Rabu, 05 Mei 2010

Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.
Kemarau Telah Tiba

musim hujan kemarin meruncingkan rerumputan

angin desember melibas sampai mei

mengacaukan dedaunan, mengetuk-ngetuk pintu

anak-anak ketakutan, lantunkanlah adzan, lalu iqamat

prahara akan reda, kemarau menghembus tiba

ada yang mengendap-endap di dada, menyelinap pintu

dan kalbu, sekalipun lapis-lapis pintu itu begitu kokoh

tetapi lubuk hati ditembus juga oleh kupu-kupu

aku terkapar di antara bunga-bunga

kemarau merapat tiba

hari-hari meranggas, hitam kecoklatan

tidak seperti silver queen, semua berlalu saja

seperti angin di juli ini yang menyesaki hati

udara dingin dari pagi ke pagi

tetapi begitu matahari menari, rerumputan terbakar

seperti hatiku yang terbakar, hari-hari tidak menentu

jam dinding dari itu ke itu, melulu menunggu

datang-pergimu tak juga kutahu

tetapi, setiap yang tampak di banyak arah itu

mengisyaratkan puisi indah wajahmu

lalu, kapan puisimu itu menjadi puisiku?

kemarau telah tiba

Jogjakarta, 23 Juli 2009

---

Kilat-Kilat Cahaya

Oranye di Udara Gaza

Kilat-kilat cahaya oranye

di udara Gaza

Bukanlah bunga-bunga api rayakan tahun baru

Tapi tembakan roket, artileri, dan tank-tank serdadu

Israel, dan angin musim dingin menambah beku

Perempuan Palestina tak ada

yang keluar rumah

Anak-anak Palestina menggigil dalam ruang

Berdinding dingin dan pengap

Lampu-lampu padam, aliran air mati harap

Yang terus menghembus hanya angin musim dingin, riuh

Membekukan tubuh 1,5 juta

orang Gaza

Seperti patung-patung es

Jadi sasaran tembak Israel yang makin bengis

''Kami tak mau mati sia-sia,'' kata lelaki tengah baya

''Apa salah anak-anak, sampai hati rumah hangat

mereka hujani bom!'' histeria lelaki tua

Yang tentu saja tak berarti apa-apa

Ribuan rumah luluh-lantak bagai debu padang pasir

Udara beracun, tank-tank kematian membelah Gaza

Tak ada raung ambulans, tak ada obat-obatan

Tak ada makanan, terobek-robek kemanusiaan

Tapi, ada seorang perempuan jelita mengibarkan bendera putih

Sontak saja, serdadu Israel memburunya dengan peluru

Tepat di indah matanya

Dan jendela dan pintu rumah-rumah pun terbuka

Iring-iringan truk buruk mengangkut perempuan

Dan anak-anak, ke arah selatan

Banyak juga yang lari sembari menggendong anaknya

Tatapan mata trauma, terusir dari rumah mereka sendiri

Tambah malam langit tambah benderang

Bukanlah sebab bintang-gemintang

Tapi tembakan roket, artileri dan tank-tank

Israel, dan angin musim dingin memperparah

Luka Gaza, diharu-biru di tahun baru

Sementara itu tak ada adzan kemanusiaan dari arah

jazirah Arabia

Tak ada, membeku seperti istana-istana es mereka di Barat Benua

Di Gaza tak ada kehidupan, selain doa dan ketakutan

Jogjakarta, 1 Januari 2009

---

Ziarah Sunan Pandanaran

Tercatat sejarah : tepat di puncak Gunung Jabalkat

Entah jin ataukah malaikat

Perlahan membawa mereka mendarat

Seorang guru dan muridnya, keduanya makrifat

Tetapi tidak! Para kekasih tak perlu sayap untuk terbang

Dari satu tempat ke waktu, dari waktu ke tempat-tempat

Cukuplah mereka memusatkan niat

Selebihnya Allah yang menentu waktu dan ruang

Tepat di puncak Gunung Jabalkat

Tanpa tangga-tangga, sampailah makrifat

Tanpa tangga-tangga, namanya menjadi penerang

Selama hayat disebut-sebut ''Sunan Padhang Aran''

Nama yang menjadi penerang

Melewati sang Adipati Semarang

Nama yang menjadi penenang

Di detak-detak jantungnya mewiridkan Yang

Maha Penerang Yang

Maha Penenang

Allah ....

Ya, para kekasih tak perlu sayap untuk terbang

Ya, para kekasih tanpa tangga-tangga untuk sampai

Di Gunung Jabalkat, menapaki tangga demi tangga

Para peziarah sepertiku masih juga mencari-cari arah kiblat

Bayat, Klaten, 11 Agustus 2009

---

Bangun Tidur

tiap bangun dinihari

kukirim fatihah, tanda ingat pertama kali

agar kau menemaniku nanti

di saat aku berjalan ke arah sianghari

kusebut namamu berkalikali

di batas mimpi dan kenyataan

di tepi tempat tidur, menuju tidur yang lain

harap-harap cemas ini tak usai-usai

untuk pagi terindah yang disepuh matahari

bertumbuhan berjuta bunga

berlarian kijang keemasan, juga berjuta satwa

dari jendela kamarku, ini bukanlah mimpi

untuk sapa menyapa dengan bahasa

kasih sayang, hari-hari kusyukuri

untuk gerak gesit istri yang tak tua-tua

kejantanan cinta ini yang mengimbangi

maka, tiap bangun dinihari

kukirimi fatihah, tanda ingat pertama kali

agar kau mengingatku nanti

di saat aku dibangunkan, ke lain dinihari

Yogyakarta, 25 Juli 2009

---

Ziarah Maulana Maghribi

berapa tangga lagi agar sampai padamu, kanjeng maulana?

di tiap tangga ini masih basah jejak air wudlumu

aku pun meniru caramu membasuh wajah

barangkali saja dengan air yang sama

di tangga-tangga ini antara ada tiada, terdengar

al-qur'an dilagukan dalam langgam jawa

padahal engkau hadir dari arah matahari farisi

engkau mulyakan orang di sini

dengan sapaan santri dan kiai

samasekali tak ada tanda-tanda maghribi di tanah ini

selain hurup-hurup al-qur'an

bahkan tempat tidurmu pun amatlah jawa

yang tinggal cumalah sebutan "kanjeng maulana"

di perbukitan kapur selatan ini

masih berjaga doa-doamu, sehingga amarah samodra

luruh sampai di pantai, sehingga parangtritis jadi

pagar bumi bagi yogya

kanjeng maulana

berapa tangga lagi agar sampai padamu?

di puncak itu, tak kujumpa anakcucumu

selain aura doamu, sunyi itulah yang bertahta

Yogyakarta, 26 Juli 2009


SOLO DALAM MEI
di persimpangan
gadis menggemerincingkan gelang kaki nasib
lampu-lampu redup pada geliat pinggul
malam sedingin setajam jarum
bocah-bocah membayangkan harum ransum
ruh menjerit menggarami udara
saya di antara
kata-kata sederhana penuh gairah
sebuah harapan lebih berumur panjang
seperti jam tangan, selalu menunjuk ke jantung
mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
terpahat ribuan nama, dan ribuan tercecer
gedung dan rumah gemetar
menutup pintu
mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
di puncaknya ruh menjerit menggarami udara
kemana alamat?
kusahut tanda cahaya yang berkelebat
kusebar harum harapan sepanjang jalan kaki
kureguk kenyataan dari setiap ancaman
panorama kota, seperti
tangis kehilangan airmata
1999
KAKI-KAKI KECIL ITU MELUNCUR
Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Surat kabar tak henti dari teriakan
Darah tambah membasah di headline
Jam demi jam membayang harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, awan atas
Sebuah kota, diserang sepeda-sepeda motor
Mengerang, slogan, kata-kata hujatan
Seperti hujan
Fatamorgana atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa temaram
Jika gelap mulai mencat langit
Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar
Menghitung batu-batu
Seorang lelaki nanar menanti pacar
Menghitung batu-batu
Seorang gadis remaja di ujung gang
Langkahnya terserimpung
Seperti ada darah terpercik di wajah
Lampu-lampu limbung
Langkah-langkah pun urung
Piatu yang ragu turun ke jalan, tertunduk
Ia kembali ke pintu
Jika hari merapat ke pagi
Adzan subuh hanya luruh
Embun hanya jerit, tergelincir di sela batu
Kini matahari hanya tahu bahasa debu
Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Para politisi tak henti dari teriakan
Darah tambah mencacah di tanah
Hari demi hari hanya kemarau, menguap harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, asap atas
Sebuah kota, diserang parang
Menegak, slogan, kata-kata hasutan
Seperti nyala
Bola gas raksasa atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa kelam
1999
SEORANG GADIS BERORASI
- 14 Mei
Dipertemukan oleh turunnya orang-orang ke jalanan
Kemudaan megar di antara
Keringat, rasa haus, teriakan-teriakan nurani yang dirobek
Adakah lebih bening dari mata perempuan murni?
Bahasa kasihsayang menjelma
Ledakan api, coretmoret sajak-sajak garang di tembok
Aku terpanggang dua api suci
Bara lelaki disetrum kewanitaan
Dan robekan nurani nyala disulut airmata seorang ibu
1998
PANORAMA PERMULAAN HUJAN
- 20 Mei
Kami masih disiangi arus cahaya yang 32 tahun padam dalam hari-hari.
Melewati jalanan aspal.
Tugu.
Malioboro.
Air di simpang yang bertahun terkubur itu kembali berterjunan,
dalam warna pelangi disepuh senjahari.
Orang gentayangan.
Orang bercinta.
Di bawah payung, corong demokrasi.
Dan moncong senjata mengarah ke mukaku.
Tapi sajak demi sajak melesat ke udara,
menjelma api di tengah gerimis.
Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah,
kebebasan kami tenggak.
Mandi pelangi.
Dan entah bagaimana baris sajak Rendra itu
turut menggemburkan wajah-wajah tanah.
Dengan bahasanya, air mengikis kekuasaan batu-batu,
yang 32 tahun menyumbat sungai hari kami.
Tapi di alun-alun kota kenangan raja-raja hujan mengucurkan doa.
Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah.
Terpaan arus cahaya gerimis mengetuki kaca-kaca jendela kantor pemerintahan.
Orang-orang gentayangan.
Orang-orang bercinta.
Kami mendengar letusan pertama pohon cendana keramat dari barat.
Lalu meluncurlah ladang-ladang, menghamparkan hijau rumputnya.
“Oh, Tuhanku…..”
Demikianlah cara hujan membangunkan tidur negeri kemarau panjang.
Dan ketika arus gerimis menjelma cahaya menaburkan alif-alifnya ke bumi,
kami membaca harapan.
Kubah masjid kebiruan menambah gagah di hadapan.
Panorama yang hanya berakhir ke bilik hati para rumput.
Kami.
Mensujudkan diri.
1998
ODE PENCARI PINTU
Aku buka pintu
Jam di dinding masih berputar
Apa jantungku masih berdentang?
Sejak kamu dan anak-anak tak di rumah
Tatkala dari arah utara gelombang orang-orang itu
Menuntut jagung, minyak goreng, bukan keju
Aku buka pintu-pintu
Jam di dinding kota masih berputar
Apa jantungmu dan anak-anak masih berdentang?
Sejak aku tersedot arus gelombang orang-orang itu
Saat terjengkang oleh senapang yang hilang mata
Sebuah jawab. Hanya sebab sajak-sajak :
Yang diinjak bertahun
Di bawah kursi tak beranjak
Yang menyeruak, ingin menghirup hawa pagi hari
Aku buka pintu-pintu
Jam-jam telah rusak
Jantung tak lagi berdentang
Di sebuah jalan malam-malam
Seorang serdadu tersedu
Mencari kekasihnya yang
Terbakar
1998
SEEKOR DOMBA
seekor domba datang dari masakecil
mengembik di antara batu-batu
lelaki itu heran, bukankah padang rumput hijau
lama lenyap dari pandang, menggigil ia
di antara gantungan-gantungan tangan buskota
tapi tetes darah domba amisnya sampai ke mimpi
ia tak mengerti, bagaimana mungkin
berpuluh kemarau deras angin menghalau kemari
: sebuah rumah kecil, menjorok ke kali
di satu ruang kartonnya, ia disengat dingin
Gusti, Tuhannya ibrahim,
domba ini tersesat pulang!
1997
ODE UNTUK PENYAIR
Lelaki hitam itu
Lagi di pintu senjahari
Badannya mengeras
Menambah kemarau ranggas
Kayak dulu
Wajah gagu
Tapi mulut karatan itu toh berkata juga
;Rambut janggut kemlaratan ini
Tak kunjung terawat
Seperti sajak-sajak, kusisir nasib!
Tapi kayak dulu, yang gagu justru kami
Badan keras itu di mata tinggal sepenggal
Syair lagu melankolis
Seperti tomat yang diiris
Kami mengenalnya di penghujung tahun penuh hujan
Di pintu senjahari, kuyup hujan dan mimpi
Dengan teh hangat dan pisang goreng
Cerita ia pun berhalaman-halaman
Kesakitan ini memang kucari
Istri dan anak kukhianati
Gentayangan tak tentu tuju
Mengepalkan tinju pada apa yang kutemu!
Tapi itu tujuh tahun lalu. Yang gagu justru kami
Kenangan toh tersentak oleh kaing anjing
Berebut tulang
Lelaki itu datang untuk pergi
Ada degup jantungnya
Tapi apa hidupnya berdegup?
Ada sajak terbakar di jantungnya
Tapi apa ia sungguh penyair?
Lelaki hitam, kayak dulu, menghilang di ujung jalan itu
Dan lampu-lampu dan jalan itu menyiapkan terang
Barangkali di dadanya ada kota terakhir
Semoga
1997
MALAM SETELAH TURUN DI JALAN
pergi, sayang, suaramu
terlalu lembut untuk yang bernama keadilan
tapi itulah embun yang nyalangkan siapapun
agar tetap jaga di antara
jemputan batang-batang tangan
yang lebih baja dari baja
ke langit kota tiga detik menatap
mungkin sama juga langit jantungmu
deras dalam degup tapi
sunyi saja yang hingar
seorang lelaki lebih biasa pada mulut peluru
sehabis suara ditegakkan di siang
di jalan-jalan. orang-orang khusuk merobohkan
bendungan-bendungan nurani
tapi batang-batang serdadu
yang lebih baja dari baja
biarkan hidup tanpa cemas apa dan siapa
Tuhan di hati di jalan rakyat!
jerit lainnya
bukankah serdadu sama lahir dari ibu
kenapa yang tampak hantu melulu?
ya, itu di siang
tengah malamnya toh udara kelam mencium bau peluru
pergi, sayang,… istri cuma bisa ngelus
rahimnya yang mulai bergerak-gerak perlahan
di langit ada bermilyar mata meneteskan embun
suatu saat akan bangkit
turun di jalan-jalan, menumpulkan peluru
dan serdadu
1996
LAGU LANGIT MATI
Pagi itu ia lagi memanggil lagu langit
Bersila di sisi jendela
Lalu usai lalu menutup kitab
Lalu mulai menyurat lagi sajak-sajak tanpa
Tujuan yang terang :
Sepertinya dunia hanyalah
Jalan yang melingkar, tanpa halte
Tanpa terminal terakhir
Dan tempat ia berdiri mungkin saja suatu yang
Lebih mengering dari bunga-bunga di vas itu
Dan berjatuhan
Tapi lagu langit siapa
Apa turun dari udara berdebu?
Belum lagi sempat jawab, suara radio menajam
Yang di telinganya hanya memperlebar jurang
Dari pagi ini dengan pagi esok
Lalu istri mendekat makin menatah kekosongan mata
Juga gaduh anak tetangga berebut mainan
Ia masih di jendela
Ia masih mengharap sesuatu turun dari langit
1995
ORANG-ORANG BAYANGAN
Kami memasuki lagi jalanan berdebu
Yang dulu melukisi mata dan nasib
Yang berkedip-kedip dalam sebuah sajak
Yang dipenuhi kalimat lembut, tapi sesak tanjakan
Kecemasan memburu setiap ruang
Menggelepar ke sekitar, taman-taman mengering
Dan kami menjelma makhluk siang di dalamnya
Lalu kami dekap lagi tubuh kemlaratan itu
Selaksa bayang-bayang, kami bertukar tangkap
Masih dari trotoar, ke gang kecil dipenuhi rumah kumuh
Lalu langit kamar retak mengucuri pikiran dan
Perasaan kami membaca segala itu sebagai perlambang megah
Yang mungkin hanya berakhir di antara pusar surut ke paha
Menjadi lenguh dalam ledakan
(Ya mungkin ini hiburan kami satu-satunya yang anggur!)
Di situ barangkali kami menjadi makhluk siang yang
Sangsi akan diri sendiri, sekalipun
Kami hanya beroleh keringat serta airmata
Untuk dijadikan mandi malam
Untuk meredam teriakan-teriakan yang tersendat
Tapi selalu saja kami berkeras mengubur bayang-bayang
Tapi, “Ya Allah, kamilah bayangan itu sendiri di sela
jalanan berdebu.”
1994
JEMBATAN LURUS KE SENJA
Di tengah jembatan, aku atau kau antara dua nasib
Pasir Progo atau arus air deras di bawahnya
Tiba-tiba tubuhmu menggigil oleh airmata
Seperti pusaran sungai ini, memanjati tebingnya
(Mengingatkan tahun yang gemetar
September berdarah itu mengalir lagi padamu
Mengantarkan mayat tak berdosa ke muara)
Kini kengerian itu menjadi bahasa doa yang
Menggayuh cahaya langit, untuk disimpan
Dalam hatimu : sebuah kediaman yang sering mengeras
Sementara aku atau kau hanyalah dua bongkahan batu
Antara dua tebing yang senantiasa bersama
dalam mencari muara
Sepertinya kurasakan jalan jembatan ini
Kian meninggi, melewati waktu yang seperti tangga-
Tangga, lurus menuju sisa sinar senja
Bentangan sirothol mustaqim sepertinya lebih mendekat
Dan aku atau kau mesti melintas ke sana
Memilih arah satu antara dua dunia
Mungkin surga. Mungkin neraka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar