Minggu, 20 Maret 2011

METODE PENELITIAN SASTRA

Disusun oleh:
Asep Yusup Hudayat
Fakultas Satra
Universitas Padjadjaran
Bandung
2007

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik …………… 1
1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian …………………….. 2
BAB II PENELITIAN ILMIAH ……………………………………… 10
2.1 Penelitian dan Ilmu ………………………………………………… 10
2.2 Metode dan Nilai Keilmiahan ……………………………………… 16
2.3 Asas-asas Dasar Penelitian ………………………………………… 19
2.4 Penggolongan Penelitian …………………………………………… 20
2.5 Metode Kualitatif …………………………………………………… 22
2.6 Metode Deskriptif …………………………………………………. 23
BAB III SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH ……………… 29
3.1 Sastra sebagai Sistem ……………………………………………… 29
3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian …………………………………… 31
3.3. Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra ………………………… 33
iv
3.4 Pendekatan Sastra: Pengertian ……………………………………… 37
3.4.1 Pengertian Pendekatan ……………………………………….. 37
3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan ……………………………………… 38
3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif ……………………………… 39
3.4.2.2 Pendekatan Mimeis ………………………………… 40
3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik ……………………………… 43
3.4.2.4 Pendekatan Objektif ………………………………… 48
BAB IV STRUKTURALISME ………………………………………… 51
4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan ……………………………………… 51
4.2 Teori Formalis ……………………………………………………… 54
4.3 Teori Strukturalisme Dinamik ……………………………………… 55
4.4 Semiotik …………………………………………………………… 58
4.5 Struktualisme Genetik ……………………………………………… 62
4.5.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan …………………… 65
4.5.2 Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif ……………….. 66
4.5.3 Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia …………… 67
4.5.4 Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial …………………… 69
4.5.5 Metode Dialektik …………………………………………….. 71
4.6 Naratologi …………………………………………………………… 72
4.6.1 Naratologi dalam Tinjauan Umum dan Perkembangannya …… 72
4.6.2 Pelopor Naratilogi Periode Strukturalisme dan Pahamnya …… 76
4.6.2.1 Vladimir Propp ……………………………………… 76
v
4.6.2.2 Levi’Strauss ………………………………………… 78
4.6.2.3 Tvzetan Todorov …………………………………… 79
4.6.2.4 Greimas …………………………………………….. 80
BAB V RANCANGAN USULAN PENELITIAN: TINJAUAN KRITIS .. 83
5.1 Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian .......... 83
5.1.1 Latar belakang Masalah …………………………………… 83
5.1.2 Identifikasi Masalah ……………………………………….. 86
5.1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 88
5.1.4 Landasan Teori …………………………………………… 89
5.1.5 Metodologi ………………………………………………… 91
5.2 Kemampuan Menguraikan Latar Belakang Masalah dan Identifikasi
Masalah.. ......................................................................................... 95
5.3 Kemampuan Menjabarkan Tujuan Penelitian …………………… 100
5.4 Kemampuan Menyajikan Landasan Teoretis ……………………… 103
5.5 Kemampuan Menyajikan Metode ………………………………… 105
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 112
i
KATA PENGANTAR
Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan
sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan
masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian,
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan
utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai
penelitian sastra yang menuntut sebuah metode penelitian yang khusus di
samping tetap berada dalam jangkauan asas-asas penelitian ilmiah secara
universal. Adapun uraian mengenai tinjauan kritis atas rancangan sejumlah
usulan penelitian sastra dimaksudkan untuk melengkapi uraian empiris dari
rentang pembahasan metode penelitian sastra menyangkut pengertian, hakikat,
relevansi metode dan penelitian, sastra dalam penelitian ilmiah, sampai ke
uaraian beberapa pendekatan sastra dalam wilayah strukturalisme.
Materi yang disajikan dalam modul ini bersumber dari beberapa buku
dan karangan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan metode penelitian.
Sasaran utama penulisan modul ini adalah para mahasiswa yang akan
menghadapi penyusunan Usulan Penelitian Skripsi atau sedang menempuh
masa bimbingan skripsi yang menggunakan pendekatan struktural sebagai
objek formalnya.
ii
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang secara
langsung atau tidak langsung telah ikut serta mewujudkan penyusunan modul
ini. Perbaikan di kemudian hari tentunya perlu penyusun lakukan untuk
menjadikan modul ini cukup memadai sesuai kebutuhan para mahasiswa di
program strata satu dengan bidang kajian utamanya adalah sastra..
Tentunya modul ini akan menempati fungsinya yang optimal sebagai
materi pengetahuan bila dapat menumbuhkan kesadaran para mahasiswa akan
filsafat ilmu, teori, dan metode dalam ruang lingkup penelitian sastra. Dengan
demikian, penyusun berhadap modul ini dapat membuka jalan bagi tercapainya
kegiatan penelitian yang baik dengan bekal kemampuan metode yang
memadai.
Bandung, Agustus 2007
Penyusun
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik
Adakalanya pengertian-pengertian metodologi, metode, dan teknik
sering tertukar atau bahkan dicampuradukkan. Pengertian mendasar dari
masing-masing istilah adalah:
1. Metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat ilmu
mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur
intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah.
2. Metode berasal dari kata methods yang akar katanya adalah meta yang
berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; sedangkan hodos berarti
jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap
sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas; langkah-langkah
sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.
3. Teknik berasal dari kata teknikos, yang berarti alat, atau seni
menggunakan alat.
Perbedaan mendasarnya antara metodologi dan metode adalah
metodologi membahas konsep teoritik berbagai metode sedangkan metode
mengemukakan secara teknis tentang metode yang digunakan dalam kegiatan
penelitian. Upaya memilah dua pengetian tersebut berpangkal dari penyadaran
2
filsafat keilmuan yang kita anut yang berkorelasi dengan metodologi penelitian
itu sendiri.
Adakalanya para penganut filsafat ilmu yang berbeda memberi cap
bohong, munafik pada langkah-langkah kerja penelitian yang memulai
tulisannya dengan alasan pemilihan judul, perumusan masalah, dan kerangka
pemikiran penelitian. Yang memberi cap tersebut lupa atau tidak tahu bahwa
ada metodologi penelitian yang berbeda yang menggunakan dasar filsafat ilmu
yang berbeda dan menuntut langkah kerja yang berbeda pula.
Muhazir (2002: 4) menegaskan bahwa para ilmuwan peneliti perlu
menggunakan landasan filsafat ilmu. Landasan tersebut digunakan untuk
metodologi penelitian. Dengan demikian yang bersangutan sadar dalam
beberapa hal: (1) sadar filsafati, artinya dia sadar menggunakan pendekatan
filsafat ilmu yang mana; (2) sadar teoritik, artinya dia sadar teori penelitian
atau model mana yang digunakan; dan (3) sadar teknis, artinya dia mampu
memilih teknik penelitian yang tepat.
1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian
Lebih jauh Muhazir (2002: 55) menyebutkan bahwa metodologi
penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari
bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran. Prosedur kerja mencari
kebenaran sebagai filsafat dikenal sebagai filsafat epistemologis. Kualitas
kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan
kualitas prosedur kerjanya.
3
Dengan prosedur kerja yang baik, kualitas kebenaran yang diperoleh
pun sejauh kebenaran epistemologik; dan ilmu pengetahuan hanya akan
mampu menjangkau kebenaran epistemologik. Kebenaran epistemologik
tampil dalam wujud kebenaran tesis dan lebih jauh berupa kebenaran teori
yang pada gilirannya akan disanggah oleh tesis lain atau teori lain. Gerak dari
tesis dan teori yang satu ke tesis dan teori yang lain merupakan proses
berkelanjutan ilmu pengetahuan memperoleh kebenaran objekif universal yang
bukti kebenarannya hanya dapat diuji pada beragam kasus.
Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk
menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan
dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan deduksi,
eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif, dan sebaginya adalah
sejumlah metode yang sudah sangat umum penggunaannya, baik dalam ilmu
kealaman maupun ilmu sosial, termasuk ilmu humaniora.
Prosedur yang dimaksud dalam bahasan metodologi terjadi sejak
peneliti menaruh minat terhadap objek tertentu, menyusun proposal,
membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan permasalahan,
mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik
kesimpulan. Metodologi jelas mengimplikasikan metode. Tetapi metodologi
bukanlah kumpulan metode, juga bukan deskripsi mengenai metode tersebut.
Perbedaan antara ilmu kealaman dengan ilmu kemanusiaan, misalnya,
bukanlah karena perbedaan metode, melainkan karena perbedaan paradigma
dan perbedaan metodologi.
4
Berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan dengan teknikteknik
penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika secara
keseluruhan. Metode deskripsi, komparasi, struktural, dan sebagainya
digunakan dalam kedua bidang ilmu, tetapi dasar dan cara pemahamannya,
bagaimana prosedur pemahaman tersebut dibangun, jelas berbeda.
Secara definit metode dengan teknik tidak memiliki batas-batas yang
jelas. Metode sering disebutkan sebagai teknik. Ratna (2004: 37)
mengemukakan tiga cara yang dapat membedakan antara metode dengan
teknik, bahkan juga dengan teori, melalui cara:
1. membedakan tingkat abstraksinya
Abstraksi tertinggi dimiliki teori kemudian diikuti oleh metode dan
teknik. Artinya, meskipun secara teoretis metode masih bersifat
abstrak, tetapi sebagian ciri-cirinya dapat diidentifikasi secara
kongkret. Sebagai alat, teknik bersifat paling kongkret. Sebagai
instrumen penelitian, teknik dapat dideteksi secara inderawi.
Dengan demikian, teknik berhubungan dengan data primer.
Sejumlah teknik yang sering dimanfaatkan, misalnya: wawancara,
kuesieoner, rekaman, statistik, dokumen, angket, teknik kartu data,
dan sebagainya. Sampling dapat dianggap sebagai teknik pada saat
keseluruhan sampel sudah dimasukkan ke dalam sistem kartu
sehingga bersifat kongkret. Demikian juga statistik dapat dianggap
sebagai metode pada saat data sedang dikuantifikasikan sehingga
sifatnya masih abstrak
5
Pada pembicaraan yang berbeda, metode dapat menjadi teori.
Struktur adalah teori sebab sudah menghasilkan sejumlah konsep
dasar dan sudah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tetapi
sebelumnya, struktur disebut sebagai metode. Jadi, struktur bisa
menjadi metode atau teori tergantung dari tujuan dan cara pandang
peneliti.
2. memperhatikan faktor mana yang lebih luas ruang lingkup
pemakaiannya
Secara berurutan tingkat keluasan ruang lingkup pemakaian:
paradigma, metodologi, teori, metode, dan teknik; luasnya
paradigma dan metodologi disebabkan oleh penelusurannya ke
masa lampau. Luasnya teori disebabkan oleh adanya perkembangan
secara terus menerus. Teknik memiliki ruang lingkup yang lebih
sempit dibandingkan metode walaupun keduanya memiliki
pengertian yang sama. Metode yang baik adalah metode yang selalu
bersifat teknik.
3. memperhatikan hubungannya dengan objek
Makin dekat dan jelas hubungannya dengan objek maka disebut
teknik, sebaliknya makin jauh dan kurang jelas disebut metode.
6
Dalam penelitian sastra terdapat dua macam penelitian, yaitu penelitian
lapangan dan perpustakaan. Prosedur penelitian lapangan ilmu sastra hampir
sama dengan ilmu sosial. Keduanya memanfaatkan instrumen yang sama,
dengan metode dan teknik yang sama.
Prosedur penelitian pustaka dalam bidang sastra agak berbeda. Pada
umumnya penelitian pustaka secara khusus meneliti teks. Teknik yang
digunakan adalah kartu data primer maupun sekunder dengan metode yang
paling sering digunakan adalah hermeneutik yang disamakan dengan
verstehen, interpretasi, dan pemahaman. Dalam bidang ilmu lain, interpretasi
disejajarkan dengan metode kualitatif, analisis isi, dan etnografi. Metode lain
yang sering digunakan adalah deskriptif analitik, yaitu dengan jalan
menguraikan sekaligus menganalisis.
Metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra adalah:
metode intuitif, hermeneutik, metode formal, analisis isi, dialektika, deskriptif
analisis, deskriptif komparatif, dan deskripsif induktif. Sehubungan dengan
jangkauan utama pembicaraan ke arah pendekatan struktural, maka metode
yang penting untuk dikemukakan pada uraian ini menyangkut: metode
hermeneutik, metode formal, metode dialektik, dan metode deskriptif analisis.
Perbedaan masing-masing metode (Ratna, 2004: 44-46) tampak pada uraian di
bawah ini:
a. metode hermeneutik
Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah
ada sejak zama Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini
7
berfungsi untuk menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru
berkembang sejak abad ke-19 melalui gagasan Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya.
Dalam sastra dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan
interpretasi, pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmuilmu
sosial juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah,
naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan
fenomenologi.
Metode ini ini tidak mencari makna yang benar melainkan makna
yang paling optimal. Untuk menghindarkan keterbatasan proses
interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran
terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan
paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada gilirannya
menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia,
menambah kualitas estetika, etika, dan logika.
b. metode formal
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspekaspek
formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur
karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai
sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik.
Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur
karya sastra kemudian mempertalikan hubungan antarunsur tersebut
8
dengan totalitasnya.. Metode ini sama dengan metode struktural
yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode formal
memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural memiliki dan
terdiri atas unsur-unsur.
c. metode dialektika
Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis..
Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam
unsur lainnya. Individualitas dipertahankan di samping
interdependensinya. Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk
menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil yang pasti
tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala berikutnya.
Prinsip-prinsip dialektika hampir sama dengan hermeneutik, yaitu
gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah kepada penelusuran
unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode ini,
kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis tetapi
diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan makna
secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai
energi pemahaman objek.
Metode dialektika digunakan dengan sangat berhasil oleh
Goldmann dalam struktural genetik. Secara teoretis, setiap fakta
sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi.
Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang
9
atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis
itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya
sehingga proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.
d. metode deskriptif analisis
Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak sematamata
hanya menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan
penjelasan. Metode ini dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis
lainnya, misalnya metode deskriptif komparatif atau metode
deskriptif induktif.
Metode ini dapat diperoleh melalui gabungan dua metode dengan
menitikberatkan kepada metode yang lebih khas yang sesuai dengan
tujuan penelitian.
10
BAB II
PENELITIAN ILMIAH
2.1 Penelitian dan Ilmu
Penelitian merupakan bentuk nomina dari kata kerja: meneliti.
Pengertian meneliti dimaksudkan sebagai tindakan melakukan kerja
penyelidikan secara cermat terhadap suatu sasaran untuk memperoleh hasil
tertentu. Kata penelitian yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja
meneliti mengandung makna sebagaimana yang terdapat pada kata meneliti.
Penelitian dipandang sebagai sinonim riset (reseach) yang menunjukkan arti
kegiatan yang diarahkan pada kerja pencarian ulang, atau pencarian kembali
atas suatu objek, yaitu kegiatan yang memerlukan ketelitian, kecermatan, dan
kecerdasan yang memadai.
Hubungannya dengan ilmu, kegiatan penelitian erat kaitannya dengan
keberadaan kehidupan ilmu yang bersifat kumulatif. Ilmu tidak selalu dalam
keadaan mantap dan stabil tetapi sebaliknya bersifat dinamis. Kedinamisan
ilmu ditopang secara kuat oleh kegiatan penelitian. Sebagai akibatnya,
penelitian mempunyai peran penting bagi keberadaan dan kehidupan ilmu,
yaitu mengembangkan dan mempertajamnya. Jadi, ilmu dapat hidup,
11
berkembang, dan menjadi tajam berkat penelitian yang dilakukan secara terus
menerus.
Ilmu adalah pengetahuan yang bersistem dan terorganisasi. Oleh karena
itu, upaya penelitian yang dilakukan dalam rangka pengembangan ilmu
memerlukan metode yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu pula, kegiatan
penelitian yang dikaitkan dengan pengembangan ilmu merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara tertata, sistematis, dan terorganisasi untuk
mendapatkan jawaban secara ilmiah atas suatu masalah (Nazir, 1985: 9-15).
Dalam kaiatannya dengan sifat ilmu pula, penelitian mempunyai tujuan
untuk mengungkapkan gejala-gejala yang bersifat umum, yang selanjutnya
melahirkan prinsip-prinsip yang berlaku secara umum. Gejala yang bersifat
umum menjadi indikasi akan suatu kebenaran ilmiah.
Dalam rangka pengembangan ilmu dan eksistensi sosial, kebenaran
ilmiah menyimpan kegunaan ganda. Pertama, scientific objective, yaitu
mengembangkan ilmu dengan teori-teori yang sesuai dan relevan. Kedua,
practicial objective, yaitu memecahkan dan menjawab persoalan-persoalan
praktis yang mendesak.Situasi itu memperlihatkan pentingnya peran penelitian
bagi pengembangan ilmu.
Chamamah (2001:7) mengemukakan bahwa kata penelitian dapat
diinterpretasi dua macam, yaitu kegiatan yang dilakukan secara ilmiah dan
kegiatan yang dilakukan secara nonilmiah. Dalam menghadapi masalah,
penelitian yang ilmiah tidak sama dengan penelitian nonilmiah. Perbedaan
keduanya berhubungan dengan persoalan metodologis, terutama yang berkaitan
12
dengan pemanfaatan teori dan metode. Penelitian ilmiah merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan metode bersistem, nalar, dan
sesuai dengan objeknya, yaitu sifat-sifat yang ada pada ilmu. Penelitian yang
dikaitkan dengan ilmu yang disebut penelitian ilmiah- inilah yang menjadi
sasaran dalam mata kuliah ini. Kaitannya dengan kehidupan ilmu, kegiatan
penelitian dituntut untuk memakai metode yang ilmiah pula, di antaranya
adalah penggunaan sikap perpikir yang kritis dari si peneliti.
Sesuai dengan sasaran kerja penelitian yang dibahas dalam mata kuiah
ini, yaitu penelitian sastra, dapatlah diketahui bahwa melakukan kajian
terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang penting dalam perkembangan
ilmu sastra. Ilmu sastra sebagai satu disiplin akan berkembang berkat
penajaman konsep-konsep, teori-teori, dan metodologi yang dihasilkan melalui
penelitian sastra. Dapat juga dilihat perlunya ilmu sastra dan penelitian sastra
untuk perkembangan dan kesempurnaan ilmu sastra.
Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk
memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landasan dalam
mengambil keputusan. Penelitian bukan saja merupakan proses sistematis akan
tetapi juga dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (scientific methods).
Wuradji (2001: 1-2) menyebutkan bahawa penelitian merupakan proses
sistematis. Proses yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dengan
prosedur yang ditetapkan secara tertata (tersistem). Prosedurnya berarti
menggunakan urutan tertentu. Tersistem berarti menunjukkan adanya
hubungan fungsional antara kegiatan yang dilakukan. Urutan umum dari proses
13
sistematis penelitian adalah: perumusan masalah, penelaahan informasi,
pengumpulan data, analisis data, dan penyajian kesimpulan.
Banyak hal yang dapat membedakan manusia dengan makhluk hewan.
Perbedaan yang paling menonjol adalah manusia selalu mengalami
pertumbuhan intelektual, emosional, social, dan spiritual. Manusia mempunyai
kemampuan bernalar dan menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan
pikirannya. Di samping itu, manusia senantiasa mencari kesempurnaan dan
kebenaran. Oleh karena itu, manusia mencari tahu dan mencari makna. Usaha
mencari tahu dan menemukan makna tidak pernah padam karena manusia
senantiasa menghadapi masalah-masalah yang bergantian. Di samping masalah
yang dihadapi, ia ingin tahu pula tentang masalah yang dihadapi orang lain.
Semua itu merupakan rangkaian rangsangan, baik yang muncul dari dalam
dirinya maupun muncul dari luar dirinya. Rasa ingin tahu itulah yang
menyebabkan manusia secara sengaja menghimbun keterangan yang berupa
data, fakta, dan pengetahuan yang tersusun berupa konsep atau gagasan yang
saling berkaitan yang akhirnya memberikan keterangan atau penjelasan
mengenai segala sesuatu yang dialaminya.
Nazir (1985: 9) mengemukakan bahwa ilmu lahir karena manusia
diberkahi sifat ingin tahu oleh Tuhan. Keingintahuan manusia tentang
permasalahan yang terjadi di sekelilingnya dapat menjurus kepada
keingintahuan ilmiah. Dengan adanya keingintahuan manusia yang terusmenerus,
maka ilmu akan terus berkembang dan membantu kemampuan
persepsi serta kemampuan berpikir manusia secara logis yang sering disebut
14
penalaran yang mengarah kepada keilmuan tertentu. Ilmu mencakup lapangan
yang sangat luas, menjangkau semua aspek tentang kemajuan manusia secara
menyeluruh, termasuk ke dalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara
sistematis melalui pengamatan dan percobaan yang terus menerus yang telah
menghasilkan penemuan kebenaran yang bersifat umum.
Merujuk kepada pendapat di atas perihal sumber pengetahuan, kegiatan
penelitian dengan menggunakan metode tertentu sangat terikat dengan bidang
ilmu (sains) tertentu. Proses memperoleh pengetahuan melalui ilmu berbeda
dengan cara-cara memperoleh pengetahuan melalui relevasi (pengelaman
secara kebetulan), otoritas, intuasi, atau pendapat umum. Pengetahuan yang
diperoleh dengan ilmu itu adalah pengetahuan yang telah teruji dengan metodemetode
ilmiah. Sifat ingin tahu yang diperoleh melalui ilmu ini dimulai dengan
mengkonseptualisasi gambaran tentang masalah, kemudian melakukan proses
penemuan, penciptaan atau penyusunan cara-cara yang baik untuk membatasi,
menggambarkan, dan menafsirkan apa yang diamati.
Semua pengetahuan yang telah diperoleh itu rupanya senantiasa pula
dipertanyakan keabsahannya. Terjadilah usaha mencari tahu atau menemukan
kebenaran yang lebih sahih dan lebih diyakini. Untuk memverifikasi keabsahan
ilmu yang sudah ada atau menjajaki teori baru, atau memperkaya teori yang
sudah ada, orang melakukan berbagai usaha seperti perenungan kembali,
melakukan kegiatan penemuan, penyelidikan, atau penelitian. Inilah awal dari
rangkaian terjadinya kegiatan yang dinamakan penelitian.
15
Di dalam melakukan kegiatan penelitian itu terdapat dua kemungkinan
bentuk kegiatan. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan berpegang atau
bertolak dari teori yang telah ada sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan
teori itu mungkin bersifat memperkaya teori itu dengan contoh-contoh atau
menunjukkan dalam kondisi apa teori tersebut kurang tepat dan perlu
dimodifikasi. Kedua, adalah penelitian yang sifatnya memperkaya ilmu itu
sendiri dengan jalan mencari dan menemukan teori-teori baru yang sesuai atau
relevan dengan kondisi dan situasi.
Untuk sampai kepada kegiatan penelitian jenis kedua, memerlukan
sikap tanggap yang tinggi sebagai ilmuwan. Yang bersangkutan harus
mengkaji latar belakang dan proses lahirnya suatu teori. Ia harus memperlajari
dan mendalami perkembangan ilmu yang bersangkutan terutama yang
berkenaan dengan pengetahuan mengenai gejala-gejala yang berkait dengan
penemuan teori itu sendiri. Dalam hal ini, para ilmuwan tentunya berupaya
untuk mengurangi subjektivitas dan mempertinggi objektivitas. Kesimpulan
apapun yang dibuat mestilah dinilai sebagai kesimpulan sementara. Para
ilmuwan akan selalu tidak puas dengan setiap kesimpulan sementara. Oleh
karena itu, para ilmuwan selalu berusaha menemukan kesimpulan baru yang
barangkali merevisi kesimpulan-kesimpulan terdahulu. Begitulah terjadinya
penelitian yang tidak pernah henti-hentinya.
Penelitian bertujuan untuk menemukan atau menggali (explore),
mengembangkan (develop atau extention) dan menguji (testing) teori. Adapun
yang dimaksud teori adalah seperangkat construct (konsep yang saling
16
berhubungan), rumusan-rumusan dan preposisi yang menyajikan suatu
pandangan yang sistematis suatu fenomena dengan menspesifikasikan
hubungan-hubungan antarvariable dengan tujuan untuk menjelaskan dan
memprediksi gejala.
Penelitian akan menghasilkan teori, sebaliknya teori dalam
hubungannya dengan kegiatan penelitian dapat memberikan kerangka kerja
bagi pelaksanaan penelitian. Teori dapat membantu merumuskan problem,
pengajuan hipotesis, penyusunan design, pengembangan instrumen,
pengumpulan dan analisis data, serta membantu dalam menginterpretasi data.
Hubungan teori dan penelitian digambarkan sebagai berikut:
2.2 Metode Dan Nilai Keilmiahan
Peneliti ilmuwan yang memanfaatkan nalarnya di dalam bekerja
mendasarkan kerjanya atas sifat ideal ilmu, yaitu interrelasi yang sistematis dan
terorganisasi antara fakta-fakta. Dengan demikian metodenya pun bersifat
Identifikasi
masalah
Formulasi
hipotesis
Review
informasi yang
terkait
Pengumpulan
data
Analisis
data
Penyajian hasil
penelitian
Kesimpulan
dan implikasi
Teori-teori yang terkait
Ilmu pengetahuan yang
Eksis body of knowledge
Pengembangan/
Perluasan revisi
dan teori baru
17
ilmiah. Metode ilmiah bertolak dari kesangsian yang sistematis. Suatu kerja
yang didasarkan pada metode ilmiah memiliki empat nilai dasar: universalitas,
komunikasi, ketanpapamrihan, dan skeptisisme yang sistematis dan
terorganisir.
Dalam kerja penelitian, ilmu-ilmu humaniora, nilai-nilai dasar tersebut
dapat dijabarkan dalam kriteria: (1) berdasarkan fakta, (2) bebas prasangka, (3)
menggunakan prinsip analisis, (4) menggunakan hipoteisis apabila ada, dan (5)
menggunakan ukuran objektif (jarak metodologis). Penelitian ilmiah
memerlukan landasan kerja yang ilmiah pula. Landasan kerja yang dimaksud
oleh Chamamah (2001: 14) yang sejalan dengan pemahaman Muhajir (2002:
4) dirumuskan dalam tiga hal, yaitu:
1. landasan teori: landasan yang berupa hasil perenungan terdahulu yang
berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari
jawaban secara ilmiah;
2. landasan metodologis: landasan yang berupa tata aturan kerja dalam
penelitian dan bertujuan untuk membuktikan jawaban yang dihasilkan;
3. landasan kecendikiaan: bekal kemampuan membaca, menganalisis,
menginterpretasi, dan menyimpulkan; bertujuan mempertajam
penelitian guna meningkatkan kedekatan hasil penelitian.
Dalam penelitian ilmiah, dituntut langkah-langkah berturut-turut, yaitu:
(1) menetapkan persoalan pokok, (2) merumuskan dan mendefinisikan
masalah, (3) mengadakan studi pustaka, (4) merumuskan hipotesis, (5)
mengumpulkan data, (6) mengolah data, (7) menganalisis dan
18
menginterpretasi, (8) membuat generalisasi sesuai sifatnya, (9) menarik
kesimpulan, (10) merumuskan dan melaporkan hasil penelitian, dan (11)
mengemukakan implikasi-implikasi penelitian.
Dalam kaitannya dengan keberadaan kondisi produk sastra yang
menjadi sasaran kajian, perlu diperhatikan persoalan yang muncul serta
jawaban-jawaban yang diperlukan. Karya-karya tercipta pada masa kini dari
latar penciptaan sosial dan word view yang berbeda-beda melahirkan persoalan
pembacaan dari peneliti yang berlainan latar pembacaannya. Demikian pula,
produk yang tercipta dari proses transformasi karya “asing” menimbulkan pula
latar pembacaan yang berbeda dengan latar penciptaannya; juga persoalan
bentuk-bentuk resepsi dalam mentransformasi. Karya-karya yang tercipta dari
latar waktu yang berlainan akan menimbulkan persoalan yang berhubungan
dengan pergeseran makna. Dalam hal inilah pemilihan teori dan metode yang
memadai menempati peran yang penting untuk menghasilkan penelitian yang
memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi.
Pelaksanaan kegiatan yang didasarkan pada metode di atas akan
memberikan citra keilmiahan penelitian sastra sesuai dengan karakteristik
kesastraannya.
19
2.3 Asas-asas Dasar Penelitian
Wiersma dalam (Wuradji, (2001: 3-4) menjelaskan bahwa secara
umum asas-asas dasar penelitian meliputi:
1. sistematis
2. menghasilkan pengetahuan yang:
a. valid : berhubungan dengan sebarapa jauh hasil penelitian dapat
diinterpretasi (dimaknai) secara akurat dan seberapa jauh
hasilnya dapat digeneralisasi dan diimplemetasikan pada
populasi dan situasi yang lain
b. validitas internal mengarah kepada ketepatan pemahaman hasil
penelitian dan validitas eksternal mengarah kepada
penggeneralisasian hasil penelitian
c. realibel internal menunjukkan seberapa jauh pengumpulan data,
analisis data dan pemahaman yang dilakukan penelitian
konsisten dalam pemaknaan; realibel eksternal menunjukkan
seberapa jauh peneliti lain yang independen dapat mengulang
penelitian dan menunjukkan hasil yang sama dalam setting yang
serupa.
d. Objektif mengarah kepada penelitian yang terbebas dari campur
tangan atau unsur-unsur subjektif
3. didukung data empiris
20
2.4 Penggolongan Penelitian
Merujuk kepada pendapat Hogben, Charters, dan Whitney, Nazir (
1985: 29-31) menggolongkan penelitian berdasarkan tujuannya ke dalam dua
bagian besar, yaitu :
1. penelitian dasar (basic Reasearch) bertujuan untuk mengembangkan
ilmu pegetahuan. Jenis penelitian in tidak berorientasi pada hasil yang
dapat dimanfaatkan dengan segera untuk memecahkan problem yang
mendesak.
2. penelitian terapan (applied Reasearch) bertujuan untuk memecahkan
problem mendesak dan hasilnya dapat dimanfaatkan dengan segera
dalam kehidupan praktis. Salah satu tipe dari penelitian terapan adalah
penelitian tindakan (action research). Penelitian ini dilakukan oleh guru
atau manager atau administrator bertujuan untuk bahan pengambilan
keputusan dalam ruang lingkup lokal. Penelitian ini tidak banyak
menuntut untuk melakukan generalisasi.
Berdasarkan desain metodologinya, (bandingkan Nazir, 1885; Ratna,
2004; dan Muhadjir, 2003) penelitian digolongkan menjadi:
1. penelitian experiment: mengandaikan situasi penelitian di mana peneliti
setidaknya memanipulasi satu variabel penelitian untuk mengetahui
apakah terdapat hasil yang berbeda dari pengaturan atau perubahan
variabel independen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
21
membandingkan dan mencari hubungan sebab akibat. Karena itu
penelitian ini juga dikenal dengan istilah penelitian kausal-komparatif.
2. penelitian ex-post facto: peneliti tidak berusaha mengendalikan atau
mengatur/mengontrol/memanipulasi variabel independen karena
variabel penelitiannya sudah terjadi. Variabel independen tersebut
biasanya muncul atau terjadi dalam setting alami. Dari variabel-variabel
yang telah muncul secara alami tersebut, peneliti berusaha menemukan
hubungan antar variabel.
3. penelitian survey: mengendalikan variabel penelitian yang dilakukan
saat penelitian dilaksanakan. Ciri yang membedakan penelitian survey
ini dengan penelitian lainnya adalah data pada penelitian survey
merupakan current status (present conditions).
4. penelitian historis: merupakan kegiatan penelitian untuk memecahkan
masalah di mana peneliti menggali data yang telah terjadi pada masa
lampau. Tujuannya untuk mendeskripsikan fakta-fakta pada masa
lampau.
5. penelitian ethnography: pada umumnya dihubungkan dengan
penelitian-penelitian pada antropologi. Untuk penelitian-penelitian
kemasuyarakatan, ethnography merupakan pendekatan penelitian.
Penelitian ini merupakan pendeskripsian secara analitik dan mendalam
tentang situasi cultural yang spesifik.
6. content analysis; berusaha menganalisis dokumen untuk diketahui isi
dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Macam-macam
22
dokumen yang dijadikan data penelitian di antaranya: karangan tertulis,
gambar, grafik, lukisan, biografi, fotografi, laporan, buku teks, surat
kabar, film, buku harian, dan majalah.
2.5 Metode Kualitatif
Motode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang
berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode
kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan
Wilhlem Dilthey (Ratna, 2004: 47-49). Objek sosial bukan gejala sosial
sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik
tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam
hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode
pemahaman atau verstehen. Penelitian kualitatif mempertahankan nilai-nilai.
Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data
penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya
adalah karya sedangkan data penelitiannya teks.
Sejalan dengan uraian di atas, Ratna menguraikan ciri-ciri terpenting
metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah:
1. memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan
hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;
2. lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian
sehingga makna selalu berubah;
23
3. tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek
peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di
antaranya;
4. desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian
bersifat terbuka;
5. penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya
masing-masing.
2.6 Metode Deskriptif
Metode dskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sakarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat dekripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antarfenomena yang diselidiki.
Menurut Whitney (dalam Nazir, 1985: 63-65) metode dekriptif adalah
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian dskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang berlaku
dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan
kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses
yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam
metode deskripsi peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena
tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti
24
mengadakan klasifikasi serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan
menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu sehingga banyak ahli
menamakan metode deskriptif ini dengan nama survei normatif (normative
survey). Dengan metode deskriptif ini juga diselidiki kedudukan (status)
fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor
lain. Metode ini dinamakan juga studi status .
Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standarstandar.
Dalam metode ini dapat diteliti masalah-masalah normatif bersamasama
dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandinganperbandingan
antarfenomena. Perspektif waktu yang dijangkau dalam
penelitian ini adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu
yang masih terjangkau dalam ingatan responden.
Nazir (1985: 72-73) mengurutkan kriteria pokok metode deskriptif
adalah:
A. kriteria umum:
1. masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak
terlalu luas
2. tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum
3. data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan
merupakan opini
4. standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus
mempunyai validitas
25
5. harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian
dilakukan
6. hasil penelitian harus berisi secara detil yang digunakan baik dalam
mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta studi
kepustakan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya
dengan kerangka teoretis yang digunakan, jika kerangka teoretis untuk
itu telah dikembangkan.
B. kriteria khusus
1. prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai
(value)
2. fakta-fakta ataupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai
masalah status.
3. sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu tidak ada kontrol
terhadap variabel dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau
manipulasi terhadap variabel; variabel dilihat sebagaimana adanya.
Adapun langkah-langkah umum dalam metode deskrptif adalah:
1. memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada
kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang
ada
2. menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan; tujuan ini
harus konsisten dengan rumusan dan definisi dari masalah
26
3. memberi limitasi dari area atau scope atau sejauh mana penelitian
deskriptif tersebut akan dilaksanakan; seberapa jauh wilayah penelitian
akan dijangkau
4. merumuskan kerangka teori atau kerangka konseptual
5. menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan
masalah yang ingin dipecahkan
6. merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji, baik secara eksplisit
maupun secara implisit
7. melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data; gunakan teknik
pengumpulan data yang cocok untuk penelitian
8. membuat tabulasi serta analisis (statistik); dilakukan terhadap data yang
telah dikumpulkan
9. memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi
yang ingin diselidiki dan data yang diperoleh serta referensi khas
terhadap masalah yang ingin dipecahkan
10. mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan-penemuan serta
hipotesis-hipotesis yang ingin diuji
Jenis-jenis penelitian deskriptif (Nazir, 1985: 65-68) yang perlu dikenal
sehubungan dengan praktik analisis terhadap karya sastra adalah:
1. metode survei: penyelidikan untuk memperoleh fakta-fakta dari
gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara
faktual; dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap
27
hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau
masalah yang serupa
2. metode deskriptif berkesinambungan: kerja meneliti secara deskriptif
yang dilakukan secara terus menerus atas suatu objek penelitian;
penelitian dengan menggunakan metode ini bertujuan menjangkau
informasi faktual yang mendetail
3. Studi kasus: penelitian tentang status subjek penelitian yang
berhubungan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas; subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga,
maupun masyarakat. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan
gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu
yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal
yang bersifat umun
4. Studi komparatif: sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari
jawaban secara mendasar tentang sebab akibat dengan jalan
menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya
suatu fenomena tertentu. Dalam studi komparatif ini, sulit diketahui
faktor-faktor penyebab yang dijadikan dasar pembanding sebab
penelitian komparatif tidak mempunyai kontrol; metode yang
digunakan di dalamnya adalah ex post facto, yaitu data dikumpulkan
setelah semua kejadian yang dikumpulkan telah selesai berlangsung;
28
Peneliti dapat melihat akibat dari suatu fenomena dan menguji
hubungan sebab akibat dari data-data yang tersedia.
29
BAB III
SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH
3.1 Sastra sebagai Sistem
Chamamah ( 2001: 9-14) yang merujuk beberapa pendapat dari Idema,
Plark, Eliis, Eagelton, Lotman, Riffaterre, dan Teeuw, menguraikan
pemahaman sastra sebagai sistem. Ia mengawali pembicaraanya dari perspektif
bahasa sebagai sistem semiotik primer. Selanjutnya sastra dihubungkan dengan
konvensi budaya dan konvensi sastra. Secara cermat Teeuw masalah sistem
sastra yangbersifat umum sekaligus khusus. Menurutnya, menjabarkan Istilah
sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua
masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan, keberadaannya
tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra meupakan gejala yang
universal. Akan tetapi suatu fenomena pula bahwa gejala yang universal itu
tidak mendapat konsep yang universal pula. Kriteria kesastraaan yang ada
dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria kesastraan yang ada
pada masyarakat lain. Sastra mengandung sifat umum dan khusus. Pengertian
umum dan khusus di sini dapat diperjelas dengan memahami terlebih dahulu
konsep tentang sastra.
Upaya mengungkap konsep tentang sastra pada umumnya dipandang
tidak mudah. Hal ini disadari juga oleh para kitikus dan teoretis sastra.
30
Pertanyaan yang berhubungan dengan penjelasan tentang konsep sastra selalu
muncul tetapi selalu pula berakhir dengan kesimpulan yang menunjukkan
kegagalannya. Melalui sistem sastralah, upaya mengenali konsep sastra dapat
dilakukan.
Fenomena yang terlihat universal dan sekaligus individual itu
memperlihatkan sifat-sifat yang dapat ditarik dari berbagai sisinya. Wujud
ciptaan yang dipandang sebagai hasil kegiatan bersastra pertama-tama dilihat
dari sisi bahannya, yaitu berupa bahasa. Pemakaian bahasa pada kegiatan
bersastra berbeda dengan pemakaian bahasa pada kegiatan yang lainnya,
seperti pada pemakaian sehari-hari (natural atau ordinary language).
Perbedaan ini memberi kesan akan adanya sifat yang spesial yang dalam
banyak hal tidak mengikuti tata aturan bahasa sehingga sering disebut
“menyimpang atau yang sering menimbulkan interpretasi ganda. Dalam rangka
fungsi inilah bahasa sastra mempunyai susunan yang kompleks. Sifat-sifat
yang diangkat dari corak bahasanya mewujudkan sastra sebagai satu sistem.
Apabila bahasa dalam kehidupan sehari-hari merupakan sistem pembentuk
yang pertama maka sastra merupakan sistem yang kedua, secondary modelling
system.
Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat
dilihat dari berbagai sisi, di antaranya dari sisi bahan. Sastra tidak ditentukan
oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam macam cara
tertentu oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang
dipakai mengandung fungsi yang lebih umum.
31
Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada
hakikatnya untuk menyampaikan informasi. Pemanipulasian bahasa pada
hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang
maksimal. Dengan demikian, visi dan fungsi sastra terwujud sebagai sarana
komunikasi, yaitu komunikasi dengan penikmatnya atau pembacanya.
Pekerjaan meneliti sastra pada hakikatnya merupakan proses pertemuan
antara ciptaan sastra dengan penelitinya, yaitu pembacanya. Dalam hal ini,
perlu pula diperhatikan situasi pembaca dan pembacaan pada waktu
berhadapan dengan karya sastra. Pembaca yang dibekali sejumlah
pengetahuan, disadari atau tidak akan menjadi bekal dalam pembacaannya.
Terjadilah pembacaan teks yang berstruktur yang menghasilkan dua kutub.
Keduanya bergerak dalam irama yang dinamis. Dengan demikian, membaca
bukanlah proses yang berjalan satu arah, dari pembaca saja, tetapi satu bentuk
interaksi dinamis antara teks dan pembacanya. Sastra dipahami sebagai satu
sistem yang terbaca pada ciptaan-ciptaan yang oleh masyarakatnya
dikategorikan sebagai produk sastra.
3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian
Sebagai ilmu, ilmu sastra mempunyai karakteristik keilmiahan sendiri.
Dalam hal ini penelitian harus memilih metode dan langkah-langkah kerja yang
tepat dan sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Salah satu yang menarik
dalam menggunakan metode penelitian sastra adalah perihal keharusan adanya
distansi, kerja yang objektif, dan terhindar dari unsur prasangka dari
32
perspektif. Gejala dengan situasi kesastraan inilah yang sering menuntut
perhatian tersendiri.
Penerapan metode ilmiah seperti yang dikemukakan di atas perlu
mempertimbangkan sifat sastra yang memperlihatkan gejala yang universal
sekaligus khusus atau unik. Gejala universal pada sastra membuat sastra
memiliki sifat-sifat yang umum. Karya sastra adalah wujud kreativitas manusia
yang tergolong konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya
menjadi kaidah. Namun, keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat,
bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang
khusus. Dalam hal ini, generalisasi sebagaimana yang dianjurkan oleh suatu
metode penelitian (positivistik) tentu saja tidak dapat dilakukan. Langkah yang
bisa dilakukan adalah transferabilitas.
Karya sastra terbentuk untuk mengetahui segala sesuatu yang organik.
Tugas pembaca untuk mengetahui segala kekaburan elemen-elemen yang
berfungsi membentuk kesatuan itu. Pembaca bertugas menghubungkan
berbagai strata yang berbeda-beda pada tempatnya yang betul. Karena karya
sastra pada mulanya mengandung unsur yang kabur, pembacalah yang
mewujudkannya menjadi tidak kabur. Dalam mengungkapkan dan menyibak
kekaburan itulah, sejumlah peralatan diperlukan, di antranya hasil renungan
orang terdahulu tentang masalah atau berbagai hal yang berkaitan dengan
masalah dalam penelitian, seperti berbagai teori dan pandangan-pandangan
yang pernah ada.
33
3.3 Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra
Pembicaraan paradigma menjadi penting dalam menempatkan teori
pada sebuah penelitian (Ratna, 2004: 21). Paradigma berasal dari bahasa Latin:
paradigma berarti contoh, model, pola. Secara luas paradigma didefinisikan
sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi
untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah.
Bagi ilmuwan, paradigma dianggap sebagai konsep-konsep kunci
dalam melaksanakan suatu penelitian tertentu. Paradigmalah yang menentukan
jenis-jenis ekspermen yang harus dilakukan oleh para ilmuwan, jenis-jenis
pertanyan yang harus diajukan, dan jenis-jenis permasalahan yang harus
dipecahkan. Tanpa paradigma, ilmuwan tidak bisa mengumpulkan data.
Terdapat tiga hal yang mempengaruhi perbedaan paradigma seorang
ilmuwan, sebagai berikut:
1. unsur dalam diri sendiri
2. unsur luar berupa lingkungan fisik
3. unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai objek penelitian,
paradigma di sini dibicarakan dalam kaitannya dengan teori dan metode di satu
pihak, dan di pihak lain berhubungan dengan sifat-sifat dasar karya sastra
sebagai objek. Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak
menimbulkan masalah sebab komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri
34
yang relatif sama, konsep-konsep dasar yang memungkinkan subjek untuk
menganalisis objek penelitian. Permasalahan yang agak kompleks akan timbul
apabila paradigma dikaitkan dengan objek karya sastra. Di satu pihak, sebagai
cara pandang, paradigma secara keseluruhan didasarkan atas asumsi-asumsi
ilmiah yang memungkinkan subjek untuk menghadapi masalah secara objektif.
Di pihak lain, sebagai hakikat kreatif karya sastra didominasi oleh
subjektivitas, imajinasi, bahkan khayalan.
Sebagai bentuk kegiatan ilmiah, penelitian sastra memerlukan landasan
kerja yang berupa teori. Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam,
tersistem, dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai
pengarah dalam kegiatan penelitian. Teori memperlihatkan hubunganhubungan
antarfakta yang tampaknya berbeda dan terpisah ke dalam satu
persoalan dan menginformasikan proses pertalian yang terjadi di dalam
kesatuan tersebut. Selanjutnya, hasil penelitian dalam arah balik akan
memberikan sumbangannya bagi teori. Jadi, antara teori dan penelitian pun
terdapat hubungan saling mengembangkan.
Sesuai dengan beraneka ragam ilmu, maka teori pun juga beraneka
ragam. Dalam penelitian sastra, pemilihan macam teori diarahkan oleh masalah
yang akan dijawab oleh penelitian dan oleh tujuan yang akan dicapai oleh
penelitian. Contohnya, penelitian yang memasalahkan construct suatu wacana
akan memanfaatkan teori struktural, dan sebagainya.
35
Ritzer (dalam Ratna: 2004:26) mengemukakan empat faktor yang
berkaitan dengan metode kualitatif secara filosofis. Keempat faktor tersebut
adalah:
1. faktor ontologis, keberadaan objek yang sendirinya berada di antara
masing-masing ilmu; dalam ilmu humaniora, khususnya sastra, objek
dikonstruksikan oleh individu sebagai peneliti
2. faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan;
secara kualitatif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit bahkan
seolah-olah tidak ada jarak
3. faktor aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan
penelitian kuantitatif yang bebas nilai
4. faktor metodologis, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode,
teori, dan teknik.
Paradigma ilmu sastra dengan demikian mencoba menjelaskan konsepkonsep
yang mendasari pandangan dunia ilmuwan sastra, baik dalam kaitannya
dengan individu maupun kelompok; baik dalam kaitannya dengan kaidahkaidah
sastra secara keseluruhan maupun sastra sebagai genre, termasuk
model-model pendekatan dalam kaitannya dengan kecenderungan
multidisiplin. Paradigma dengan demikian mendahului, mengkondisikan
ilmuwan sastra, ke arah mana penelitian sastra diarahkan, jawaban-jawaban
apa yang akan diberikan. Pada gilirannya, baik secara eksplisit maupun implisit
paradigma mengkondisikan teori, metode, teknik dan proses selanjutnya.
Perbedaan dan perkembangan paradigma melahirkan angkatan, periode,
36
generasi, aliran, dan berbagai paham yang lain. Dengan kalimat lain, teori dan
metode tidak berarti apa-apa apabila dibandingkan dengan peranan paradigma.
Relevansi pengalaman paradigmatis terhadap hakikat karya secara
keseluruhan jelas berkaitan dengan hakikat karya, gejala kultural sebagai
kualitas imajinasi dan kreativitas. Para ilmuwan sastra sejak semula telah
memahami bahwa karya sastra bukan kenyataan sesungguhnya. Keseluruhan
unsur, termasuk tokoh-tokoh, latar tempat dan waktu, bahkan juga nama dan
tahun yang sama dengan sejarah umum adalah unsur yang diciptakan. Karya
sastra tidak menyediakan referensi apa pun yang dapat dijadikan pedoman
untuk menjelaskan fakta sejarah, kecuali referensi estetisnya. Unsur-unsur
karya sastra hanya berfungsi dalam totalitas karya, bukan totalitas alam
semesta yang melatarbelakanginya. Novel sejarah, novel psikologis, demikian
juga novel ilmu pengetahuan tidak dimaksudkan untuk melegitimasikan aspekaspek
sejarah, psikologis, demikian juga novel ilmu pengetahuan tidak
dimaksudkan untuk melegitimasikan aspek-aspek sejarah, psikologis dan ilmu
pengetahuan, melainkan semata-mata sebagai alternatif terhadap bidang ilmu
yang ditunjuknya dengan pertimbangan bahwa ada dunia lain yang seolah-olah
sama dengan dunia yang ditunjuknya.
Pengalaman paradigmatis terhadap genre-genre sastra sama dengan
hakikat tersebut. Perbedaannya, subjek dalam hubungan ini telah memiliki
referensi yang digunakan sebagai dasar untuk memahami dan mengembangkan
hakikat imajinasi. Puisi, novel, dan drama, puisi, drama bersajak, dll
memperoleh pengertian melalui pengalaman paradigmatis tersebut.
37
Penjelajahan terhadap konsep-konsep paradigma sama pentingnya
dengan teori, tetapi dalam penelitian konsep paradigma tidak muncul secara
eksplisit. Demikian juga konsep-konsep yang berkaitan dengan metodologi
yang tidak pernah dipertimbangkan sebagai butir-butir penelitian. Paradigma
dan metodologi dianggap sebagai komponen-komponen yang secara inklusif
mempengaruhi dan mengarahkan peneliti pada suatu kesadaran tertentu,
sehingga berbeda dengan peneliti lain dengan paradigma dan metodologi yang
berbeda. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa paradigma dan
metodologi merupakan jiwa dan semangat penelitian yang kemudian diarahkan
oleh teori dengan mempertimbangkan cara yang sudah disepakati, yaitu metode
dan teknik.
3.4 Pendekatan Sastra
3.4.1. Pengertian Pendekatan
Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 53-
55). Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis, pendekatan
berasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan
penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek,
sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan
menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa sebuah penelitian
merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan metodis, maka
perlu dibedakan antara metode dengan pendekatan.
38
Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi
baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan dimungkinkan
untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam hubungan inilah,
pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan
sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik, pendekatan objektif,
ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya. Definisi tersebut bersifat relatif
sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan yang hendak dicapai sehingga
sebuah pendekatan pada tahap tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan
adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu.
Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan
merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian. Pada
dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan
mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah
yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan
penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.
3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan Sastra
Empat komponen utama pendekatan sastra yang dikemukakan Abrams
menjadi bagian penting dalam teori strukturalisme. Empat pendekatan yang
dimaksud adalah (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan mimesis, (3)
pendekatan pragmatik, dan (4) pendekatan objektif.
39
3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian
terhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi
dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri
pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan ini
dapat dimanfaatkan untuk menggali ciiri-ciri individualisme, nasionalisme,
komunisme, feminisme, dan sebagainya dalam karya baik karya sastra
individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.
Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkan
karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan
pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi
persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang
dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada
penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur
genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari faktafakta
tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang
secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa
pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi
pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsipersepsi,
pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan
dunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui
pendekatan ini adalah: (1) memerikan sejumalah pikiran, persepsi, dan
40
perasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya,
(2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang
ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupa
watak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data yang
diperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut
watak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data
sekunder berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh,
sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun
sosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasil
ciptaannya dengan data biografisnya.
3.4.2.2 Pendekatan Mimesis
Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman,
yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang
sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams, 1958:8).
Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu
yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti
misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk
kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya Luxemberg, 1989:15).
Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan.
Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap
sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya
sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.
41
Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94)
mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Maxist. Menurut konsep ini
konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist menyatakan
bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan realitas sosial.
Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam telaah teks sastra
yang berhubungan dengan pendekatan mimesis. Menurutnya, norma
fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda linguistik yang berfungsi
dalam teks sastra tidak merujuk secara langsung pada dunia kita, tetapi pada
dunia fiksional teks karya sastra.
Adapun John Baxter (dalam Makaryk,1993: 591-593) menguraikan
bahwa mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni
karya yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal.
Mimesis sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis
menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya
berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu copy, suatu produk
akhir; mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan
aktif dengan suatu kenyataan hidup.
Menurut Baxter, metode terbaik mimesis adalah dengan jalan
memperkuat dan memperdalam pemahaman moral, menyelidiki dan
menafsirkan semesta yang diterima secara riil. Proses tidak berhenti hanya
dengan apa pembaca atau penulis mencoba untuk mengetahuinya. Mungkin
rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun
hanya sesaat dalam kondisi riil, atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang
42
tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan
berbeda karena tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh.
Oleh karena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan
yang ideal. Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut
sebagai 'imajinasi yang utama, ' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari
kesadaran tertinggi.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan
metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:
(1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2)
representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang
kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal, dan
(4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan.
Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat
disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan mendeskripsikan
data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual, (2)
menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk dirujukkan ke
dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya
menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dsb.,
(3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra
dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang
terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang
direpresentasikan dalam karya sastra.
43
3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis menurut Abram (1958: 14-21) memberikan
perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan
perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan
pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan
pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan
pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman
pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis
maupun diakronis.
Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik,
mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi.
Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru
dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya
dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam
uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama,
yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi,
dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra.
Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik
memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata
kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions und
wirkungsasthetik “ tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang
menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam
44
kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi
sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang
terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam
kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi Jauss,
yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai estetik, (4)
semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif sinkronik dan diakronik,
dan (7) sejarah umum.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks
karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang
bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau
zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang
berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan
mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan
teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam
hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer
tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas
pengalaman sebelumnya.
Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk
masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman
atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi
antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan
45
informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus
proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya
sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapanharapan
atas karya yang dibacanya.
Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk
menentukan karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya
pada syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horison
harapan yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan
potensi-potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
horison sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau
sampai pada peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan.
Kondisi yang mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif
menurut sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan
kritiknya.
Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan
suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan
pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan
diarahkan kepada bagaimana pembaca jaman sekarang bisa memandang dan
memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal
yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari
kesulitan yang menyelimutinya.
Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra
dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut
46
bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk
mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman
kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra
sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi
pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat
memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya
sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis
yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan
untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan satusatunya
perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra. Pembenahan
tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif sejarah sastra
selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru
dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan
pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama,
berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem hubungan yang umum dalam
karya sastra pada waktu tertentu.
Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan
dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat seperti '
sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'. Hubungan
ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan, satirik, atau
gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi hubungannya dapat
ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi sosial sastra
47
memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya jika pengalaman
kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya dari kehidupan
praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman atas dunianya.
Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku sosialnya.
Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat
hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser menyebutnya
sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi
mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan
penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini melihat bahwa karya
sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali dari sesuatu yang telah
diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini melahirkan sesuatu yang tidak
ada sebelumnya. Konsekuansinya, teori respon estetik dihadapkan pada
permasalahan bagaimana suatu situasi yang tidak diformukasikan dapat
diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari teori ini adalah teks hanya bisa hadir
saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca.
Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54), interaksinya
dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan
literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang
membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire
merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk
membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar
dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih dahulu. Strategi
digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk mengkomunikasikan teks dengan
48
pembacanya tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan
primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri
sehingga lahir makna yang bervariasi.
Masing-masing toeri di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik
metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis pada
aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan pemodelan
yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang menyatakan
bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan.
Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut
melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari pengalaman pembaca
yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang perlu diikuti
sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan langkah (1)
menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan adanya
perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan meneliti unsur-unsur
dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.
3.4.2.4 Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian
semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini
mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah
mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspekhistoris,
sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi.
Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi.
49
Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dengan
mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-unsur
dengan totalitas di pihak lain.
Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah
karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam
unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat
(koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan
maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibat
dalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya dapat
dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan
karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra
sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat
bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya.
Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya.
Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis yang digunakan terhadap
saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai dari lapir bunyi sampai ke lapis
metafisik. Teknik analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristik
sampai ke tingkat pembacaan hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai
dengan sifat fiksi yang merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada
struktur ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsur-unsur
pembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana
cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dll.).
50
Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan menjadi satu
oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur tersebut ditelusuri dan
dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur. Tema berjalin erat dengan
fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana sastra.
51
BAB IV
STRUKTURALISME
4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan
Strukturalisme adalah sebuah paham atau kepercayaan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai struktur (Pieget, 1995: 4-12; Hawkes,
1978: 17-18; dan Faruk: 1994: 17-18; Faruk, 1999: 1-9; dan Teeuw, 1984: 120-
139). Sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk suatu
kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian semata.
Hubungan antarbagian di dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan
kualitatif. Artinya, apabila suatu bagian dihilangkan, keutuhan sesuatu itu tidak
sekedar berkurang, melainkan rusak sama sekali.
Selain itu, strukturalisme juga percaya bahwa suatu struktur
mempunyai daya transformasi dan regulasi diri. Semua dikatakan berstruktur
apabila ia dapat melakukan perubahan, tanpa harus kehilangan keutuhan
dirinya, fungsi utama yang menjadi tujuan atau pusat strukturasinya. Sesuatu
dikatakan berstruktur apabila ia mempunyai kemampuan untuk mengatakan
kemungkinan gangguan dan pengaruh dari luar dengan caranya sendiri.
Keseluruhan pengertian tersebut menunjukkan bahwa bagi
strukturalisme segala sesuatu di dalam dunia membangun dunianya sendiri,
mekanisme sendiri, untuk menjalankan fungsi-fungsinya sendiri, terlepas dari
52
berbagai kemungkinan pengaruh dari luar. Sesuatu dipahami sebagai kekuatan
yang mampu membangun, mengembangkan, dan mempertahankan dirinya
sendiri dengan caranya sendiri pula. Dengan kata lain, strukturalisme
cenderung memahami segala sesuatu sebagai sebuah sistem tertutup, otonom.
Karena itu, strukturalisme dalam ilmu sastra akan memperlakukan karya sastra
atau kesastraan sebagai sesuatu yang mandiri pula, sesuatu yang berstruktur,
sesuatu yang utuh, transformatif, dan self-regulatif. Aliran Kritik Baru di
Amerika, Formalisme di Rusia, percaya bahwa teks sastra dapat dipahami dan
dijelaskan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di dalam teks itu sendiri.
Strukturalisme percaya bahwa sastra dapat dipahami dan dijelaskan atas dasar
sistm sastra sendiri yang membentuk semacam kaidah-kaidah bagi penciptaan
karya sastra.
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting.
Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara
maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka
menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Unsur tidak memiliki
arti dalam dirinya sendiri. Unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses
antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam
integritasnya terhadap totalitasnya. Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan
merupakan energi, motivator terjadinya gejala baru, mekanisme yang baru.
Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti. Mekanisme
antarhubungan tersebut dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan
fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya
53
sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui
ergon yang terisolasi melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan
realita sosial. Karya tidak dapat diisolasi. Karya harus dikondisikan sebagai
fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara
maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya.
Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di
satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan
setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain.
Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu
masyarakat, dan gejala apa saja memiliki arti yang sesungguhnya.
Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti
hanya meneliti salah satu unsur tertentu yang pada gilirannya berarti
memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya,
tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan
kata lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan
unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.
Sejalan dengan uraian di atas, prinsip antarhubungan secara esensial
dipertahankan pada setiap teori dibawah naungan strukturalisme. Namun
demikian, perubahan menuju pada perkembangan teoretik telah terjadi yang
sekaligus mengarahkan pembahasan metodologis secara berbeda pula.
54
4.2 Teori Formalisme
Tujuan pokok formalisme (bandingkan Teeuw, 1985: 128-13; Ratna:
2004: 80-87) adalah studi ilmiah tentang sastra dengan cara meneliti unsurunsur
kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang
digunakan metode formal. Metode formal menjalankan fungsinya dengan cara
merekonstruksi teks melalui pemaksimalan konsep fungsi. Dengan jalan
demikian, teks menjadi suatu kesatuan yang terorganisasikan. Prinsip dan
sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke
konsep struktur.
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran
formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, yaitu:
1. formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma
positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip
kausalitas; reaksi terhadap studi biografis
2. kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya
pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
3. penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan
perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan
psikologi.
Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat
karya sastra dengan cara mengeksploitasi sarana bahasa telah mencapai
klimaknya. Meskipun demikian, penemuannya mengarahkan pada
paradigma baru bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara terisolir
55
semata-mata melalui akumulasi perangkat-perangkat intrinsiknya, tetapi
juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya.
Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya
sebagaimana digemari oleh kelompok formalisme awal ke arah
pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme.
4.3 Teori Strukturalisme Dinamik
Scholes (dalam Ratna, 2004: 89) menjelaskan keberadaan
strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu (1) sebagai pergeseran paradigma
berpikir, (2) sebagai metode, dan (3) sebagai teori. Lahirnya strukturalisme
dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana
yang dianggap sebagai perkembangan formalisme.
Strukturalisme dinamika (lihat Teeuw, 1985: 185-192; Muhadjir, 2002:
304); Pradopo 2002: 46; dan Ratna, 2003: 88-96;) mencermati bahwa
strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme
yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik yang
dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme
dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka.
Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas
tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh
makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus
dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya,
dan pembaca sebagai penerima.
56
Perbedaan unsur-unsur karya sastra untuk jenis yang berbeda-beda
terjadi akibat proses resepsi pembaca. Setiap penilaian akan memberikan hasil
yang berbeda. Unsur-unsur yang terdapat pada ketiga jenis sastra (prosa, puisi,
dan drama) akan membutuhkan pemusatan analisis yang berbeda pula. Unsurunsur
prosa, misalnya mengarah pada tema, peristiwa atau kejadian, latar atau
setting, penokohan, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi,
di antaranya tema, stilistika, imajinasi, ritme atau irama, rima atau persajakan,
diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur (teks)
drama di antaranya tema, dialog, peristiwa, latar, penokohan, alur, dan gaya
bahasa.
Atas dasar hakikat otonom karya sastra, maka tidak ada aturan yang
baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan
tergantung dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis di lain
pihak. Dalam analisis akan selalu terjadi tarik menarik antara struktur global,
yaitu totalitas karya itu sendiri dengan unsur-unsur yang diadopsi ke dalam
wilayah penelitian. Kondisi tersebut menunjukkan dinamika karya sastra
sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan terjadinya ciri-ciri
transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan antara struktur
global dengan unsur-unsur yang dianalisis.
Karya sastra tidak mungkin dan tidak perlu dianalisis secara
menyeluruh sebab struktur global bersifat tidak terbatas. Akan tetapi analisis
tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial kultural yang menghasilkannya.
Prosa, puisi, dan drama dan sastra jenis klasiknya tidak semata-mata dianalisis
57
sebagai teks tetapi juga dimungkinkan dalam kaitannya dengan pementasan
langsung sebagai performing art. Dalam hubungan ini, analisis struktur akan
melibatkan paling sedikit tiga komponen utama, yaitu pencerita, karya sastra,
dan pendengar. Metodologi penelitian pun menjadi bertambah kompleks, tidak
bertambah dalam penelitian pustaka, melainkan harus dilengkapi dengan
penelitian lapangan yang dengan sendirinya juga melibatkan instrumen
penelitian lapangan.
Dengan demikian strukturalisme dinamik adalah pendekatan atas karya
sastra dengan menerapkan kerja strukturalisme atas dasar konsep semiotik.
Analisis struktural murni mengasingkan karya sastra dari kerangka
kesejarahan dan relevansi eksistensialnya. Strukturalisme dinamik yang
dikembangkan Ian Mukarovsky dan Felix Vodicka mencoba memahami karya
sastra berdasarkan kesadaran bahwa karya sastra sebagagi struktur pada
hakikatnya memiliki ciri khas yaitu sebagai tanda (sign). Tanda baru mendapat
makna sepenuhnya bila sudah melalui tanggapan pembaca. Dengan demikian
ada pengaruh timbal balik antara tanda dan pembacanya. Pembaca dalam
memberi makna terikat pada konvensi tanda, tidak semau-maunya. Jadi,
dengan kerangka semiotik itu dapat diproduksi makna dalam karya sastra yang
merupakan struktur sistem tanda-tanda itu.
58
4.4 Semiotik
Secara padat Dolezel, Stout (dalam Makaryk, 1993: 183-189), dan
ratna (2004: 96-120) menjelaskan pendekatan semiotik dimulai dari
pengertian, latar belakang sejarah pertumbuhannya, aliran semiotik, dan
hubungan semitoik dengan pendekatan lainnya. Menurutnya, strukturalisme
berhubungan erat atau bahkan tidak terpisahkan dengan semiotik sebagai
sarana untuk memahami karya sastra, untuk menangkap makna unsur-unsur
struktur karya sastra dalam jalinan dengan keseluruhan karya yang harus
memperhatikan sistem tanpa yang dipergunakan dalam karya sastra. Karya
sastra itu merupakan struktur sistem tanda-tanda yang bermakna.
Dalam lapangan semiotik, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1)
penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2)
pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda. Ada tiga
jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks
merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah, yaitu
persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan petanda. Simbol adalah tanda
yang tidak menunjukkan adanya hubungan almiah antara keduanya,
hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem
tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol
ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem
ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan tingkat
kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti bahasa dalam
59
sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance)
yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam kaya sastra, arti
bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping konvensi bahasa sendiri.
Oleh karena itu yang dimaksud makna (bahasa) sastra itu bukan semata-mata
arti bahasanya. Jadi, yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti
bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan
segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Menurut Pradopo (2002: 272) studi sastra bersifat semiotik itu adalah
usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan
menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur
karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antarunsurnya akan
dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa sebagai sistem semiotik tingkat
pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang
memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh
penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan
mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka
menganalisis karya sastra itu adalah memburu tanda-tanda.
Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di
luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna,
yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya.
Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode
hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah
60
karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni.
Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra
itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra
merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau
kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertektualitas, sebuah karya
sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir
sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan
konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna
atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas ituperlu
diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam
hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan
mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi
tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang
memungkinkan diproduksinya makna karya sastra.
Sejalan dengan paham triadik peircean, diketahui bahwa konsep-konsep
triadik tersebut bersifat dinamisme internal. Dilihat dari segi cara kerjanya,
terdapat (1) sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas
hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain, (2) semantik semiotik, studi
dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dan acuannya, dan (3)
pragmatik semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan natara
pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda,
maka tanda dibedakan sebagai berikut:
61
1. representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala
umum:
a. qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
b. sinsigns, tokens, terbentuk melalui realisasi fisik: rambu lalu
lintas,
c. legisigns, type, berupa hukum: suara wasir dalam pelanggaran,
2. object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:
a. ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa: foto
b. indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat: asap dan
api,
c. simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan: bendera
3. interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
a. rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
b. dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan
deskriptif,
c. argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.
Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering
diulas adalah object. Menurut Aart van Zoet (Ratna, 2004: 102) di antara ikon,
62
indeks, dan simbol, yang terpenting adalah ikon. Alasannya, di satu pihak
segala sesuatu merupakan ikon karena segala sesuatu dapat dikaitkan dengan
sesuatu yang lain; di lain pihak, sebagai tanda agar dapat mengacu pada
sesuatu yang lain di luar dirinya agar ada hubungan yang representatif, maka
syarat yang diperlukan adalah adanya kemiripan. Ikonisitas selalu melibatkan
indeksikalitas dan simbolisasi. Teks sastra kaya dengan ikon.
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya
sastra secara semiotik. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis
karya melalui dua tahapan sebagai mana ditawarkan oleh Wellek dan Warren
(1993) yaitu (a) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur, dan (b) analisis
ekstrinsik (analisis makrostruktur). Cara yang lain seperti yang dikemukakan
Abrams (1958: 6-29) dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu (a)
pengarang (ekspresif), (b) semestaan (mimetik), (c) pembaca (pragmatik), dan
(d) objektif (otonom).
4.5. Strukturalisme Genetik
Struktur genetik (lihat Leenhardt dalam Makaryk, 1993: 340-341;
Kellner dalam makaryk, 1993: 95-99; dan Faruk, 1994: 1-21) merupakan
gabungan antara strukturalisme dengan Marxisme. Sebagai strukturalisme,
strukturalisme genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk
karya sastra, sebagai struktur. Karena itu, usaha strukturalisme genetik untuk
memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan
struktur karya itu.
63
Marxisme tidak pernah percaya bahwa teks maupun sistem sastra
merupakan sesuatu yang otonom. Bagi paham ini sastra merupakan suatu
sistem ideologi yang tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatankekuatan
sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan penguasaan
mereka atas sumber-sumber ekonomi yang terdapat di dalam lingkungan
sekitar mereka. Kepercayaan yang demikian didasarkan pada anggapan bahwa
dorongan-dorongan kebutuhan material manusia mendahului dan menentukan
kesadaran manusia. Perkembangan sejarah manusia digerakkan oleh
pertarungan manusia dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan materialnya.
Oleh karena itu, marxisme disebut juga sebagai materialisme historis.
Menurut Marxis, untuk memenuhi kebutuhan materialnya manusia
harus bekerja, yaitu melakukan transformasi atas alam. Untuk melakukan
transformasi atas alam, manusia membutuhkan alat-alat produksi dan bekerja
sama dengan manusia lain. Dalam proses produksi yang demikian terbangunlah
pengelompokan sosial, pembagian kerja yang didasarkan pada tingkat
penguasaan seseorang atau sekelompok orang atas alat-alat dan sumber-sumber
produksi. Pengelompokan sosial atas dasar seperti itulah yang disebut sebagai
kelas sosial. Hubungan antarkelas sosial di dalam lingkungan produksi tersebut
adalah hubungan dominasi. Suatu kelompok menguasai kelompok yang lain
untuk kepentingan pemuasan kebutuhan materialnya.
Marxisme beranggapan bahwa manusia pada dasarnya serakah,
mempunyai kebutuhan tidak terbatas. Karena sumber-sumber bagi pemenuhan
kebutuhan itu terbatas, terjadi persaingan dalam usaha pemenuhan kebutuhan
64
itu. Persaingan itu menjadikan hubungan antarkelompok sosial yang telah
dikemukakan menjadi antagonistik. Di satu pihak, suatu kelompok berusaha
menguasai alat-alat dan sumber-sumber produksi yang ada, di lain pihak
kelompok yang lain berusaha merebut alat-alat dan sumber-sumber produksi
itu dari kelompok lain yang menguasainya.
Dalam konteks pertalian yang demikian menjadi penting bagi kelompok
yang sedang melakukan reproduksi atas hubungan sosial yang berlaku, yang
menempatkan dirinya dalam posisi kekuasaan dan kelompok lain dalam posisi
sub-ordinat. Reproduksi sosial itu dilakukan tidak hanya dalam lingkungan
produksi, melainkan dalam berbagai situs sosial yang lainnya, dalam berbagai
institusi sosial, seperti lingkungan kehidupan keluarga, pendidikan, hukum,
politik, agama, dan kesenian. Berbagai lingkungan atau institusi sosial yang
menjadi situs reproduksi sosial yang ada di luar lingkungan produksi itu
disebut super-struktur atau struktur permukaan, sedangkan hubungan sosial
yang berlangsung dalam lingkungan produksi disebut disebut infra-struktur
atau struktur dasar. Struktur dasar bersifat material, sedangkan struktur
permukaan bersifat ideologis.
Namun bagi paham tersebut, segala aktivitas dan hasil aktivitas
manusia tidak hanya mempunyai struktur, melainkan juga mempunyai arti.
Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berhenti pada
perolehan pengetahuan mengenai strukturnya, melainkan harus dilanjutkan
hingga mencapai pengetahuan mengenai artinya. Usaha pemahaman terhadap
arti dari struktur itu berarti usaha menemukan alasan, faktor-faktor yang
65
menjadi penyebab dari struktur yang besangkutan. Pertanyaan seperti “kenapa
suatu karya mempunyai struktur yang begini, tidak begitu”, tidak lagi dapat
dijawab hanya dengan mendasarkan diri pada karya sastra itu sendiri,
melainkan harus dengan menemukan informasi-informasi yang berada di luar
karya sastra itu. Untuk memahami hal demikianlah strukturalisme genetik
menggunakan marxisme yang diperkaya dan diperdalam oleh teori psikologi
struktural dari Piaget.
4.5.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan
Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupakan fakta
kemanusiaan bukan fakta alamiah. Bila fakta alamiah cukup dipahami hanya
sampai pada batas strukturnya, fakta kemanusiaan harus sampai pada batas
artinya. Sebuah karya sastra tidak diciptakan begitu saja, melainkan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia yang menciptakannya. Kebutuhan
yang mendorong diciptakannya karya sastra itu, seperti halnya segala ciptaan
manusia yang lain, adalah untuk membangun keseimbangan dengan
lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan
manusiawinya.
Secara psikologis, ada dua proses dasar yang terarah pada
pembangunan keseimbangan tersebut, yaitu proses asimilisi dan akomodasi.
Asimilasi adalah penyesuaian lingkungan eksternal ke dalam skema pikiran
manusia, sedangkan akomodasi adalah penyesuaian skema pikiran manusia
dengan lingkungan sekitarnya. Menurut strukturalisme genetik, manusia akan
66
selalu cenderung menyesuaikan lingkungan sekitar dengan skema pikirannya.
Akan tetapi, apabila lingkungan itu menolak atau tidak dapat disesuaikan
dengan skema pikiran itu, manusia menempuh jalan yang sebaliknya, yaitu
menyesuaikan skema pikirannya dengan lingkungan sekitarnya tersebut. Kedua
proses tersebut menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha
membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya.
4.5.2 Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif
Semua manusia berusaha membangun kseimbangan dengan lingkungan
sekitarnya dengan melakukan berbagai tindakan. Namun, strukturalisme
genetik membedakan tindakan individual dengan tindakan kolektif. Tindakan
individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan individual yang
cenderung libidinal, sedangkan tindakan kolektif diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan kolektif yang bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah
individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial.
Lebih jauh, strukturalisme genetik cenderung membedakan tindakan
kolektif yang besar dengan tindakan kolektif yang mungkin tidak setara dengan
tindakan pertama itu. Tindakan kolektif yang besar tidak hanya terarah untuk
memenuhi kebutuhan kolektif tertentu, melainkan dapat menyebabkan
terjadinya perubahan dalam sejarah sosial secara keseluruhan. Bahkan,
tindakan kolektif yang besar itu dapat pula berpengaruh luas, melampaui batas
sosial yang darinya tindakan tersebut berasal. Menurut strukturalisme genetik,
subjek dan tindakan kolektif yang besar tersebut adalah kelas sosial dalam
67
pengertian marxis yang sudah dikemukakan, bukan kelompok sosial lain dalam
pengertian yang lain.
Atas dasar perbedaan tipe-tipe tindakan di atas, strukturalisme genetik
membedakan karya-karya kultural yang besar dari yang minor. Karya-karya
kultural yang besar, yang di dalamnya termasuk karya-karya filsafat dan karyakarya
sastra yang besar, merupakan hasil tindakan tidak hanya subjek kolektif,
melainkan kelas sosial. Karena itu, karya-karya itu ikut pula berperan dalam
perubahan sejarah sosial bahkan dapat melampaui batas sejarah sosialnya
sendiri. Karya yang demikian oleh strukturalisme genetik disifatkan sebagai
sebuah karya yang sekaligus bersifat filosofis dan sosiologis.
4.5.3 Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia
Sebagai produk dari tindakan kolektif yang berupa kelas sosial di atas,
karya sastra mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan kelas sosial yang
bersangkutan, kebutuhan-kebutuhan yang terbangun dari hubungan antara klas
sosial dengan lingkungan sekitarnya, kebutuhan-kebutuhan yang sekaligus
menyangkut usaha-usaha kelas sosial itu untuk membangun hubungan yang
seimbang antara dirinya dengan lingkungan yang terkait.
Sebagai sekelompok manusia yang mempunyai latar belakang yang
sama, anggota-anggota dari suatu kelas sosial mempunyai pengalaman dan cara
pemahaman yang sama mengenai lingkungan sekitarnya dan sekaligus caracara
pembangunan keseimbangan dalam hubungan dengan lingkungan itu.
Cara pemahaman dan pengalaman yang sama itu pada gilirannya menjadi
68
pengikat yang mempersatukan para anggota itu menjadi suatu kelas yang sama
dan sekaligus membedakan mereka dari kelas sosial yang lain. Cara
pemahaman dan pengalaman yang demikian, oleh struktural genetik disebut
sebagai pandangan dunia.
Pandangan dunia merupakan kecenderungan mental kolektif yang
implisit yang tidak semua individu anggota kelas sosial pemiliknya dapat
menyadarinya. Hal itu terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam
masyarakat yang kompleks setiap individu terjaring ke dalam berbagai bentuk
pengelompokan sosial, seperti kelompok profesi, kelompok etnis, ras,
pendidikan, dan sebagainya. Berbagai pengelompokan itu dapat mengaburkan
pemahaman individu mengenai kelompok sosial dirinya yang sebenarnya.
Hanya individu yang istimewa yang mampu menerobos batas-batas aneka
pengelompokan sosial tersebut dan masuk ke dalam kesadaran kelas sosialnya
sendiri. Para pemikir dan sastrawan yang besar termasuk individu yang
demikian. Karena itu, karya-karya mereka menjadi karya-karya besar, karyakarya
yang berhasil menangkap dan mengekspresikan pandangan dunia kelas
sosialnya sehinga sekaligus dapat berfungsi menjadi alat yang membangkitkan
kesadaran kelas pada para individu yang menjadi anggota kelas sosialnya itu.
Dalam pengertian strukturalisme genetik, pandangan dunia merupakan
skema ideologi yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan
dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang
mengekspresikannya. Karena itu, pandangan dunia itu menjadi konsep kunci
yang tidak hanya diperlukan untuk menjadi model struktur bagi pemahaman
69
terhadap struktur karya sastra atau karya filsafat yang diteliti, melainkan juga
menjadi mediator yang mempertalikan karya sastra sebagai superstruktur
dengan struktur sosial ekonomi yang menjadi struktur dasarnya. Dalam
pandangan strukturalisme genetik, hubungan antara karya sastra dengan
struktur dasarnya tidaklah langsung, bersifat mimetik, melainkan secara tidak
langsung melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis. Karya sastra tidak
mencerminkan apa yang disebut sebagai perjuangan kelas, melainkan
mengekspresikan suatu pandangan dunia yang strukturnya homolog dengan
struktur sosial ekonomi yangmenjadi dasarnya.
4.5.4 Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial
Seperti sudah dikemukakan, strukturalisme genetik merupakan
gabungan antara strukturalisme dengan marxisme. Dengan demikian, seperti
strukturalisme, strukturalisme genetik mengakui eksistensi karya sastra sebagai
suatu struktur sehingga perlu dipahami secara struktural.
Namun, ada banyak konsep mengenai struktur karya sastra seperti
berasal dari Propp, Greimas, Todorov, dan sebagainya. Kebanyakan konsep
mengenai struktur karya sastra itu mengikuti konsep linguistik mengenai
struktur formal bahasa. Hanya beberapa di antaranya, terutama Barthes dan
Greimas yang mencoba membangun pula struktur semantiknya dengan
mendasarkan diri pada konsep-konsep struktur semantik bahasa. Konsep
strukturalisme genetik mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat
70
semantik pula, dekat dengan konsep struktur semantik Barthes ataupun
Greimas meskipun tidak persis sama.
Yang tampak amat dekat dengan konsep struktur karya sastra dari
strukturalisme genetik adalah strukturalisme Levi’Strauss. Dengan
menggunakan fonologi sebagai dasarnya, konsep strukturalisme Levi’Strauss
ini berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi berpasangan. Levi’Strauss
melihat bangunan dunia sosial dan kultural manusia sebagai sesuatu yang
distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, terbangun dari seperangkat satuan
yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara pasangan yang beroposisi itu
dimungkinkan pula adanya satuan antara yang berbeda di antara keduanya.
Telaah strukturalisme gnetik terhadap karya-karya filsafat Pascal dan
drama Racine memperlihatkan kecenderungan demikian. Ada oposisi antara
dunia ilmiah dengan dunia sekuler. Manusia berada di antara keduanya
sehingga ia berada sekaligus dalam posisi menerima dan menolak dunia.
Struktur yang demikian, menurut strukturalisme genetik, mengekspresikan
pandangan dunia tragis yang berpikir secara dialektik, yang tidak memutlakkan
bagian atas nama keseluruhan atau sebaliknya.
Konsep struktur sosial strukturalisme genetik didasarkan pada teori
marxis. Atas dasar teori sosial ini jelas bahwa dunia sosial dipahami sebagai
struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial yang saling bertentangan.
Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya dominasi dari satu kelas sosial
terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu dipelihara dan dipertahankan
serta bahkan diperkuat dengan menggunakan berbagai kekuatan ideologis yang
71
beroperasi dalam lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat termasuk karya
sastra. Namun, dominasi itu tidak sepenuhnya menutup peluang bagi terjadinya
perubahan sosial. Kelas-kelas yang dikuasai berusaha terus-menerus pula untuk
mengambil alih kekuasaan dari kelas yang berkuasa untuk kemudian
membangun suatu struktur sosial yang baru yang sesuai dengan lingkungannya
yang baru pula.
4.5.5 Metode Dialektik
Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupakan struktur yang
terbangun atas dasar bagian-bagian yang saling bertalian dan mebentuk
struktur keseluruhan karya sastra itu. Struktur karya sastra itu hanya dapat
dipahami dengan baik dengan cara dialektik, yaitu dengan bergerak secara
bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan kembali ke
bagian. Gerakan bolak-balik itu dianggap selesai jika koherensi antara
keseluruhan dengan bagian-bagiannya telah terbangun, yaitu ketika bagianbagian
telah membentuk suatu keseluruhan dan keseluruhan telah dapat
digunakan untuk memberikan arti pada bagian-bagian.
Selesainya pekerjaan pemahaman yang demikian bukan berarti telah
selesai pula kerja pemahaman strukturalisme genetik. Menurut paham tersebut,
karya sastra sendiri sebenarnya hanya merupakan bagian dari suatu
keseluruhan yang lebih besar, yang juga berstruktur, yaitu dunia sosial tempat
karya sastra itu berasal. Seperti pemahaman terhadap struktur karya sastra,
pemahaman terhadap struktur dunia sosial itu pun dapat dilakukan secara
72
dialektik, dari karya sastra sebagai bagian dunia sosial, atau sebaliknya.
Gerakan bolak-balik itu pun baru dianggap selesai jika telah dibangun
koherensi antara struktur karya sastra dengan struktur sosialnya.
Struktur genetik menyebut usaha menemukan struktur bagian di atas
sebagai pemahaman, sedangkan penempatan bagian itu ke dalam struktur yang
lebih besar yang menjadi sumber maknanya sebagai penjelas. Dengan
demikian, metode strukturalisme genetik dapat disebut pula sebagai dialektika
atas pemahaman dengan penjelasan.
4.6 Naratologi
4.6.1 Naratologi dalam Tinjauan Umum dan Perkembangannya
Naratologi bersal dari kata narratio dan logos (bahasa Latin). Narratio
berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat; logos berarti ilmu. Naratologi juga
disebut teori wacan (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks)
naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan.
Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis,
sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian
juga dengan wacana dan teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya.
Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai
representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan
waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna, 2004: 128)
didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan
73
person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap
telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat
relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang
memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan
bahwa pembaca membaca wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang
sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi
bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya, akrab dengan
cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui
teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui
bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang.
Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah pascastruktural,
analisis naratif merupakan bagian ideologi. Cerita dan penceritaan
dimanfaatkan untuk melegitimasikan kekuatan dan kekuasaan bagi mereka
yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok
tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan
ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Pada pahan
pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja melainkan
keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga kajiannya
bersifat interdisipliner. Aktivitas kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks
yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Visi sastra
kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki
posisi penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan
74
bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya;
cerita sebagai tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan
kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan
seluruh aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi
berikutnya. Tanpa cerita, tanpa adanya kekuatan wacana dan teks, kebudayaan
pun tidak ada. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu
sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui
paradigma sebuah teks.
Hampir keseluruhan genre sastra, khususnya genre yang dikategorikan
ke dalam fiksi memanfaatkan unsur cerita dan penceritaan. Dalam karya sastra,
unsur penceritaanlah yang lebih utama dalam wujud plot. Tanpa plot, wacana,
dan teks, karya sastra hanya berfungsi sebagai fakta mengingat dunia faktual
semata-mata merupakan sistem model pertama untuk mengantarkan manusia
pada dunia sistem model kedua, yaitu dunia fiksional.
Dalam pembicaraan mengenai naratif, novel dianggap sebagai genre
utama karena pemanfaatan struktur cerita dan penceritaan yang sangat
kompleks dengan peralatan yang menyertainya seperti: kejadian, tokoh-tokoh,
latar, tema, sudut pandang, dan gaya bahasa. Dilihat dari media yang tersedia,
novel juga merupakan objek yang paling memadai, paling luas, sehingga segala
unsur penceritaan dapat dikemukakan. Novel adalah representasi dunia itu
sendiri di mana manusia, baik sebagai penulis, pembaca, dan peneliti dapat
melukiskan kualitas emosionalitas dan intelektualitasnya; suatu media yang
sangat tepat dalam kaitannya dengan hakikat manusia sebagai homo faber.
75
Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas
terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel, juga
roman, cerpen, puisi naratif, gongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan
harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga
setiap bentuk cerita dalam media massa.
Secara historis, Marie-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk,
1993: 110- 114) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga
periode, yaitu:
1. periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an)
2. periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an)
3. periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).
Awal prkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles (cerita
dan teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar dan datar);
Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran dan fungsi). Pada
umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet
(cerita dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur
mitos), Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan
fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text). Greimas (tata bahasa naratif dan
struktur actans). Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration).
Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi
parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer,
interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di
antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara), Gerald
76
Prince (struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif), Jonathan
Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (Kernels dan satellits), Mikhail
Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry Louise
Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques Derrida
(dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois
Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas, pastiche).
Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi-
Strauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode strukturalis.
4.6.2 Pelopor Naratologi Periode Struktutralisme dan Pahamnya
4.6.2.1 Vladimir Propp
Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara
serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi
fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus
dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan secara luas
tahun 1958. Propp (1987: 93-98) menyimpulkan bahwa semua cerita yang
diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para
pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya
sama. Oleh karena itu, penelitian Propp disebut sebagai usaha untuk
menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan dongeng pada umumnya.
Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh,
melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut fungsi. Unsur yang
dianalisis adalah motif (elemen), unit terkecil yang membentuk tema. Propp
77
memandang sjuzhet sebagai tema bukan plot seperti yang dipahami oleh kaum
formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang penting sebab motiflah
yang membentuk tema. Sjuzhet dengan demikian hanyalah produk dari
serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku,
perbuatan, dan pendeita yang kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu
unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang berubah (pelaku dan penderita). Dalam
hubungan ini yang penting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu
sendiri.
Propp mengemukakan bahwa fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak
tergantung dari siapa yang melakukan. Di sini, persona bertindak sebagai
variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam
dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi yang dikelompokkan ke dalam
tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu: (1) penjahat, (2) donor, (3) penolong,
(4) putri dan ayahnya, (5) orang yang menyuruh, (6) pahlawan, dan (7)
pahlawan palsu. Menurut Propp (1987: 93-94) dan Teeuw (1985: 290-294),
tujuan Propp bukan tipologi struktur tetapi melalui struktur dasar dapat
ditemukan bentuk-bentuk purba. Dengan kalimat lain, dengan menggabungkan
antara struktur dan genetiknya (struktur mendahului sejarah), maka akan
ditemukan proses penyebarannya kemudian. Model Propp mendasari penelitian
dari Greimas, Bremond, dan Todorov.
78
4.6.2.2 Levi-Strauss
Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya
pada mitos. Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan estetis. Ia
mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan perhatiannya
terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat
maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya
yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu.
Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota
masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik
material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah
termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang
mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian
dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali sehingga
dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi sastra,
melalui struktural, khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu, dan incest,
misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di satu pihak, oposisi biner
didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati memiliki
kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-laki perempuan,
bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan perkawinan di antara keluarga secara
logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di luar keluarga yang pada
gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru, sekaligus menciptakan
hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang lain.
79
Berhubungan dengan pembicaraan strukturalisme, Levi-Strauss
menyatakan bahwa struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas.
Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang tampil sebagai
organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa
isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut, dan sebaliknya.
4.6.2.3 Tzvetan Todorov
Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov
(1985: 11-53) mengembangkan konsep historie dan discours yang sejajar
dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov
menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak,
komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan
interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang
terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga
aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan
logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema,
tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut
pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.
Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep
pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara
berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi. Konsep kedua
menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan
makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
80
antarhubungan adalah kausalitas. Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai
antitesis (in praesentia). Sebaliknya tokoh juga dapat menunjuk sesuatu yang
lain di luar struktur naratif (in absentia). Todorov membedakan antara sastra
sebagai ilmu mengenai sastra (puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan
disiplin yang lain, sastra sebagai proyeksi, seperti: psikologi sastra, sosiologi
sastra, studi biografi, kritik fenomenologis, dll.
4.6.2.4 Greimas
Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu
dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi
yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004: 137-
140) memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam
dengan tujuan yang lebih universal, yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas
lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di
balik wacana. Yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh
tindakan yang disebut actans dan acteurs.
Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif,
acteurs merupakan kategori umum. Dia mencontohkan: John dan Paul
memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs tetapi satu
actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai penerima. Apel
adalah sebagai objek. Dalam kalimat John membelikan dirinya sendiri sebuah
baju, John adalah satu acteu yang berfungsi sebagai dua actans, baik sebagai
pengirim maupun penerima.
81
Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs
menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam
menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya.
Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp disederhanakan menjadi dua puluh
fungsi yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur, yaitu struktur
berdasarkan perjanjian, struktur yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur
yang bersifat pemutusan. Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan
menjadi enam actans (peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan
menjadi tig pasangan oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan
dengan orang yang dianugerahi atau pengirim dan penerima, dan penolong
dengan penentang.
Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh
seorang atau sejumlah pelaku. Actans merupakan struktur dalam, sedangkan
acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan manifestasi kongkret
actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu,
sedangkan struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama pada
saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-beda.
Sebaliknya, actans yang sama terbentuk oleh acteur yang berbeda-beda.
Untuk menyederhanakan konsep-konsep tersebut di atas, maka dalam
kritik sastra Indonesia istilah fabula dan sjuzet sebagai konsep dasar dari
naratologi ditafsirkan dengan istilah cerita dan penceritaan. Dalam
penceritaanlah terkandung wacana dan atau teks. Penceritaan memiliki
identitas yan hampir sama dengan wacana, tek, dan plot. Cerita adalah bahan
82
kasar, perangkat peristiwa, seperti ringkasan cerita atau sinopsis. Wacana
adalah cerita yang telah disusun kembali tetapi lebih banyak berkaitan dengan
unsur bahasa , sebagai model pertama. Adapun teks adalah susunan peristiwa
yang sesungguhnya; susunan kejadian yang didominasi oleh kualitas literer,
sebagai model kedua.
83
BAB V
RANCANGAN USULAN PENELITIAN SASTRA:
TINJAUAN KRITIS
5.1 Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian
Kerja penelitian seorang ilmuwan yang didominasi oleh sikap yang
kritis memperlihatkan fase-fase berpikir sebagaimana yang dikemukakan oleh
Dewey (dalam Nazir, 1983:73), yaitu: (1) mengetahui adanya masalah, (2)
mengidentifikasi masalah, (3) memperkirakan alat untuk memecahkan
masalah, seperti teori, (4) inventarisasi dari pengolahan data sebagai bukti, dan
penyimpulan.
5.1.1 Latar Belakang Masalah
Bagian latar belakang pada dasarnya mengemukakan: (1) alasan
mengapa penelitian itu perlu dilaksanakan, (2) relevansi penelitian itu dengan
penelitian-penelitian lain, (3) apa perbedaan penelitian itu dengan penelitian
serupa yang telah dilaksanakan, dan (4) informasi lain apa yang berkaitan
dengan penelitian itu.
84
Hal pertama di atas yang menyangkut alasan mengapa penelitian itu
perlu dilaksanakan, mengimplikasikan adanya:
1. ketertarikan peneliti atas objek material (karya sastra) dengan
menyebutkan secara spesifik sejumlah fakta dan fenomena teks yang
mengarah pada ditemukan dan terhimpunnya sejumlah masalah yang
penting untuk diteliti;
2. masalah-masalah penting yang perlu diteliti itu serta
menghubungkannya dengan teori dan metodologi yang dapat digunakan
sebagai alat pemecahannya;
Hal yang menyangkut relevansi penelitian itu dengan penelitianpenelitian
lainnya adalah:
1. kedudukan penelitian itu di antara penelitian-penelitian yang lain
dengan jalan menyebutkan apakah penelitian itu dimaksudkan sebagai
dasar, terapan, atau pengembangan dari penelitian lainnya yang perlu
ditindaklanjuti atau dengan menyebutkan pertimbangan-pertimbangan
lain yang berhubungan erat dengan masalah dan tujuan penelitian itu,
2. kesamaan objek material (karya sastra) dengan kajian yang berbeda
atau perbedaan objek material (karya sastra) dengan kajian yang sama,
perlu diuraikan secara jelas sehingga kepentingan penelitian itu dapat
diketahui secara jelas pula.
85
Hal yang menyangkut penelitian sebelumnya, diarahkan kepada
pembicaraan:
1. uraian singkat mengenai penelitian-penelitian sebelumnya yang penting
dan berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan;
pembicaraan di dalamnya menyangkut fokus penelitian yang
berhubungan dengan objek penelitian (karya sastra, masalah yang
diangkat, teori dan metode yang digunakan)
2. uraian dengan sejumlah alasan sehingga penelitian itu jelas berbeda
secara esensial dengan penelitian lainnya; uraian alasan yang dimaksud
diarahkan pada penjelasan kekhasan penelitian, fokus penelitian, dan
pengemasan metode yang mengarah pada kekhasan fenomena objek
material (karya sastra), pemanfaatan teori yang terpilih sebagai alat,
dan metode kajian yang digunakan.
Adapun hal yang menyangkut informasi lain yang berkaitan dengan
penelitian, biasanya berhubungan dengan:
1. referensi umum menyangkut objek material (karya sastra);
berhubungan dengan pembicaraan umum tentang objek tersebut yang
bersumber dari berbagai sumber informasi: media cetak, elektronik,
atau multimedia
2. referensi khusus (jika ada) yang bersumber dari laporan-laporan
penelitian, buku-buku bacaan atau buku-buku acuan yang menguraikan
secara khusus tentang objek tersebut; pembicaraan khusus yang
86
dimaksud adalah uraian yang relevan dengan kepentingan penelitian
yang akan dilaksanakan.
5.1.2 Identifikasi Masalah
Perumusan masalah atau identifikasi masalah adalah pangkal dari
penelitian dan merupakan langkah penting yang cukup sulit dalam penelitian
ilmiah. Kesulitan yang dimaksud menyangkut kemampuan mengorganisasikan
masalah secara logis, sistematis, dan fungsional.
Masalah timbul karena adanya: (1) kesangsian ataupun kebingungan
peneliti terhadap satu hal atau fenomena, (2) kemenduaan arti (ambiguity), dan
(3) dan adanya halangan dan rintangan yang menunjukkan terdapatnya celah
antarfenomena. Pemecahan masalah yang dirumuskan dalam penelitian sangat
berguna untuk membersihkan kebingungan kita akan sesuatu, untuk
memisahkan kemenduaan, untuk mengatasi rintangan ataupun untuk menutup
celah antarkegiatan atau fenomena. Karenanya, peneliti harus dapat memilih
suatu masalah bagi penelitiannya dan merumuskannya untuk memperoleh
jawaban terhadap masalah tersebut.
Tujuan dari identifikasi masalah (pemilihan dan perumusan) dalam
kegiatan penelitian sastra adalah untuk: (a) mengorganisasikan secara logis,
sistematis sejumlah masalah yang akan diangkat dalam penelitian sastra untuk
dijabarkan dalam tujuan penelitian secara tepat, (b) pemusatan penelitian atas
sejumlah masalah yang dapat dijangkau sesuai dengan kemampuan peneliti
yang terimplementasi di dalam tujuan penelitiannya, dan (c) peletak dasar
87
untuk memecahkan beberapa penemuan penelitian sebelumnya atau dasar
untuk penelitian selanjutnya.
Menurut Nazir (1985: 134-135), ciri-ciri masalah yang baik adalah: (1)
masalah yang dipilih harus mempunyai nilai penelitian, (2) masalah yang
dipilih harus mempunyai fisible, dan (3) masalah yang dipilih harus sesuai
dengan kualifikasi si peneliti.
Ciri pertama yang menyangkut nilai penelitian maksudnya adalah
penelitian harus mempunyai kegunaan tertentu serta dapat digunakan untuk
suatu keperluan. Pertimbangan dari ciri pertama yang harus diperhatikan
adalah: (1) masalah harus mempunyai keaslian, (2) masalah harus menyatakan
suatu hubungan antara dua atau lebih variabel (hubungan antarfenomena), (3)
masalah harus merupakan hal penting, (4) masalah harus dapat duji, hubungan
di dalamnya harus dapat diukur berdasarkan pendekatan yang sesuai, dan (5)
masalah harus dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang mengimplikasikan ke
dalam kegiatan pengujian atau pengukuran variabel.
Ciri kedua yang menyangkut fisible, maksudnya masalah tersebut dapat
dipecahkan. Arinya: (1) data serta metode harus tersedia untuk memecahkan
masalah, (2) masalah yang akan dipecahkan harus sesuai dengan batas-batas
kemampuan peneliti dalam hal tenaga, pikiran, waktu, serta dana, dan (3)
pemecahan masalah tidak bertentangan dengan norma hukum.
Ciri ketiga yang menyangkut kesesuaian dengan kualifikasi peneliti
maksudnya adalah masalah yang diangkat merupakan masalah yang menarik
bagi peneliti serta sesuai dengan derajat ilmiah yang dimiliki peneliti.
88
Setelah masalah diidentifikasi dan dipilih, maka kegiatan selanjutnya
dalah merumuskan masalah. Perumusan masalah merupakan titik tolak bagi
perumusan hipotesis, topik penelitian atau judul penelitian. Umumnya rumusan
masalah harus dilakukan dengan kondisi berikut:
1. masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
2. rumusan hendaklah jelas dan padat
3. rumusan masalah harus berisi implikasi adanya data untuk memecahkan
masalah
4. rumusan masalah harus menjadi dasar dalam membuat hipotesis
5. masalah harus menjadi dasar bagi judul penelitian
5.1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pokok penelitian adalah untuk menemukan atau menggali
(explore), mengembangkan (develop atau extention), dan menguji (testing)
teori atas sejumlah data yang digunakan dalam penelitian. Berhubungan
dengan penelitian sastra, misalnya penelitian yang menggunakan pendekatan
strukturalisme objektif, tentunya tujuan di dalamnya mengarah kepada upaya
pemecahan masalah menyangkut sejumlah fenomena unsur-unsur karya sastra,
hubungan antarunsur, dan totalitas di dalamnya. Dengan demikian, tujuan di
dalamnya mengimplikasikan juga pilihan metodenya. Metode deskriptif
merupakan salah satu sebuah metode yang tepat digunakan untuk mengungkap
sedetail mungkin sejumlah fenomena yang dimaksud.
89
Tujuan penelitian merupakan penjabaran rill dari rumusan masalah
yang akan dipecahkan melalui kegiatan analisis data. Secara ideal, tujuan
penelitian harus mewadahi seluruh masalah yang telah dipilih dan dirumuskan.
Deskripsi tujuan penelitian diuraikan dalam bentuk pernyataan yang masingmasing
mengeksplisitkan tujuan pemecahan masalahnya. Jika rumusan
masalah yang dihasilkan, misalnya, berjumlah tertentu, maka tujuan penelitian
harus mewakili sejumlah masalah tersebut berdasarkan bagian-bagiannya.
Bagian-bagian rumusan masalah diurutkan berdasarkan tipikal, lingkup
masalah, jangkauan ke arah teknik kajian yang ideal (runut). Demikian pula
dengan penyusunan tujuan penelitian, di dalamnya harus secara runut
menunjukkan adanya tahapan yang logis, sistematis, dan fungsional sesuai
dengan penerapan teori dan metodologinya sehingga antara tujuan yang satu
dengan tujuan yang lainnya memiliki hubungan yang erat dan bersifat
fungsonal. Sebaiknya dalam tujuan penelitian, disebutkan secara jelas hal-hal
pokok yang menyangkut fenomena data yang di dalamnya mengimplikasikan
pilihan teori dan metodologi yang digunakan.
5.1.4 Landasan Teori
Teori adalah seperangkat construct (konsep yang saling berhubungan),
rumusan-rumusan dan preposisi yang menyajikan suatu pandangan yang
sistematis suatu fenomena dengan menspesifikasikan hubungan-hubungan
antarvariabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala
(Kerlinger dalam Pradopo, 2001:2).
90
Dengan demikian, tahapan penyusunan landasan teori dalam rancangan
usulan penelitian menjadi penting. Karena teori berfungsi sebagai alat untuk
memecahkan masalah, maka teori harus dipilih sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam uraian landasan teori, teori harus dijelaskan secara konseptual dengan
jalan memberikan deskripsi yang jelas secara operasional bagaimana teori
tersebut dapat dijalankan sesuai kebutuhan penelitian.
Adapun Ratna ( 2004: 94-95) menyatakan, sebagai akumulasi konsep,
teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin
diterapkan secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para
penemunya. Teori pun dapat ditafsirkan sesuai kemampuan peneliti. Teori
adalah alat. Kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu
memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus
dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun
sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam
strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur,
antarhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsepkonsep
dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep
inilah yang berubah secara terus menerus, sehingga penelitian yang satu
berbeda dengan penelitian yang lain.
Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, circiri
yang cukup menonjol dari strukturalisme adalah lahirnya berbagai
kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka
strukturalisme, diperlukan penerimaan positif. Penerimaan yang dimaksud
91
mengarah kepada keteraturan, pusat yang akan melahirkan saluran-saluran
komunikasi, kerangka-kerangka dan mode-model analisis yang dikemukakan
oleh para kritikus sastra.. Sebaliknya, dalam analisis sastra kontemporer jelas
model analisis yang dimaksud tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsipprinsip
poststrukturalisme mempersaratkan pemahaman yang tidak harus
dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.
5.1.5 Metodologi
Yang dimaksud metolodologi dalam kepentingan penyusunan
penelitian dan menjadi bagian dari tahap penyusunan tersebut terbagi ke dalam
dua wilayah pengertian, yaitu (1) metode yang digunakan sebagai alat,
prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian guna
mengumpulkan data, dan (2) metode kajian yang mengindikasikan adanya
kerja bersistem sekaligus memerikan bagaimana data dipilih dan ditentukan
serta dianalisis berdasarkan pendekatan tertentu. Pengertian kedua ini lebih
mengarah kepada teknik analisis yang dipergunakan untuk menganalisis data
sesuai dengan pendekatan tertentu. Pemilihan metode kajian tertentu akan
mengarahkan sekaligus teknik pupuan datanya. Atau dengan kalimat lain,
teknik pupuan data tertentu dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang
mengimplikasikan metode kajian tertentu.
Djajasudarma (1993: 57-58) dalam pespektif linguistik menyebutkan
bahwa metode kajian adalah cara kerja yang bersistem di dalam bahasa dengan
bertolak dari data yang dikumpulkan (secara deskriptif) berdasarkan teori
92
(pendekatan) linguistik. Metode kajian memerikan bagaimana data dipilah dan
diklasifikasi berdasarkan pendekatan yang dianut. Dengan kata lain, kajian
dalam penelitian bahasa mengandung pemahaman penentuan data berdasarkan
pendekatan tertentu melalui tes atau pengujian teknik-teknik tertentu.
Penentuan data berdasarkan perilaku, ciri, dan hubungan antarunsur, dsb. demi
pemahaman identitas data penelitian. Metode yang bersistem di dalam kajian
data bahasa selalu dengan upaya teori tertentu.
Sejalan dengan uraian di atas, maka metode dalam kajian sastra pun
mengarahkan pada penjelasan teknis bagaimana tujuan penelitian dapat
ditempuh berdasarkan pembahasan yang teroganisir, sistematik, padu, dan
menyeluruh melalui teknik pemupuan data, pemilihan, dan pengolahan data
secara tepat dan memadai.
Nazir (1985: 419-422) menyebutkan beberapa ciri dalam membuat
kategori secara metodis yang memadai, yaitu: (1) kategori harus dibuat sesuai
dengan masalah dan tujuan masalah, (2) kategori harus lengkap, (3) kategori
harus bebas dan terpisah, (4) kategori harus berasal dari satu kaidah klasifikasi;
tiap variabel harus dipisahkan dalam desain analisis, dan (5) tiap kategori
harus berada dalam satu level dengan mempertimbangkan mana variabel utama
dan mana varabel penunjangnya.
Hubungan antar variabel dalam penelitian juga harus diperhatikan.
Nazir (1985: 422-440) menyebutkan beberapa jenis hubungan yang perlu
diketahui dari variabel penelitian. Hubungan variabel yang dimaksud adalah:
1. hubungan simetris
93
Hubungan ini adalah hubungan antarvariabel yang tidak disebabkan
atau dipengaruhi oleh variabel yang lain. Hubungan ini dapat terjadi
karena (1) kedua variabel merupakan akibat dari suatu faktor yang
sama, (2) kedua variabel merupakan indikator dari sebuah konsep yang
sama, atau (3) hubungan yang terjadi bersifat kebetulan saja. Hubungan
ini dapat berpangkal dari indikator sebuah konsep, kehadiran dua
variabel atau lebih secara beriringan yang disebabkan faktor fungsional,
dan faktor kebetulan.
2. hubungan asimetris
Hubungan asimestris yang dimaksud adalah hubungan antara variabel
yang satu variabel mempengaruhi variabel lainnya, tetapi hubungannya
tidak bersifat timbal balik; dapat terjadi dari hubungan antarkonsep.
3. hubungan timbal balik
Hubungan yang dimaksud adalah hubungan dua arah secara timbal
balik antarvariabel; hubungan saling mempengaruhi.
Sejalan dengan uraian di atas, maka langkah penyusunan metodologi
dalam rancangan usulan penelitian (skripsi) yang memadai adalah: (1)
mendeskripsikan secara jelas perihal metode sebagai teknik pupuan data dan
metode sebagai teknik kajian, (2) menjabarkan secara tepat dan jelas masing
masing metode sesuai dengan esensi dan fungsinya yang dibatasi oleh tujuan
94
penelitiannya, (3) mengurutkan langkah-langkah pengumpulan, pemilahan, dan
pengolahan data secara sistematis, dan (5) bila perlu gunakan pula skema dan
atau tabel organisasi pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan data secara
runut untuk memberikan gambaran yang jelas bahwa penelitian dapat
dijangkau berdasarkan derajat kemampuan peneliti dari segi penguasaan teori
dan metodologi.
Dalam penyusunanya secara keseluruhan akan tergambar sejumlah
kemampuan peneliti. Kemampuan yang dimaksud mengarah kepada:
1. kemampuan menentukan dan merumuskan masalah
2. kemampuan menjabarkan tujuan penelitian berdasarkan rumusan
masalah
3. kemampuan memilih landasan teori yang tepat sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah disusun
4. Kemampuan menentukan metode penelitian (teknik pupuan data) dan
metode kajian yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian yang telah
disusun
5. kemampuan menyusun dan menyajikan metode berdasarkan landasar
teori yang dipilihnya sebagai wujud kemampuan pemahaman peneliti
perihal fungsi landasan teori dalam sebuah penelitian, penguasaan
teoretis atas teori sastra yang aplicable dalam penelitiannya,
pemahaman pemetaan uraian yang berkesinambungan antarsubbagian
rancangan usulan penelitian terutama menyangkut identifikasi masalah
95
dan tujuan penelitian, dan mampu menggunakan teori tersebut untuk
merancang instrumen penelitian secara metodis.
5.2 Kemampuan Menguraikan Latar Belakang Masalah
dan Identifikasi Masalah
Pangkal dasar sekaligus kesulitan mendasar yang ditemui peneliti
dalam sebuah rancangan usulan penelitian sastra adalah menemukan masalah
yang layak diangkat dalam sebuah penelitian sesungguhnya. Dalam menyusun
rancangan usulan penelitian, idealnya penelitian diawali dari sejumlah masalah
yang ditemukan setelah proses membaca dan memahami objek material (karya
sastra). Masalah-masalah yang dimaksud tentunya berpangkal dari kepekaan
literer dan teoritik peneliti saat menghadapi objek penelitian.
Tidak mudah bagi peneliti yang kurang peka secara literer dan teoretis
untuk menemukan masalah ketika berhadapan dengan objek karya sastra.
Adakalanya peneliti menentukan begitu saja sebuah kajian yang akan
digunakan dalam penelitiannya untuk kemudian menyusun tujuan penelitian
dan landasan teoretisnya. Kondisi demikian mengakibatkan peneliti begitu sulit
secara esensial menguraikan latar belakang masalah penelitiannya, padahal di
dalamnya peneliti diberi hak penuh untuk menguraikan sejumlah pandangan
dan temuan selama berhadapan dengan objek penelitian (karya sastra)
menyangkut ketertarikan atas objek sehingga dipilih sebagai objek penelitian,
masalah-masalah yang ditemukan untuk dipecahkan, serta pembicaraan
singkat landasan teoretis dan metode yang dimungkinkan dapat dijadikan alat
96
yang mendasari pengolahan dan penganalisisan data. Tentunya pembicaraan di
dalamnya ditempatkan secara fungsional untuk memberi gambaran umum
tentang latar belakang masalah, di antaranya: (1) apa saja yang menjadi
masalah dasar dan penting untuk ditemukan pemecahannya, (2) bagaimana
masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sehingga tujuan penelitian dapat
dijabarkan, (3) mengapa pilihan alat pemecahannya jatuh pada landasan teori
dan metode tertentu.
Akan tetapi bagi peneliti yang memanfaatkan kepekaan literer dan
kemampuan teoretiknya secara baik, dimungkinkan dari hasil pengamatan dan
pemahamannya terhadap objek berbentuk karya sastra akan menghasilkan
banyak masalah. Idealnya, proses pemahaman dan penemuan masalah diawali
dengan proses pembacaan secara cermat dan utuh. Langkah ini dimaksudkan
untuk memberi peluang kepada mahasiswa guna menemukan permasalahanpermasalahan
yang akan diangkat dalam penelitian secara optimal.
Permasalah-permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian
mengindikasikan kepekaan penelitian terhadap potensi teks karya sastra,
pemahamannya terhadap teori dan metode penelitian sastra, dan kemampuan
praktis menjabarkan permasalahannya dalam wujud penyusunan rancangan
usulan penelitiannya.
Dengan bekal kemampuan menemukan dan menghimpun
permasalahan, peneliti akan mampu mengidentifikasi masalah secara logis dan
sistematis yang pada akhirnya dapat dijabarkan dalam tujuan penelitin secara
jelas. Identifikasi masalah yang dimaksud adalah penetapan pilihan beberapa
97
masalah dari seluruh masalah yang telah dihimpun untuk dijadikan dasar
penelitiannya. Penetapan pilihan masalah berpangkal pada kebutuhan utama
untuk dapat dijangkau dalam penelitian berdasarkan kemampuan peneliti
dalam hal penguasaan teoretik, waktu pelaksanaan, dana yang tersedia,
referensi yang memadai, pengembangan penelitian sejenis, dsb.
Berikut ini contoh uraian subbab latar belakang masalah dan
identifikasi masalah format usulan penelitian skripsi bidang kajian sastra:
1.1. Latar Belakang
....
Dalam cerita anak MHG dan GKLP secara gamblang berusaha
menyampaikan pada pembaca bahwa anak tidak polos dan tidak
asal, melainkan suatu duania yang penuh dengan imajinasi,
keinginan, keberanian, kepahlawanan dan petualangan. Itu
sebabnya kenapa kedua cerita ini akan diteliti karena menurut
saya cerita itu sangat menarik, apalagi jika dilihat dari tokoh anak
dalam kedua cerita ini begitu berani menerobos hal-hal yang
ditabukan dalam masyarakat, mereka senang membaca cerita
misteri sehingga pola pikir mereka berkembang cukup baik.
...
Merujuk pada potensi teks tersebut, penulis tergerak untuk
melakukan penelitian secara struktural objektif bertalian dengan
pengungkapan sifat, ciri, fenomena yang ada dalam kedua novel
MHG dan GKLP.
Contoh uraian subbab di atas belum menunjukkan dasar permasalahan
yang sesuai dengan penjabaran identifikasi masalah dan tujuan penelitian.
Potensi teks yang dikatakan menjadi dasar dipilihnya pendekatan struktural
objektif, samasekali tidak mewakili secara menyeluruh atas kepentingan
penelitian yang dieksplisitkan dalam pembatasan masalah dan tujuan
penelitian. Permasalahan yang ditemukan tidak langsung merujuk kepada
98
fungsi pendekatan struktural objektif yang tepat guna. Logika masalah yang
dijabarkan peneliti sebagai berikut:
1. tokoh anak ditafsirkan berani menerobos hal-hal yang ditabukan dalam
masyarakat karena mereka senang membaca cerita misteri sehingga
pola pikir mereka berkembang cukup baik,
2. tokoh anak yang berasal dari kota ditafsirkan perkembangannya sangat
cepat karena kemudahan sarana dan prasarana, termasuk mendapatkan
buku-buku cerita misteri
3. kesamaan (dari dua cerita) perwatakan tokoh yang berani, berpikir
logis, tidak percaya akan hal-hal mstis akibat pengaruh bacaan
4. kedua novel begitu lekat berbicara mengenai masyarakat yang masih
menjungjung tinggi adat dan kebudayaan yang memiliki nilai mitos
dalam suatu daerah tertentu
Adapun pembatasan masalah yang disusun oleh peneliti sebagai berikut:
1. Masalah apa saja yang menjadi dasar penceritaan kedua novel tersebut?
2. Bagaimana struktur yang terbentuk dalam kedua novel tersebut?
3. Bagaimana keterjalinan unsur dalam kedua novel tersebut?
4. Tema dan amanat yang ada dalam kedua novel tersebut?
Hal yang tampak menonjol dan mudah dicermati dari latar belakang
masalah dan identifikasi masalah di atas adalah nuansa penelitian deskriptif.
Namun demikian, jika dijajaki uraian pembatasan masalah secara rinci, tampak
99
penyusunan identifikasi masalah bukan lagi berdasarkan pemanfaatan latar
belakang masalah. Diakui bahwa pada penjabaran pembatasan masalah,
peneliti sudah mampu menyusun identifikasi masalah secara logis dan
sistematis, mulai dari masalah (bahan tematik) yang menjadi dasar penceritaan,
struktur cerita yang terbentuk, keterjalinan antarunsur cerita, dan penelusuran
tema dan amanat. Akan tetapi esensi latar belakang yang seharusnya
mengawali atau menjadi rujukan identifikasi masalah seolah terlepas satu
dengan lainnnya. Upaya yang seharusnya ditempuh dalam uraian latar
belakang masalah sehubungan dengan kepentingan penelitian tersebut adalah:
1. menguraikan sejumlah besar problematika teks (singkat dan jelas)
secara struktural obektif jika penelitian akan difokuskan pada kajian
struktural objektif
2. menguraikan bagian-bagian permasalahan struktural dalam karya
beserta hubungannya yang dianggap penting untuk diteliti (tokohpenokohan,
alur, latar)
3. membicarakan secara singkat kemungkinan pemilihan teori dan metode
yang dapat memberi jalan bagi pemecahannya secara deskrpitif.
4. mengemukakan kepentingan ditelusurinya tema dan amanat kedua
novel tersebut dalam hubungannya denga masalah yang ditemukan
dalam teks.
100
Berdasarkan upaya tersebut, seyogyanya latar belakang masalah dan
identifikasi masalah menjadi pijakan utama dalam menentukan tujuan
penelitian.
5.3 Kemampuan Menjabarkan Tujuan Penelitian
Seperti telah disinggung pada uraian sebelumnya, penjabaran tujuan
penelitian erat kaitannya dengan identifikasi masalah. Penjabaran tujuan
penelitian harus berpangkal pada identifikasi masalah yang telah disusun.
Contoh usulan penelitian subbab tujuan penelitian berikut belum memadai jika
ditinjau dari kepentingan penelitian sesungguhnya. Cermati contoh berikut:
1.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah:
1. mendeskripsikan masalah apa saja yang ada dalam kedua
novel MHG dan GKLP
2. mendeskripsikan struktur yang terbentuk dari kedua novel
MHG dan GKLP
3. mendeskripsikan keterjalinan antarunsur
4. mengetahui tema dan amanat
Penjabaran tujuan penelitian di atas tampak terlalu umum dan belum mengarah
kepada kepentingan pendeskripsian secara cermat dan mendetail. Kepentingan
yang dimaksud adalah mengeksplisitkan sejumlah tujuan berdasarkan
pembatasan masalah. Dalam hal ini , hal-hal yang harus dicermati:
(1) Tujuan pertama yang menyangkut pendeskripsian masalah-masalah yang
ada dalam kedua novel harus dieksplisitkan secara spesifik, misalnya
101
menyebutkan masalah-masalah yang bersumber dari peristiwa-peristiwa
penting pada seluruh untaian cerita. Dengan demikian dapat tergambar
bahwa penelitian dengan tujuan pertama ini diarahkan pada penelusuran
masalah (bahan tematik) yang bersumber pada penelusuran peristiwaperistiwa
penting saja, bukan peristiwa yang tidak menjiwai sebagian
atau seluruh cerita. Hal ini secara tidak langsung telah mengarahkan
pemilihan teoretis dan penyusunan langkah analisisnya secara metodis.
(2) Tujuan kedua yang menyangkut pendeskripsian struktur yang terbentuk
dari kedua novel perlu dieksplisitkan secara spesifik. Penjabarannya
menjadi, misalnya: mendeskripsikan unsur tokoh-penokohan, alur, dan
latar dari kedua novel (jika kajian diarahkan pada struktural objektif).
Penjabaran spesifik ini menjadi penting untuk menghindarkan
kesalahpahaman atas beragam teori yang kajiannya berbeda walaupun
berada dalam satu naungan pendekatan yang sama yaitu strukturalisme.
Paham struktural objektif, menempatkan teks secara otonom. Oleh karena
itu, unsur-unsur di dalamnya pun diperlakukan secara otonom pula.
Struktur dinamik, menempatkan teks dengan konsep dasar unsur-unsur,
antar hubungan, dan totalitas harus dihubungkan dengan luar teks (aspek
ekstrinsik). Struktural genetik menelaah struktur teks sastra sampai ke
struktur sosial dan pembicaraan hubungan antarunsur teks sastra dan
struktur sosial. Struktur naratif mengarahkan pembicaraan mengenai
cerita dan penceritaan; antara struktur naratif karya sastra dan naratornya.
102
(3) Tujuan ketiga yang menyangkut pengungkapan keterjalinan antarunsur
hendaknya dispesifikasikan ke dalam penjabaran, misalnya (a)
penokohan dengan latar (waktu, tempat, sosial), (2) tokoh dalam
perjalanan alur cerita, (3) pemetaan latar dalam perjalanan alur cerita, dll.
Penjabaran secara spesifik menjadi penting guna mengontrol penerapan
teori yang tepat guna beserta penyusunan langkah kerja, pemilihan data,
pengolahan data, dan analisis data.
(4) Tujuan keempat yang menyangkut penelusuran tema dan amanat
hendaknya dijabarkan pada kepentingan pembicaraan menyeluruh,
misalnya (a) pembicaraan pengklasifikasian masalah yang telah
ditemukan berdasarkan pencapaian analisis pada tujuan pertama, (b)
penafsiran tema berdasarkan kategori mayor dan minor, (c) pembicaraan
hubungan tema dan unsur-unsur pembentuk cerita, (d) penelusuran
amanat berdasarkan perolehan penafsiran tema. Hal ini diperlukan dalam
rangka mengikat secara fungsional pencapaian analisis yang telah
dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Dengan demikian, tiap
pencapaian tujuan berhubungan dengan pencapaian tujuan yang lainnya
sehingga menghasilkan uraian yang utuh, padu, dan menyeluruh.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kendala
terbesar peneliti dalam menjabarkan gagasannya pada tiap subbab latar
belakang masalah, identifikasi masalah, dan tujuan penelitian berpangkal pada
103
tingkat kepekaan literer, teoretis, dan metodologis. Keterbatasan tersebut
selanjutnya akan membatasi kemampuan peneliti dalam menyusun rancangan
usulan penelitiannya. Keterbatasan kemampuan yang dimaksud dapat dicermati
dari ketidakmampuan menjalin in uraian tiap subbab secara logis, sistematis,
dan fungsional.
5.4 Kemampuan Menyajikan Landasan Teoretis
Sejalan dengan tanggapan pada tingkat keberhasilan penyusunan
rancangan usulan penelitian pada materi sebelumnya, pada langkah
penyusunan Landasan Teori, ketersediaan objek formal (kajian
struktural) mengarahkan peneliti untuk secara tepat memilih landasan
teori yang akan digunakan. Ketersediaan yang dimaksud adalah:
a. kajian struktural objektif
b. kajian struktural genetik
c. kajian struktural naratif
d. kajian struktural dinamik
Terdapat hubungan timbal balik antara tujuan penelitian, teori, dan
metode kajian. Penentuan tujuan penelitian dihasilkan oleh kemampuan
pemahaman penelitian dalam menentukan teori yang diminati dan dikuasai
serta praktik metodologisnya. Adakalanya peneliti dengan mudah menentukan
tujuan penelitian berdasarkan identifikasi masalah yang disusunnya (cermati
kasus yang telah dibahas). Peneliti mampu memilih dan menyajikan landasan
teorinya. Akan tetapi kemampuan menguraikan secara tepat berdasarkan
104
identifikasi masalah dan tujuan penelitian, kurang memadai. Cermati uraian
utuh subbab landasan teori (contoh Usulan Penelitian ):
1.6 Landasan Teori
Teori struktural objektif merupakan salah satu pendekatan dalam
penelitian karya sastra. Pendekatan struktural objektif adalah
pendekatan yang menitikberatkan karya sastra sebagai struktur yang
otonom yang lebih kurang terlepas dari hal-hal yang berada di luar
karya sasatra itu sendiri (Teeuw, 2003:132)
Bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semendetail, dan semendalam mungkin keterikatan dan keterjalinan
semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan
kemenyeluruhan (Teeuw, 2003:112).
Contoh utuh di atas jelas tampak berdiri sendiri dengan atau tanpa
subbab lainnya yang seharusnya berhubungan fungsional dalam pembicaraan
yang padu. Uraian di atas tidak mewakili identitas penelitian secara
menyeluruh yang dimiliki oleh sebuah usulan penelitian dengan judul tertentu,
latar belakang masalah dan identifikasi masalah tertentu, dan tujuan penelitian
tertentu. Uraian subbab di atas tidak menunjukkan korelasi antara latar
belakang masalah, identifikasi masalah, dan tujuan penelitian karena di
dalamnya tidak dihimpun pembicaraan yang menghubungkan subbab tersebut
dengan subbab lainnya secara fungsional.
Berdasarkan contoh di atas, penyusun UP kurang mengetahui secara
pasti fungsi landasan teori struktural objektif dalam sebuah penelitian dengan
menggunakan pendekatan struktural. Penguasaan teoretis pun belum cukup
tergambarkan dalam uraian subbab landasan teori secara aplikatif. Begitu juga
dengan pemahaman pemetaan uraian yang seharusnya berkesinambungan
antarsubbagian rancangan usulan penelitian. Uraian landasan teori tampak
105
terpisah dan tidak fungsional karena tidak dihubungkan langsung dengan
kepentingan menyeluruh penelitian, terutama menyangkut batasan masalah dan
tujuan penelitian. Kelemahan lain, penyusun UP tersebut kurang mampu
memahami konsep atau asumsi dasar (premis) dari teori yang digunakannya.
Bagian-bagian utama teori tidak diaplikasikan langsung pada pembicaraan
bagaimana teori tersebut menjadi bagian penting untuk memecahkan masalah
dan mencapai tujuan penelitian.
5.5 Kemampuan Menyajikan Metode
Kemampuan menguraikan secara tepat di dalam subbab metodologi pun
kurang memadai. Kekurangan yang dimaksud adalah keterbatasan uraian yang
tidak menjangkau ilustrasi metodis menyangkut:
a. metode deskriptif
Walaupun secara jelas peneliti mendeskripsikan definisi metode
tersebut, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan uraian yang mengarah kepada
bagaimana metode ini akan dijalankan dalam penelitian dan pencapaian yang
dimungkinkan bisa secara nyata menunjukkan hubungan fungsional dengan
tujuan penelitian. Cermati uraian pada subbab metode penelitian (contoh UP
skripsi) berikut ini:
106
1.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif, yaitu cara untuk memecahkan masalah yang
aktual dengan jalan mengumpulkan, menyusun,
mengklasifikasikan , menganalisis, dan menginterpretasikan data
(Winarno, 1980: 139).
Melalui metode deskriptif ini tujuan peneliti dapat tercapai
secara memadai karena sejumlah fenomena, sifat, dan ciri-ciri
data yang menyangkut masalah dasar penciptaan novel, unsurunsur
karya, keterjalinan unsur, tema, dan amanat dapat
terungkap secara tepat.
Mengacu kepada definisi metode deskriptif, sejumlah data, sifat, fakta,
fenomena, dan ciri-ciri unsur-unsur pembangun karya sastra (dalam
pengutamaan kajian struktural), dalam uraian subbab di atas tidak dipetakan
dan belum diarahkan secara memadai pada pembicaraan bahwa metode
tersebut adalah tepat untuk memecahkan masalah seperti yang dieksplisitkan
dalam tujuan penelitian. Pembicaraan tersebut seharusnya diikuti dengan
deskripsi singkat tentang teknik pengumpulan dan pemilihan data (sampel),
dan teknik pengklasifikasian data sehingga kerja metode deskriptif dapat
tergambarkan dengan jelas. Dengan demikian, contoh uraian UP dalam subbab
metode deskriptif di atas cenderung bersifat kutipan tanpa konteks.
107
b. metode kajian
Dalam uraian subbab metode kajian, penyusun UP kurang mampu
menyusun redaksi yang memadai untuk memberi gambaran metodis secara
lengkap perihal kajian yang digunakan dalam penelitiannya. Cermati contoh
uraian yang dimaksud:
1.2 Metode Kajian
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode
struktural dengan pendekatan objektif. Struktural adalah sebuah
karya atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi keseluruhan
karena ada timbal balik antarunsur. Bertujuan untuk membongkar
dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan kemenyeluruhan
(Teeuw, 2003:112)
Adapun data yang dikaji berpusat kepada: (1) masalah (bahan
tematik) menjadi dasar penceritaan novel, (2) struktur cerita, (3)
keterjalinan antarunsur dalam novel, dan (4) tema dan amanat.
Langkah kerja metode kajian ini secara sistematis dilakukan
melalui tahapan: (a) penelusuran masalah-masalah yang menjadi
dasar penceritaan untuk diarahkan pada penelusuran tematik
cerita, (b) mendeskripsikan unsur-unsur cerita secara struktural
yang tokoh dan penokohan, plot/alur, dan latar, (c) mengungkap
atau menelusuri keterjalinan antarunsur sebagai proses untuk
mengetahui keutuhan novel secara struktural, dan (d) mengetahui
tema dan amanat dengan didukung oleh hasil penelusuran a, b dan
c.
Metode kajian menyangkut bagaimana sebuah teori secara teknik dapat
mengarahkan peneliti kepada cara-cara dan langkah-langkah mengolah dan
menganalisis data ke dalam beberapa tahap pengerjaan sesuai dengan
pendekatan yang dipilihnya. Dalam hal ini, penyusun UP tersebut cukup
108
mampu mengejawantahkan tujuan penelitiannya ke dalam pembahasan yang
kemungkinan pemecahan masalahnya dapat dicapai melalui penerapan metode
kajian yang tepat. Namun demikian, kekuarangannya adalah penyusun tidak
memberi gambaran secara jelas perihal masing-masing langkah kerjanya yang
tentunya dibatasi dan diarahkan secara metodis oleh teori yang digunakan.
Kekuarang yang dimaksud adalah:
a. penelusuran masalah-masalah yang menjadi dasar penceritaan
Pada langkah ini penyusun tidak memberikan langkah nyata yang akan
dilakukan dalam penelusuran masalah. Instrumen apa yang digunakan sehingga
data tertentu dipilih dan ditetapkan sebagai data yang mengandung masalah.?
Apakah instrumen yang dimaksud akan diarahkan ke pencermatan peristiwaperistiwa
penting dari keseluruhan jalan cerita yang memiliki hubungan sebab
akibat? Bagimana halnya dengan pelekatan konflik pada tiap-tiap peristiwa?
Apakah setiap konflik mengindikasikan adanya masalah yang dapat dijadikan
dasar penelusuran tema?
b. mendeskripsikan unsur-unsur cerita secara struktural
Pada tahap ini, penyusun tidak memerikan tiap unsur cerita (tokoh dan
penokohan, plot/alur, dan latar) secara jelas berdasarkan tipikal masing-masing
unsur. Pencermatan tokoh dan penokohan akan terejawantahkan melalui teori
yang dipilih sehingga sekaligus akan menggiring pada model analisisnya.
Misalnya saja, penyusun yang memilih teori teknik pelukisan dramatik tokoh
109
menurut Altenbernd & Lewis tentunya akan berbeda dengan pemilihan teori
mengenai teknik pelukisan ragaan (showing) tokoh menurut Abrams.
Pada unsur-unsur cerita lainnya, seperti pengeplotan, apakah akan
dijajaki melalui pemanfaatan kaidah pengeplotan (plausibilitas, suspense,
surrise, kesatupaduan) sebagai instrumen; atau pengeplotan berdasarkan
kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, atau isi? Pemilihan di dalamnya akan
menentukan cara kerja yang relevan untuk dilakukan dalam kerja analisis.
Demikian pula pada pembicaraan latar, langkah apa yang dapat
ditempuh secara teknis dalam uraian subbab metode kajian? Langkah apa yang
secara tepat dapat mengarahkan penelusuran latar waktu, tempat, dan sosial?
c. mengungkap keterjalinan antarunsur untuk mengetahui
keutuhan novel secara struktural
Berkaitan dengan hal ini, penyusun tidak memberikan gambaran atau
bentuk keterjalinan yang dimaksud. Bagaimana teknik menentukan jalinan
unsur yang dimaksud? Jalinan apa saja atau bentuk jalinan yang bagaimana
sehingga jalinan tersebut ditafsirkan sebagai dasar keutuhan novel ? dsb.
d. mengetahui tema dan amanat
Walaupun pada bagian akhir uraian pada subbab metode kajian
penyusun menyebutkan bahwa hasil penelusuran a, b, dan c digunakan untuk
mengetahui tema dan amanat, tetapi teknik penjabaran riil pemanfaatan hasil
penelusuran tesebut tidak disertakan. Bagaimana relevansi tiap-tiap
110
penelusuran tersebut dengan kepentingan pencarian tema dan amanat? Model
pemilihan analisis apakah yang menjadikan sejumlah kriteria sebagai variabel
penelusuran tema?
Metode penelitian yang menyangkut teknik pupuan data dan metode
kajian, seharusnya sudah cukup jelas digambarkan di bagian-bagian
sebelumnya. Uraian metode yang menyangkut bagian-bagian penelusuran
masalah-masalah yang menjadi dasar penceritaan seharusnya menjadi bagian
yang sangat potensial untuk menentukan tema. Masalah-masalah tersebut
dihimpun dan selanjutnya dipilah berdasarkan kriteri tertentu yang
mengarahkan sebuah interpretasi guna menjangkau tema, baik tema mayon
maupun minor dan sebagainya sesuai dengan batasan teori yang digunakan
dalam penelitian.
Adapun dalam penentuan amanat, hasil analisis atas tema hendaknya
diramu kembali untuk menghasilkan sebuah penyataan yang mengarah kepada
nuansa amat cerita untuk kemudian ditentukan secara memadai amanat yang
paling relevan dengan kandungan cerita dari seluruh analisis yang telah
dikerjakan.
Kelemahan-kelemahan di atas tentunya perlu dibenahi sebelum
proposal penelitian diajukan atau bahkan diseminarkan untuk mendapatkan
persetujuan dari tim penguji. Jalan terbaik untuk mencapai hasil rancangan
usulan penelitian yang memadai adalah secara bertahap melakukan konsultasi
kepada pihak yang berwenang melakukan bimbingan sambil terus
mengemukakan masalah-masalah teknis dan non teknis yang dihadapi selama
111
penyusunan rancangan penelitian yang dimaksud. Dengan demikian, selalu
terbuka solusi selama kedua belah pihak (peneliti dan pembimbing) sama-sama
aktif dan bekerja keras untuk mendapatkan hasil terbaiknya.
*******
112
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Imran T. 1999. “Sastra Lisan,” Makalah. Yogyakarta: Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada.
Abrams, M.H. The Mirror and lamp: Romantic Theory and the Critical
Tradition. New York: The Norton Library; W.W. Norton & Company
Inc.
Chamamah. S. 2001. “Penelitian sastra Tinjauan Teori dan Metode Sebuah
Pengantar,” Metodologi Penelitian Sastra (Jabrohim, ed.). Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Faruk, 1999. “Strukturalisme-Genetik,” Makalah. Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gadjah mada.
Iser, Wlfgang. 1987. The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns
Hopkins University Press.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of reseption. Minneapolis:
University of Minnesotta Press.
Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh
Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Makaryk, Irena R. (ed.) 1993. Enclyclopedia of Contemporary Literary
Theory. Toronto-Buffalo-London: University of Toronto Press
113
Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin
Nazir, Moh. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko, 1999. “Strukturalisme”, Makalah. Yogyakarta:
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
------------------------------. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gama Media
Propp, V. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Diterjemahkan oleh Noriah Taslim.
Selangor: Sain Baru Sdn.Bhd.
Rien T. Segers. Evaluasi Teks Sastra. 2000. Diterjemahkan oleh Suminto A.
Sayuti. Yogyakarta: AdiCita
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
T. Fatimah Djajasudarma. 19. Metode Penelitian Linguistik. Bandung: Eresco.
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Diterjemahkan oleh Okke K.S. Zaimar,
dkk. Jakarta: Djambatan.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan
oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia
Wuradji, 2001. “Pengantar Penelitian,” Metodologi Penelitian Sastra
(Jabrohim, ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
114
115