dengan
berbagai tindakan manusia. Manusia dengan berbagai tindakannya di dalam
masyarakat merupakan objek kajian sosiologi. Seperti yang dikatakan Marx dalam
Faruk (1999:6), struktur sosial sustu masyarakat, juga struktur lembaga-lembaganya,
moralitasnya, agamanya, dan kesusastraannya, terutama sekali ditentukan oleh
kondisi-kondisi kehidupan, khususnya kondisi-kondisi produktif kehidupan
masyarakat itu.
Pembahasan hubungan antara sastra dengan masyarakat biasanya bertolak
dari frase De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (litelature
is an expression of society) (Wellek.1995:110). Hal ini dimaksudkan bahwa sastra
mencerminkan dan mengekspresikan hidup. Pengarang tidak bisa tidak
mengekspresikan pengalaman dan pandangannya tentang hidup, karena setiap
pengarang adalah warga masyarakat sebagai makhluk sosial.
Ratna (2003:2), mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu sosiologi dan sastra
memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian,
hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda, bahkan bertentangan secara diametral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa
ini (das sein), bukan apa yang seharusnya terjadi ( das sollen). Sebaliknya, karya
sastra jelas bersifat evaluatif, subjektif, dan imajintif. Dan perbedaan antara sastra dan
sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana
ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.
Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun
sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenso dan
Swingewood dalam Endraswara 2003:78). Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi
objek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra merupakan ekspresi
kehidupan masyarakat yang tidak bisa lepas dari norma-morma masyarakat. Meski
sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi.
Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang
merupakan suatu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang
membentukna atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan
dalam karya sastra.
Hubungan antara sosiologi dan sastra juga dikemukakan oleh Damono
(1978:6) bahwa sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencari tahu
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia
tetap ada. Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam
masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah
masyarakat itu. Pada dasarnya kajian isi sosiologi dan sastra membagi masalah yang
sama (Damono.1978:7).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sosiologi dan sastra mempunyai
hubungan yang erat; sosiologi mempelajari masalah-masalah sosial kemasyarakatan
sedangkan sastra merupakan media untuk mendokumentasikan masalah-masalah
sosial.
Pendekatan sosiologi yang banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian besar
terhadap dokumenter sastra, landasannya adalah gagasan bahwa sastra adalah
cerminan jamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin
langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan keluarga, pertentangan kelas
dan lain-lain. Dalam hal ini tugas dari sosiologi sastra adalah menghubungkan
pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema diubah menjadi hal-hal yang sosial
sifatnya (Damono 1978:8-9).
Pernyataan tersebut senada dengan yang diungkapkan Endraswara (2003:78),
yang mengatakan bahwa: hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin
(mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis atau tiruan masyarakat.
Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari
kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara
mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah
ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi
halus dan estetis. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi karena pada kenyataannya seorang
pengarang selalu hidup di tengah-tengah masyarakat atau sebuah kondisi sosial,
tempat berbagai norma dan pranata nilai berinteraksi di dalamnya. Karenanya sastra
tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terikat dengan situasi dan kondisi lingkungan
tempat sastra itu dilahirkan.
Teori sosiologi sastra tidak semata-mata digunakan untuk menjelaskan
kenyataan sosial yang dipindahkan atau disalin pengarang ke dalam sebuah karya
sastra. Teori ini juga digubahkan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya
pengarang dengan karyanya, hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial,
hubungan antara selera massa dan kualitas suatu cipta sastra, serta hubungan antara
gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan karyanya. Oleh karena itu teoriteori
sosiologi yang digunakan untuk menganalisis sebuah cipta sastra tidak dapat
mengabaikan eksistensi pengarang, dunia, dan pengalaman batinnya, serta budaya
tempat karya itu dilahirkan (Aminuddin 1990:109).
Beberapa ahli sosiologi sejak abad yang lalu telah mencoba menyinggung
sastra, namun pada hakekatnya mereka masih menganggap sastra sekedar sebagai
bahan untuk menyelidiki struktur sosial. Jaman telah menyaksikan perkembangan
pesat sosilogi agama, sosiologi pendidikan, sosiologi politik dan sosiologi ideologi,
tetapi sosiologi sastra ternyata muncul sangat terlambat. Sampai saat ini harus diakui
bahwa sosiologi sastra belum sepenuhnya merupakan suatu himpunan pengetahuan
yang mapan. Barangkali kesulitaannya terletak pada kenyataan bahwa yang dihadapi
sosiologi sastra adalah unikum yang biasa didekati dengan cara yang sangat subjektif
(Damono 1978:8). Apabila dua orang pengarang menulis tentang suatu masyarakat
yang sama maka hasilnya akan cenderung berbeda-beda, sebab cara menghayati
masyarakat dengan perasaan masing-masing individu berbeda-beda menurut
pandangan mereka.
Sosiologi sastra dianggap terlalu reduksionis, simplistik dan searah, persoalan
yang bersangkut-paut dengan persoalan yang kompleks. Dikatakan reduksionis
karena dianggap sebagai suatu lembaga yang relatif otonom, tidak ditentukan
kekuatan eksternal yang ada di luar. Dikatakan simplistik karena sosiologi sastra
langsung menghubungkan sastra dengan masyarakat, tidak memperhitungkan
kemungkinan adanya serangkaian mediasi yang memperantarai hubungan antar kedua
hal tersebut. Sosiologi sastra yang demikian dianggap sepihak karena status
otonominya yang relatif sastra tidak hanya mempunyai kemungkinan pula untuk
mempengaruhi masyarakat. Artinya, antara masyarakat dengan sastra terbuka
kemungkinan mengenai hubungan yang dialektik atau timbal balik (Faruk 1999:10).
Sastra berhubungan dengan manusia dalam masyarakat termasuk di dalamnya
usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untk mengubah masyarakat
itu. Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Keterkaitan karya
sastra dengan masyarakat biasa disebut dengan sosiologi sastra. Sosiologi dapat
memberikan penjelasan yang brmanfaat tentang sastra dan bahkan tanpa sosiologi
pemahaman tentang sastra belum lengkap (Damono, 1978: 2).
Ian Watt (dalam Damono, 1978:3-4) mengemukakan tiga macam klasifikasi
masalah sosiologi sastra. Menurut Sapardi Djoko Damono pengertian yang dipakai
Ian Watt lebih positif karena lebih membicarakan hubungan timbal balik antara
sastrawan, sastra dan masyarakat, yang secara keseluruhan merupakan bagan seperti
berikut;
Pertama, konteks sosial pengarang . Ini ada hubungannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam
pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang
sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama
harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya.
(b) profesionalisme dan kepengarangan, sejauh mana pengarang menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang.
Kedua sastra sebagai cermin masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat
dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Yang terutama mendapat perhatian
adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada
waktu karya sastra ditulis. (b) sifat “lain dari yang lain”, seorang pengarang sering
mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya. (c)
genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan bukan sikap
sosial seluruh masyarakat. (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan
masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cerminan
masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Di sini kita terlibat dalam pertanyaan pertanyaan
seperti “sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “sampai
berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” pada hubungan ini , ada tiga hal
yang harus diperhatikan yaitu: (a) sudut pandang ekstrik kaum Romantik, misalnya
menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, yang
berpendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaru dan perombak. (b) sastra
bertugas sebagai penghibur. (c) adanya kompromi dapat dicapai dengan meminjam
slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur.
Klasifikasi di atas menunjukkan adanya gambaran bahwa sosiologi sastra,
yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan mempunyai cakupan luas beragam, rumit, yang menyangkut tentang
pengarang, teks sastra sebagai sebuah karya, serta pembacanya.
Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat yang bersifat deskriptif
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu sosiologi pengarang yang meliputi profesi pengarang
dan situasi sosial yang melingkupi. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan sastra
itu sendiri sebagai bidang penelaahan dan sosiologi pembaca yang memasalahkan
pembaca dan dampak sosial karya sastra.
Wellek dan Warren (1995:111) mengemukakan hubungan sastra yang erat
kaitannya dengan masyarakat. Sastra dalah ungkapan perasan masyarakat, sastra
mencerminkan dan mengekspresikan hidup. Pengarang tidak bisa tidak
mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Lebih lanjut Wellek dan
Warren ( 1995:105) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu telaah sosial terhadap
suatu sastra. Sosiologi dapat diartikan sebagai pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Sosiologi mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat yang
bersifat eksternal mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem
ekonomi, sosial, adapt istiadat dan politik (Wellek dan warren 1995: 110).
Wellek dan Warren (Damono 1978:3), mengemukakan adanya tiga klasifikasi
pendekatan sosiologi sastra yaitu:
1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan
lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
2. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi
pokok penelaahan adalah apa yang menjadi tujuannya.
3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial sastra.
Klasifikasi sosiologi sastra dari Wellek dan Warren inilah yang akan
digunakan dalam penelitian skripsi tentang kritik sosial dalam kumpulan cerpen Acuh
Tak Acuh karya korrie Layun Rampan, yang menitikberatkan pada sastra yang
mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah
apa yang tersirat daam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
2.2 Kritik Sosial dalam cerpen
Kata ‘kritik’ yang lazim kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Yunani krinein yang berarti ‘mengamati, membandingkan dan menimbang’.
Dan kritik itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pengamatan yang diteliti,
perbandingan yang adil terhadap baik-buruknya kualitas nilai suatu kebenaran sesuatu
(Tarigan,1985:187-188). Sedangkan menurut KBBI (Alwi,2001:601) kritik adalah
kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk
terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Berdasarkan kedua pendapat
tersebut bila dihubungkan dengan kritik terhadap suatu karya sastra ,kritik adalah
tanggapan terhadap hasil pengamatan suatu karya sastra yang disertai uraian-uraian
dan perbandingan-perbandingan tentang baik buruk hasil karya sastra tersebut.
Kata sosial menurut KBBI (Alwi,2001:1085) adalah berkenaan dengan
masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum. Dari definisi ‘kritik’ dan
‘sosial’ tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud kritik sosial adalah
tanggapan terhadap karya sastra yang berhubungan dengan masyarakat atau
kepentingan umum yang disertai uraian-uraian dan perbandingan tentang baik buruk
karya sastra tersebut.
Ajib Rosidi dalam Tarigan (1985:175), mengatakan bahwa bentuk cerpen
merupakan bentuk karya sastra yang digemari dalam dunia kesusastraan setelah
perang dunia kedua. Bentuk ini tidak saja digemari pengarang yang dengan sependek
itu bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang dua puluh atau tiga puluh
tahun sebelumnya barangkali menki dilahirkan dalam dalam sebuah roman, tetapi
juga didiskusikan oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak
usah mengorbankan terlalu banyak waktu. Dalam beberapa bagian saja dari satu jam
seseorang bisa menikmati sebuah cerpen.
Cerpen atau cerita pendek sebagai salah satu prosa fiksi merupakan hasil
pengungkapan pengalaman kehidupan sastrawan yang bersumber dari realitas-realitas
objektif yang ada dilingkungan sosial (Hardjana:80). Banyaknya permasalahan pokok
yang diangkat oleh pengarang melalui karya-karyanya menunjukkan betapa jelinya ia
memotret berbagai gejolak yang ada di sekelilingnya. Pembaca yang kritis tentu tidak
hanya memilih bacaan sastra yang murah, tetapi benar-benar memilih buku-buku
yang dapat menambah wawasan hidupnya.
Sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang
terkait erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan
(Jabrohim, 2001:167). Seorang pengarang senantiasa dan niscaya hidup dalam ruang
dan waktu tertentu. Ia senantiasa akan telibat dengan beraneka ragam permasalahan.
Dalam bentuknya yang paling nyata ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat
atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi.
Pernyataan di atas senada dengan apa yang diungkapkan Tirtawirya (1982:83) bahwa
renungan atas kehidupan merupakan suatu ciri khas yang senantiasa terdapat dalam
karya sastra. Dengan demikian keadaan masyarakat di sekitar pengarang akan
berpengaruh terhadap kreatifitas pengarang dalam menghasilkan karya sastra.
Pengarang dalam menciptakan karya sastra mempunyai hak penuh untuk
mengharapkan kebebasan dari masyarakat, namun masyarakat juga mempunyai
alasan untuk mengharapkan rasa tanggung jawab sosial dari pengarang (Damono
1978:54). Rasa tanggung jawab ini berupa rasa kritik atau protes, tidak untuk
membuat ilusi tetapi untuk menghancurkannya. “Bagaimanapun sastra, secara
tersurat maupun tersirat merupakan penilaian kritik terhadap jamannya” (Damono
1978:54).
Menurut Saini K.M. (1994:1-2) ada dua unsur yang diperlukan untuk terjelma
apa yang biasa dinamakan kreatifitas. Kesadaran manusia, yaitu kepekaan pikiran,
perasaan, dan hasratnya adalah unsur yang pertama; unsur kedua adalah realitas yaitu
rangsangan-rangsangan, sentuhan-sentuhan dan masalah-masalah yang melingkupi
serta menggiatkan kesadaran manusia itu. Dalam konfrontasinya dengan realitas,
kesadaran manusia dapat mengambil dua pilihan (alternatif), yaitu menolak atau
menerima realita itu. Menolak berarti prihatin terhadapnya, menyanggah atau
mengutuk. Ketiga keterarahan ini berada dalam lingkungan tindak protes atau kritik.
Pengungkapan kreatifitas tersebut oleh Esten (2000:10) disebut sebagai cipta rasa
yang merupakan pernyataan hati nurani pengarang dan hati nurani masyarakat yang
di dalamnya terdapat sikap, visi (pandangan hidup), cita-cita, dan konsepsi dari
pengarang. Esten (2000:10), selanjutnya mengatakan bahwa sebuah cipta rasa
merupakan kritik terhadap kenyataan-kenyataan yang berlaku.
Saini K.M. (1994:3-4) mengemukakan adanya beberapa jenis protes dalam
sastra sesuai dengan sisi-sisi realitas yang merangsangnya. Pengalaman pahit getir
hubungan perorangan antara dua jenis kelamin berbeda menghasilkan begitu banyak
karya sastra yang indah dalam sastra berbagai bangsa; di dalamnya termasuk protes
yaitu protes pribadi. Lingkungan pergaulan yang lebih luas, misalnya pergaulan antar
kelompok dalam masyarakat atau antar bangsa, dapat juga menimbulkan protes.
Inilah yang biasa dimasukkan ke dalam protes sosial. Namun protes dalam arti
berprihatin, menyanggah, berontak, mengutuk, tidak membatasi sasarannya hanya
pada hubungan perorangan atau hubungan dengan Tuhan.
Dominannya kritik atau protes sosial dalam sastra itu identik pula dengan
dominannya masalah sosial dalam kehidupan atau lembaga di luar sastra. Menurut
Nurgiyantoro (2000:331), sastra yang mengandung pesan kritik atau disebut dengan
sastra kritik, lahir di tengah-tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres
dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Banyak karya sastra yang memperjuangkan
nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat kecil yang perlu dibela, rakyat kecil
yang dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan. Berbagai penderitaan rakyat itu
dapat berupa menjadi korban kesewenangan, penggusuran, penipuan atau selalu
dipandang, diperlakukan atau diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah
dan salah. Semua itu adalah hasil imajinasi pengarang yang telah merasa terlibat dan
ingin memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannyalewat karya-karya yang
dihasilkannya.
Dengan adanya pengaruh lingkungan masyarakat terhadap hasil karya seorang
pengarang, kebanyakan akan memunculkan kritik sosial terhadap ketimpangan yang
terjadi dalam masyarakat. Nurgiyantoro (2000:331) mengatakan sastra yang
mengandung pesan kritik dapat disebut sebagai kritik-biasanya akan lahir di tengah
masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan
masyarakat. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan,
ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lain.
2.3 Masalah Sosial sebagai Ekspresi Kritik Sosial
Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek
1995:109). Pernyataan tersebut mempunyai pengertian bahwa sastra menyajikan
kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan social yang disesuaikan dengan
norma masyarakat. Sastra yang baik merupakan cerminan sebuah masyarakat.
Sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan
manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan kemudian diungkapkannya
kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Dengan demikian
pengarang akan memperlihatkan sikap dan pandangannya tentang berbagai unsur
kehidupan manusia.
Menurut Sani K.M. (1994:14-15) sastra merupakan gambaran kehidupan,
namun sebagai gambaran kehidupan sastra tidak pernah menjiplak kehidupan, sastra
tidak menyerap bahan-bahan dari kehidupan dengan sembarang. Sastra memilih dan
menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada tujuannya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dalam membaca karya sastra dapat ditemukan gambaran
kehidupan yang asing dan bahkan sukar dipahami, disamping gambaran yang dapat
dilihat. Sumardjo (2000:40) mengatakan bahwa sastrawan yang tinggi pendidikannya
dan mempelajari berbagai ilmu yang dekat dengan kemanusiaan akan memiliki sikap
seorang intelektual. Suatu sikap yang peka menangkap gejala budaya bangsanya dan
berusaha memecahkan masalah itu melalui teknik sastra yang dikuasainya. Sastrawan
–sastrawan inilah yang dekat hubungannya dengan masalah kemanusiaan.
Karya sastra lahir tidak bisa lepas dari masyarakat karena sastra merupakan
refleksi kehidupan masyarakat. Seperti apapun bentuk karya sastra (fantastis dan
mistis) akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial (Glickberg dalam
Endraswara. 2003:77). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra akan
tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat.
Pengarang melalui karyanya bermaksud memperluas, memperdalam dan
memperjernih penghayatan pembaca terhadap salah satu sisi kehidupan yang
disajikan ( Saini K.M.: 1994:15). Kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat terdiri
dari berbagai macam permasalahan. Endraswara (2003:79) mengatakan bahwa
sosiologi sastra merupakan penelitian yang terfokus pada masalah manusia, karena
sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa
depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi. Dari pendapat ini tampak
bahwa perjuangan panjang manusia akan selalu mewarnai teks sastra. Tentu saja
masalah-masalah yang disajikan seorang pengarang itu mengandung kritik yang ingin
ia sampaikan kepada pembacanya, atas apa yang ia lihat dalam kehidupan sosialnya.
Sastra membantu pembaca di dalam menghayati kehidupan secara lebih jelas,
lebih dalam, dan lebih kaya. Artinya, melalui citra sastra sebagai pembanding,
pembaca menjadi mampu melihat kehidupan dengan mempergunakan sudut pandang,
pendekatan, dan acuan yang lebih banyak (Saini K.M, 1994:50-51). Dengan demikian
diharapkan pembaca dapat menghayati kehidupan dengan lebih baik, diharapkan pula
pembaca dapat mengendalikan kehidupannya dan kehidupan kemasyarakatannya
dengan lebih baik sehingga kesejahteraan dapat tercapai baik bagi dirinya maupun
bagi sesama anggota masyarakat.
2.3.1 Jenis-Jenis Masalah Sosial
Menurut Soekanto (2002:355) yang dimaksud masalah sosial adalah gejalagejala
abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur
dalam masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga
menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan. Ahmadi (1997:12)
mendefinisikan masalah sosial sebagai segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
umum atau suatu kondisi perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang yang
berdasarkan atas studi. Mereka mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan
terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan.
Soekanto (2002:365-394) mengemukakan kepincangan-kepincangan yang
dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem nilai-nilai
sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang
dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, misalnya:
a. Kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak
sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga
tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok
tersebut.
b. Kejahatan. Kejahatan diartikan sebagai orang-orang yang berperikelakuan
dengan kecenderungan untuk melawan norma-norma hukum yang ada. Kejahatan
yang perlu mendapatkan perhatian pada saat ini adalah apa yang disebut whitecollour
crime, yang merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau
para pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya
c. Disorganisasi keluarga. Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga
sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajibankewajiban
yang sesuai dengan peran sosialnya.
d. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat: yang termasuk ke dalam
pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat antara lain;
a) pelacuran, diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri
kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan
mendapatkan sejumlah uang.
b) delinkuensi anak-anak, sorotan terhadap delinkuensi anak-anak Indonesia
terutama tertuju pada pelanggaran yang dilakukan anak-anak muda dari kelas
sosial tertentu yang tergabung dalam suatu ikatan atau organisasi baik formal
maupun semi formal yang mempunyai tingkah laku yang kurang disukai di
masyarakat pada umumnya.
c) alkoholisme, dapat diartikan sebagai gaya hidup membudayakan alkohol.
d) homoseksualitas, adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang
sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual.
e. Masalah kependudukan yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan
masalah demografi, antara lain; bagimana menyebarkan penduduk secara merata
dan bagaimana mengusahakan penurunan angka kelahiran. Kepadatan penduduk
yang tidak seimbang merupakan salah satu masalah kependudukan di Indonesia
yang belum bisa diatasi sepenuhnya sampai saat ini.
f. Masalah lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup berhubungan dengan halhal
atau apa-apa yang berada disekitar manusia , baik sebagai individu maupun
dalam pergaulan hidup. Masalah lingkungan hidup ini dibedakan menjadi tiga
yaitu: 1) lingkungan fisik yaitu semua benda mati yang ada di sekeliling manusia,
2) lingkungan biologis yaitu segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa
organisme yang hidup di samping manusia itu sendiri, 3) lingkungan sosial yang
terdiri dari orang-orang secara individual maupun kelompok yang berada di
sekitar manusia.
g. Birokrasi. Pengertian birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirarkis, yang
ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang
untuk kepentingan pelaksaan tugas-tugas administratif.
2.3.2 Faktor yang Menyebabkan Munculnya Masalah Sosial
Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan
kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri
individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma
tersebut merupakan gejala abnormal yang merupakan masalah sosial (Soekanto
2002:360). Faktor yang melatarbelakangi munculnya masalah sosial yang timbul
dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yaitu:
Faktor ekonomis. Problema-problema yang berasal dari faktor ekonomis
antara lain kemiskinan, -pengangguran, dan sebagainya. Faktor ini merupakan faktor
yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat pada jaman modern yang
serba canggih.
Faktor biologis. Penyakit baik itu jasmani maupun cacat fisik merupakan
contoh masalah sosial yang bersumber dari faktor biologis.
Faktor Psikologis. Dari faktor psikologis muncul persoalan seperti penyakit
syaraf (neurosis), bunuh diri, disorganisasi jiwa dan seterusnya.
Faktor kebudayaan. Persoalan yang menyangkut perceraian, kejahatan,
kenakalan anak-anak, konflik rasikal dan keagamaan bersumber pada faktor
kebudayaan.
Sudah tentu, setiap masalah dapat digolongkan kedalam lebih dari satu
kategori. Misalnya, kemiskinan mungkin merupakan akibat berjangkitnya penyakit
paru-paru yang merupakan faktor biologis atau sebagai akibat sakit jiwa yang
bersumber dari faktor psilogis. Atau, dapat pula bersumber pada faktor kebudayaan,
yaitu karena tidak adanya lapangan pekerjaan, dan seterusnya (Soekanto 2002:361).
2.4 Cara Pengarang Menyampaikan Kritik Sosial
Karya sastra dapat dipandang sebagai sarana bagi seorang pengarang untuk
berdialog, menawar dan menyampaikan keinginan yang dapat berupa pandangan
suatu hal, gagasan, moral atau amanat (Nurgiyantoro, 2000:335). Cara pengarang
mengungkapkan gagasan, ide dan perasaannya dapat dilakukan melalui berbagai cara
, masing-masing pengarang mempunyai cara berbeda.
Secara umum bentuk penyampaian pesan moral dalam karya fiksi mungkin
bersifat langsung atau tak langsung (Nurgiantoro,2000:335). Jadi bentuk
penyampaian realitas sosial oleh pengarang dapat dilakukan dengan langsung ataupun
tak langsung dan dapat dikatakan juga bahwa bentuk penyampaian itu dilakukan
dengan metode atau cara eksplisit dan implisit.
2.4.1 Bentuk Penyampaian secara Tersurat
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat tersurat boleh dikatakan
identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat teeling atau penjelasan,
expectory. Pesan moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca
dilakukan secara eksplisit. Pengarang dalam hal ini tampak bersifat menggurui
pembaca Karena secara langsung memberi nasihat dan petuahnya
(Nurgiyantoro.2000:335).
Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu
kepada pembaca, teknik penyampaian langsung bersifat komunikatif. Artinya,
pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan oleh
pengarang dalam karyanya. Pembaca tidak usah sulit-sulit menafsirkan sendiri
dengan jaminan belum tentu pas (Nurgiyantoro.2000:335-336).
2.4.2 Bentuk Penyampaian secara Tersirat
Bentuk penyampaian secara tersirat, pesan tersirat dalam cerita, berpadu
secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Yang ditampilkan dalam cerita
adalah peristiwa-peristiwa konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam
menghadapi peristiwa konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik
maupun yang terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut
messages (pesan) moral disampaikan (Nurgiyantoro, 2000:339).
Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca dengan cara
penyampaian kritik secara tersirat. adalah hubungan yang tidak langsung atau tersirat.
Kurang adanya pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca, pengarang
terkesan menyembunyikan pesan dalam teks, dalam kepaduannya dengan
keseluruhan cerita, di pihak lain pembaca berusaha menemukan lewat teks cerita itu
(Nurgiyantoro.2000:340).
Penyampaian kritik secara tersirat dalam sebuah karya sastra biasanya
menggunakan gaya bahasa sebagai alat komunikasi pengarang. Menurut Gorys Keraf
(1988:129-145) berdasarkan langsung tidaknya suatu makna tuturan, gaya bahasa
dibedakan ke dalam beberapa jenis antara lain.
1. Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat
yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau
pendengar.
2. Pertanyaan Retoris atau Erotesis
Pertanyaan retoris atau erotesis adalah semacam pertanyaan yang sebenarnya
tidak memerlukan jawaban karena penanya sebenarnya sudah mengetahui
jawaban atas pertanyaannya tersebut.
3. Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada atau dapat berarti semua hal yang menarik
perhatian karena kebenarannya.
4. Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah majas yang menyatakan persamaan satu hal dengan
hal lain dengan menggunakan kata seperti, sama, bagaikan, laksana, dan
sebagainya.
5. Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung,
tetapi dalam bentuk yang singkatan
BAB III
MACAM-MACAM KRITIK SOSIAL DAN FAKTOR PENYEBAB
MUNCULNYA SERTA CARA PENYAMPAIAN KRITIK SOSIAL CERPEN
ACUH TAK ACUH KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN
4.1 Macam-Macam Kritik Sosial Dalam Kumpulan Cerpen “Acuh Tak Acuh”
Kumpulan cerpen “Acuh Tak Acuh” mayoritas menceritakan perjalanan hidup
seorang kuli tinta, yang selama dia menjalankan profesinya menemui berbagai
macam permasalahan sosial. Permasalahan-permasalahan sosial yang disajikan
Korrie di dalam cerpennya merupakan salah satu usahanya memberikan kritikan
berdasarkan peristiwa yang ada dalam kumpulan cerpen “Acuh Tak Acuh” adalah
sebagai berikut.
4.1.1 Masalah Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah pelik yang pada umumnya
dijadikan sebagai pangkal dari suatu masalah, bahkan tak jarang dijadikan alasan
dalam melakukan tindak kejahatan. Kritik atas kemiskinan terlihat dalam cerpen
‘Lada’, ‘Kejam’, ‘Tanah’, dan ‘Jembatan’.
Taraf hidup yang dianggap tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari atau
hidup susah dialami tokoh To dalam cerpen ‘Lada’. Cerpen ‘Lada’ mengisahkan
perjalanan To, seorang wartawan sebuah majalah wanita yang mencintai Murtiyah,
gadis desa penjual jamu. Suatu saat dia pergi meninggalkan Murtiyah karena harus
menyelesaikan kuliahnya dan bekerja agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya
kelak setelah menikah. To berjanji akan kembali dan bertanggung jawab atas benih
cinta yang mereka tanam. Setelah sekian lama, saat To kembali keluarga Murtiyah
sudah pindah rumah, ikut transmigrasi. To sudah berusaha mencari mereka hingga
suatu saat ia bertemu dengan Martiani, yang tidak lain adalah anak kandungnya
bersama Murtiyah. Martani tak mau mengakui To sebagai ayahnya, dia menganggap
To sebagai penyebab kematian ibunya dan penderitaan batin kakeknya. Martianipun
ingin membalas dendam dengan membunuh To.
Hidup pas-pasan sebagai seorang mahasiswa yang harus diusir oleh pemilik
rumah merupakan hal yang biasa dialami To selama kuliah bersama Rajana,
temannya.
Dahulu, beberapa tahun lalu kami sama-sama hidup susah saat masih sekolah.
Beberapa kali mengalalami pengusiran dari tempat pemondokan karena
terlambat membayar sewa, dan di tempat baru Rajana selalu tertawa.
(Lada:20)
Di samping beratnya pelajaran, kepalaku dipenuhi permasalahan ekonomi.
(Lada:24)
Walaupun dengan hidup yang sengsara karena harus mangalami beberapa
kali pengusiran mereka bertekad menyeesaikan sekolahnya. Cacian dan makian dari
pemilik rumah mereka jadikan sebagai motifasi untuk menyelesaikan sekolah
secepatnya.
Memang sakit rasanya hidup dalam kemiskinan akan tetapi sekolah kami
sama-sama dapat dirampungkan. (Lada:20)
Sebagai mahasiswa yang miskin, aku membutuhkan uang untuk
merealisasikan cita-cita. Aku pikir jika saja aku dapat menjual ke kota, dan
aku mendapatkan untung, meskipun tak besar, aku tak lagi di kejar-kejar
kontrakan kamar! (Lada:24)
Kutipan di atas menunjukkan adanya usaha To untuk mengatasi kemiskinan
yang menekannya, selain sekolah agar cepat lulus dia juga bekerja. Ia berusaha
menjual hasil panen lada ayah Murtiyah ke kota agar ia mampu membayar uang
kontrakan tiap bulannya.
Maraknya pencurian kayu yang dilakukan para pengusaha dari dalam dan luar
negeri di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, menyebabkan hutan menjadi gundul,
banyak hutan rimba berubah menjadi hutan-hutan industri. Hal ini berdampak pada
berkurangnya perekonomian rakyat sekitar hutan.
Kampung-kampung hanya tinggal gigit jari terpuruk kemiskinan yang
menyerang hingga ke hulu hati! (Lada:20)
Hidup susah karena keadaan ekonomi yang boleh dikatakan kurang juga
dialami tokoh Aku dalam cerpen ‘Kejam’, ‘Tanah’, dan ‘Jembatan’. Dalam cerpen
‘Kejam’, pekerjaan tokoh Aku sebagai seorang pegawai rendahan sebuah perusahaan
dengan gaji pas-pasan mengharuskan dia naik bus setiap pagi, saat berangkat bekerja.
Kota Jakarta yang macet di pagi hari membuat dia hampir tiap hari terlambat sampai
di kantor.
Kadang aku sangat tega menyalahkan diri sendiri, mengapa aku mampu hidup
melarat, sehingga harus menumpang kendaraan umum pergi-pulang bekerja.
(Kejam:49)
Gaji yang Aku dapat hanya cukup untuk makan sehari-hari keluarganya. Uang
untuk ongkos transpor setiap pagi ia berangkat bekerja saja dengan susah payah ia
sisihkan, jarang ada uang tersisa untuk kebutuhan yang kurang penting apalagi untuk
membeli koran, satu fasilitas yang tidak penting untuk ukuran keluarga miskin.
Setiap berangkat, biasanya aku membeli koran murah, seharga seratus rupiah.
Hanya kadang-kadang aku mampu membeli koran yang harganya empat ratus
rupiah. (Kejam:51)
Namun hampir sebulan ini aku sudah tak mampu lagi membeli Koran, namun
aku selalu bersyukur. (Kejam:51)
Apa gunanya aku membaca segala yang mewah, sementara untuk ongkos saja
masih ngos-ngosan? (Kejam:53)
Memang susah hidup dalam derita kemiskinan, apalagi hidup di tengahtengah
ibu kota Jakarta yang penuh dengan kemewahan dan biaya hidup yang serba
mahal. Persaingan materi di kota metropolitan menuntut penghuninya bersaing
mengumpulkan uang, pangkat dan jabatan menentukan posisi mereka dalam
masyarakat.
Pahitnya menjadi orang kecil, selalu terkucil, dan susahnya menjadi kuli,
karena harus mau memikul apa saja, bahkan harus mengemban tugas tanpa
tahu hari minggu. Harus siap sedia sehari semalam. (Tanah: 101)
Tokoh Aku dalam cerpen ‘Tanah’ , selain bekerja sebagai seorang wartawan
ia menulis beberapa puisi. Beberapa kali dia bersama rekan-rekannya mengadakan
sarasehan bersama dan membacakan karya-karya baru mereka. Kadang-kadang dia
harus rela meninggalkan acara sastra itu jika ada peristiwa yang harus ia liput saat itu
juga. Suatu hari ia harus pulang mengurus persiapan pernikahannya dengan Sunarti.
Namun kebahagiaan Aku dengan pernikahannya malam itu harus kandas karena
bencana longsor akibat hujan deras. Rumah dan kedua mempelai tertimbun di dalam
tanah akibat longsor.
Selain dapat dilihat dari kutipan cerpen ‘Tanah’, pahitnya nasib menjadi orang
kecil terlihat dari kutipan cerpen ‘Jembatan’ berikut ini.
Sungguh menyakitkan pundak yang keberatan, bagaikan kemiskinan yang
menggerogoti hati dan jiwa, membuat perasaan kebal kemanusiaan.
(Jembatan:111-112)
Hal tersebut diungkapkan sang tokoh Aku, seorang peliput berita melihat
beban yang harus ditanggung sebuah jembatan, dilalui berbagai macam kendaraan
yang bermuatan berat. Hal itu mengingatkan dia akan nasib orang-orang yang hidup
dalam kemiskinan.
Permasalahan ekonomi tidak hanya dialami oleh seseorang sebagai individu
atau sebuah keluarga namun dapat juga terjadi pada sebuah lembaga atau instansi.
Cerpen ‘Jembatan’ memperlihatkan adanya kekacauan perekonomian yang dialami
oleh sebuah bank yang dilikuidasi karena bank tersebut kritis likuiditasnya.
“Ide banyak, modalnya tak ada,” kawanku wartawan masih ngotot dengan
argumentasi kemiskinannya. “Bank saja sulit memberikan pinjaman, karena
banyak bank kritis likuiditas, lalu para bankir berguguran seperti bintang
jatuh. Bagaimana mungkin membuka usaha baru?” (Jembatan:115)
Kritik terhadap masalah kemiskinan dalam cerpen ‘Lada’, ‘Kejam’, ‘Tanah’,
dan ‘Jembatan’ merupakan kritik ysng ditujukan kepada tokoh utama dalam cerpencerpen
tersebut. Kemiskinan yang dialami tokoh-tokoh utama tersebut hendaknya
menjadi motivasi untuk meningkatkan pendapatannya agar bisa hidup layak.
4.1.7 Masalah Kependudukan
Penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan salah satu masalah
kependudukan di Indonesia. Urbanisasi yang dilakukan penduduk dengan harapan
taraf hidupnya akan lebih baik di kota, membuat jumlah penduduk kota meningkat.
Jakarta adalah kota yang banyak menjadi tempat impian banyak orang untuk
menyandarkan hidupnya. Kepadatan penduduk kota Jakarta bisa dilihat dari makin
ramainya pemakai jalan raya, baik mereka yang menggunakan mobil pribadi ataupun
mereka yang naik kendaraan umum sampai berdesak-desakan dan bergelantungan.
Bus kemudian merangkak seperti dipepeti oleh banjir kendaraan. Seakan
mobil, sepeda motor, bus, metromini, kopaja, mikrolet, mercy dan ribuan
kendaraan lainnya begitu saja diturunkan dari cakrawala, tumplek di tengahtengah
kota Jakarta. (Kejam:56)
Kritik terhadap masalah kepadatan penduduk digambarkan melalui padatnya
arus lalu lintas di sepanjang jalan di ibu kota Jakarta pada saat jam-jam kerja. Hal ini
merupakan kritik terhadap para urban yang berbondong-bondong dating ke kota
dengan harapan mendapat penghidupan yang layak, namun pada kenyataannya belum
tentu demikian.
4.1.8 Masalah Lingkungan
Masalah lingkungan yang dicoba diangkat dalam kumpulan cerpen ‘Acuh Tak
Acuh’ sebagai refleksi ungkapan kritik sosial adalah masalah punahnya satwa langka,
perusakan hutan, polusi air dan udara serta masalah kebijakan pemerintah atas
perlindungan satwa.
4.1.8.1 Kritik Terhadap Punahnya Satwa Langka
Kritik terhadap punahnya satwa langka tercermin dalam cerpen ‘Penyu’ dan
‘Buaya’. Penyu merupakan salah satu jenis satwa langka yang perlu dilestarikan
karena hampir punah. Cerpen ‘Penyu’ mencoba mengungkapkan masalah punahnya
penyu dan burung Maleo.
“Pikiranku diberati oleh penyu, sementara aku harus mengetik laporan tentang
pemusnahan habitat burung Maleo.” (Penyu:6)
Aku tergeregap seperti kehilangan cara untuk menemukan kalimat yang harus
ditancapkan pada tuts mesin tik. Laporanku tentang pembantaian penyu di
kawasan pesisir utara Sorong hingga Manokwari rasanya tak akan dapat
diselesaiakan. (Penyu:9)
Sementara dengan adanya fenomena kelangkaan satwa, masih ada saja
manusia yang tidak peduli terhadap kelestariannya. Perburuan liar terhadap satwa
langka terus saja mereka lakukan. Pembantaian penyu marak terjadi di kawasan
pesisir utara Sorong hingga Manokwari tanpa memperhatikan regenerasi mereka,
mereka diburu sampai ke telur-telurnya.
Aku sering trenyuh sendiri kalau melihat penyu-penyu yang mati, melihat
bekas galian lubang tempat telur penyu diletakkan, yang telah diambil para
pemburu liar, kini kosong karena tak ada isi apa-apa lagi! (Penyu:9)
Buaya juga merupakan salah satu satwa langka yang perlu dilindungi, dalam
cerpen ‘Buaya’ diungkapkan kritik terhadap pemburuan buaya karena kulitnya
mempunyai nilai jual yang tinggi. Cerpen ‘Buaya’ menceritakan tentang seorang
pemburu buaya yang sudah kaya raya berkat ratusan buaya yang berhasil ia bunuh.
Dia sangat bangga dengan kemampuannya melumpuhkan begitu banyak buaya yang
merupakan salah satu jenis binatang buas.
Akan tetapi mata buaya yang minta belas kasihan akan kehidupan tak pernah
kuhiraukan yang penting bagiku adalah uang, dan kocekku yang tebal karena
hasil keberanianku berburu buaya. (Buaya:150)
Uangku cepat sekali beranak-pinak, lebih cepat dari penetasan telur-telur
buaya, lebih cepat dari perkembangan hidup buaya dari anak buaya hingga
menjadi buaya dewasa yang dapat diambil kulitnya dijadikan komoditas yang
mahal harganya. (Buaya:150)
Setumpuk uang yang bias mereka peroleh dari hasil penjualan buaya membuat
mereka lupa akan kelestarian binatang itu sendiri. Habitat buaya akan punah jika dia
diburu terus tanpa ada kesempatan bagi mereka untuk berkembang-biak. Hal ini akan
mengurangi spesies binatang langka yang ada di Indonesia.
“Tetapi akan punah jika diburu terus tanpa pelestarian. Mana ada buaya yang
bisa bertelur jika induknya habis kau bantai?” (Buaya:152)
Kritik terhadap perburuan satwa langka dalam cerpen ‘Penyu’ dan ‘Buaya’
ditujukan kepada para pemburu binatang tersebut yang begitu tega memusnahkan
habitat mereka hanya demi sejumlah uang.
4.1.8.2 Kritik Terhadap Perusakan Hutan
Penebangan hutan secara liar merupakan masalah sosial yang berdampak
buruk bagi lingkungan. Apalagi kalau kejahatan itu dilakukan secara besar-besaran
maka dapat menimbulkan terjadinya banjir dan tanah longsor. Kritik terhadap
penebangan hutan secara liar tercermin dalam cerpen ‘Lada’ dan ‘Jembatan’.
Seorang kawan yang baru kembali dari perbatasan, mengatakan banyak
penebangan kayu liar terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia. Disamping
pengusaha yang memiliki izin HPH, banyak pengusaha liar menjarah hutan
kita. (Lada:18-!9)
Pencurian kayu di hutan ternyata tidak hanya dilakukan oleh penduduk
setempat tetapi juga warga negara asing. Pencurian kayu di daerah perbatasan antara
Indonesia dengan Malaysia dilakukan oleh warga negara asing dengan membawa
kayu hasil curiannya ke daerah mereka melalui jalur yang telah mereka buat.
“Menurut penduduk di situ ada dua perusahaan kayu asing yang tanpa ijin,
masuk sembunyi-sembunyi mengangkat kayu di malam hari. (Lada:19)
“Ya, dengan pontoon. Ditarik hingga sekitar tujuh belas kilometer ke bagian
wilayah negara tetangga.” (Lada:19)
“Ada jalur jalan yang menusuk jantung rimba Indonesia, tetapi bukan jalan
yang dibuat pengusaha HPH kita.” (Lada:19)
Fenomena pencurian kayu di hutan juga terlihat dari kutipan cerpen
‘Jembatan’ berikut ini.
Namun tak kuingat akan pengundulan hutan –apakah oleh petani huma, HPH,
HTI, atau kebijakan dan aktivitas negatif lainnya- sehingga semua hutan
berubah menjadi hutan industri, yang kuingat adalah jembatan!
(Jembatan:110-111)
Hutan rimba telah berubah menjadi hutan industri karena banyak kayu-kayu
yang ditebangi baik oleh petani maupun pihak Perhutani. Kayu-kayu yang mereka
tebang dijual untuk menghasilkan sejumlah uang.
Mencuri kayu di hutan seakan-akan sudah menjadi suatu mata pencaharian
masyarakat sekitar. Melihat para pencuri kayu berangkat bekerja ke hutan sudah
merupakan kesibukan yang biasa dilihat sehari-hari. Hal ini terlihat dalam kutipan
cerpen ‘Jembatan’ berikut ini.
Untung kami berdua bisa selamat, dan itu berkat pertolongan penduduk yang
lewat karena sedang dalam perjalanan pergi mencuri kayu di hutan HPH.
(Jembatan:119)
Kritik terhadap penebangan hutan secara liar baik yang dilakukan secara
individu maupun kelompok ditujukan kepada para penjarah hutan yang tidak
memperhatikan akibat dari ulah mereka.
4.1.8.3 Kritik Terhadap Polusi
Polusi atau pencemaran dapat terjadi di udara, air dan tanah. Dalam kumpulan
cerpen “Acuh Tak Acuh” kritik atas polusi terdapat dalam cerpen ‘Bunaken’,
‘Kejam’, dan ‘Patin’. Pencemaran yang terjadi dalam cerpen tersebut adalah
pencemaran air dan udara.
Sebagai juru warta, aku memang harus setia. Meskipun merasa lelah karena
aku telah maraton dalam tugas di sepanjang Sungai Citarum –yang diduga
tercemar polusi- meliput tiga PLTA yang berakhir di Cirata. (Bunaken:34)
“Empat bulan ini aku selalu mengambil tugas luar Zal. Kini aku di sini ,
sembari meliput ke Inderagiri tentang patin yang yang mati, yang di duga
terkena polusi” (Patin:69)
Kedua kutipan diatas menunjukkan terjadinya polusi air di sepanjang Sungai
Citarum dan di Inderagiri. Polusi air tersebut berdanpak pada matinya spesies yang
hidup di dalamnya, seperti halnya ikan patin. Ikan patin merupakan maskot ikan di
Riau dan menjadi komoditas yang menjanjikan bagi masyarakat. Bisa dibayangkan
kalau saja jenis ikan ini punah, bisa jadi masyarakat akan mengalami krisis
perekonomian.
Kritik atas terjadinya polusi udara tercermin dalam cerpen ‘Kejam’ dan
‘Patin’ dalam kutipan berikut.
Kadang-kadang ada yang tak bertimbang rasa. Sudahlah kendaraan penuh
sesak, seseorang –entah leleki atau perempuan- ada-ada saja yang iseng
merokok dengan asap mengepul ke penumpang lainnya, dibauri lagi dengan
bau angin atau bau durian yang rada membusuk seperti diaduk denganbau
nangka dan cempedak. (Kejam:50)
Kutipan di atas mencoba memberikan kritikan kepada orang-orang yang
bersikap acuh tak acuh terhadap orang-orang di sekitar mereka dengan merokok di
dalam bus yang penuh penumpang. Mereka tidak peduli bahwa asap dari rokok
mereka bisa menganggu orang di sekitarnya.
“Kami sudah membuka,” sang konglomerat terus memandang asap industri
yang membumbung tinggi… (Patin:112-113)
Polusi udara disebabkan adanya asap, baik asap kendaraan, asap pabrik
ataupun asap rokok. Asap hasil pembakaran, berupa zat karbon dioksida merupakan
gas yang berbahaya bagi pernafasan. Nafas akan terasa terganggu dengan menghirup
gas tersebut. Apalagi kalau di dalam bus yang penuh sesak, masih ada juga yang
merokok, akan terasa menyiksa sekali bagi mereka yang tidak tahan asap. Ironis
memang, sebenarnya para perokok itu tahu kalau merokok dapat membahayakan
kesehatan jantung dan pemerintah serta perusahaan rokok tersebut sudah
memperingatkan namun mereka masih saja mengkonsumsinya sehingga menjadi
suatu kebutuhan.
Asap dari pabrik juga berbahaya bagi kesehatan dan bisa merusak lapisan
ozon yang melindungi bumi. Untuk itu pemerintah telah membuat kebijakan agar
setiap pabrik yang menghasilkan asap untuk mengatasi polusi udara dengan proses
penyaringan terlebih dahulu.
Kritik terhadap polusi udara yang disebabkan oleh asap dari cerobong pabrik
tersebut mencoba memberikan kritikan kepada para pengelola pabrik yang kurang
memperhatikan dampak dari asap pabrik tersebut terhadap lingkungannya.
4.1.8.4 Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah atas Perlindungan Satwa
Kritik terhadap kebijakan pemerintah atas perlindungan satwa tercermin
dalam kutipan cerpen ‘Penyu’ berikut.
Aku selesaikan ketikanku pada kalimat terakhir, “Jika pemburu liar dibiarkan
berkeliaran menjarah telur dan membunuh mati penyu-penyu itu, habitat
binatang ini akan punah,” tulisku dengan rasa getir, khususnya penyu hijau
dan penyu sisik yang hingga kini belum dilindungi. (Penyu:10)
Hewan juga mempunyai hak atas perlindungan seperti juga manusia, sehingga
mereka dapat meneruskan habitatnya. Penyu sebagai salah satu satwa langka yang
perlu dilindungi dari tangan para pemburu liar yang mengejar mereka sampai pada
telur-telurnya. Kutipan di atas nampak adanya kritik yang ditujukan kepada
pemerintah agar memberikan hukuman bagi para pembantai penyu juga satwa lainnya
untuk menjaga keseimbangan alam.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan permasalahan kumpulan cerpen “Acuh Tak Acuh”
karya Korrie Layun Rampan yang telah diuraikan di atas dapat diambil simpulan
sebagai berikut:
1. Kritik sosial dalam kumpulan cerpen “Acuh Tak Acuh” terdapat dalam
kesembilan cerpen dari sepuluh cerpen yang ada, yaitu cerpen ‘Penyu’,
‘Lada’, ‘Kejam’, ‘Tanah’, ‘Jembatan’, ‘Patin’, ‘Sirih’, ‘Buaya’, dan
‘Bunaken’. Kritik sosial yang terefleksi melalui permasalahan sosial dalam
kesembilan cerpen tersebut adalah kritik atas kemiskinan, kritik terhadap
keadilan, kritik terhadap pengangguran, kritik terhadap perkosaan, kritik
terhadap pembunuhan, kritik terhadap KKN, kritik terhadap disorganisasi
keluarga, kritik terhadap pelacuran, kritik terhadap pelanggaran tata tertib
lalu lintas, kritik terhadap seks di luar nikah, kritik terhadap delinkuensi
anak, kritik terhadap masalah kependudukan, kritik terhadap punahnya
satwa langka, kritik terhadap perusakan hutan, kritik terhadap polusi, dan
kritik terhadap kebijakan pemerintah atas perlindungan satwa.
2. Faktor yang melatarbelakangi munculnya masalah-masalah sosial sebagai
ekspresi kritik sosial dalam kesembilan cerpen kumpulan cerpen “Acuh Tak
Acuh” adalah faktor ekonomis, faktor biologis dan faktor psikologis.
3. Korrie mengungkapkan kritik sosial dalam kesembilan cerpen kumpulan
cerpen “Acuh Tak Acuh” secara tersurat dan tersirat melalui peristiwa,
ucapan tokoh, karakter tokoh serta gaya bahasa yang ada di dalamnya.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini disarankan kepada para
pembaca dan peminat sastra bahwa:
1. Kumpulan cerpen “Acuh Tak Acuh” karya Korrie Layun Rampan diharapkan
dibaca oleh pembaca dan peminat sastra sebagai hiburan yang bermanfaat
serta diharapkan mampu menumbuhkan ketajaman berfikir kritis melihat
fenomena kehidupan sosial.
2. Kumpulan cerpen “Acuh Tak Acuh” karya Korrie Layun Rampan diharapkan
dapat diteliti dengan bidang kajian yang berbeda sehingga akan diperoleh
hasil bervariasi dan dapat memperkaya khasanah sastra Indonesia.
3. Kumpulan cerpen “Acuh Tak Acuh” karya Korrie Layun Rampan hendaknya
dapat dijadikan alternatif sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sastra
Indonesia di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.1997. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensio.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra (Sebuah Pengantar Ringkas).
Jakarta: Depdikbud.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra (Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi). Yogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Esten, Mursal. 2000. Kesusastraan (Pengantar Teori dan Sejarah). Bandung:
Angkasa.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra (Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-
Modernisme). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra (Sebuah Pengantar). Jakarta: Gramedia.
Jabrohim (ed).2001. Metodologi Penelitian Sastra.Yogjakarta: Hanindita Graha
Widia.
Keraf, Gorys. 1988. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gadjah Mada
University.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Rampan, Korrie layun. 2003. Acuh Tak Acuh. Yogjakarta: Jendela.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Saini, K.M. 1994. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sumardjo, Jakob. 1981. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Bandung: Nur Cahaya.
_____________. 2000. Sosiologi Seniman Indonesia. Bandung: ITB
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Prinsip- Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tirtawirya, Putu Arya. 1982. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.
Wellek, Renne dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh
Melannie Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar