Minggu, 13 Februari 2011

KONFLIK PRIBADI TOKOH UTAMA DALAM CERPEN KOTA KELAMIN KARYA MARIANA AMIRUDDIN

Kajian Sosiologi Sastra

Disusun oleh :

Rindit setiawan

08003124

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

2010

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
  2. Rumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
  3. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
  4. Kajian teori . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

PEMBAHASAN

  1. Sastra sebagai cermin masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
  2. Masalah-masalah yang ada dalam cepen “Kota Kelamin” . . . . . . . . 7
  3. Pengaruh karya sastra terhadap kehidupan remaja . . . . . . . . . . . . . . 8

KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kritik sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahami haruslah karya sastra dianalisis (Hill, 1996: 6). Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra. Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya. Kritik sastra merupakan studi sastra yang secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya (Weellek, 1978: 35 dalam Pradopo, 2009: 92).

Menurut Rachmat Djoko Pradopo, untuk mengenal permasalahan kritik sastra, perlu dikemukakan manfaat kritik sastra yang dapat digolonglan menjadi tiga, yaitu, pertama untuk perkembangan ilmu sastra sendiri, kedua, untuk perkembangan kesustraan, dan ketiga untuk penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan pada karya sastra pada umumnya.

Salah satu metode kritik sastra yang dapat digunakan adalah metode sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemsyarakatan. Sehingga, tujuan dari analisis sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat.

Pendekatan kritis menawarkan satu teori sastra yang membongkar wacana kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra adalah konstruksi dari bagian dalam pembentukan subyek dan realitas sehingga terlibat pada kepentingan tertentu, baik politik dan ekonomi. Kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra harus mengenali dan mengakui subyektivitasnya sendiri. Obyektivitas dalam bentuk apapun tidak akan tercapai dalam inter-relasi kehadiran karya itu sendiri.

Ilmu sastra yang meliputi teori, kritik, sejarah dan sastra bandingan sesungguhnya harus melepaskan dirinya dari strukturisasi dan konstruksi. Ilmu sastra harus mengambil posisi bersifat murni dan kritis terhadap kekuatan hegemonik yang dihadapi. Keadaan ini seharusnya diperhatikan untuk peneliti, pembelajar dan pengajar atau profesor sastra dan linguistik/bahasa untuk direnungkan kembali kekuatan hegemonik apa yang berada dan bersembunyi di balik ilmu yang mereka agung-agungkan dan mereka pelajari serta ajarkan. Jika tidak, betapa mereka yang telah menjadi budak yang bodoh dan tukang yang tak bernama, selayaknya kita merenungkan satu pernyataan dari Spivak berikut ini: ”Tanpa menghadapkan pandangan kita ke Barat, kita tidak mungkin menjadi seorang intelektual”. Wahai para pakar sastra, apakah demikian adanya?

Dari semua uraian tersebut sebenarnya banyak sekali masalah-masalah nyang dapat dikritik sehingga dapat berguna bagi para penikmat sastra yaitu para pembaca itu sendiri. Kehidupan masyarakat sangat beragam. Banyak di lingkungan sekitar kita orang-orang yang melakukan kebiasaan yangtidak baik. Kebiasaan yang melanggar norma dan nilai-ilai yang ada dalam masyarakat. Semua itu dilarang oleh agama. Seperti halnya dalam cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin, banyak masalah yang melanngar norma dan nilai agama. Dalam cerpen tersebut tokoh utama yaitu “Aku” yang tak lain adalah pengarang sendiri sering melakukan perbuatan perzinaan dengan pacarnya sendiri. Mereka melakukan perbuatan tersebut dengan rasa senang dan berulang terus. Perbuatan yang jelas-jelas dilarang tersebut mereka lakukan setiap mereka bertemu.dalam menganalisis masalah-masalah tersebut penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang lebih menekankan pada sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas maka muncul permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi sosial masyarakat dalam cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin, dengan realita sosial yang ada dimasyarakat?

2. Masalah-masalah apa saja yang ada dalam cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin?

3. Seberapa jauh karya sastra dapat mempengaruhi kehidupan remaja sekarang ini ?

C. Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian kritik sosiologi pada cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amiruddin adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejauh mana sastra dapat mencerminkan masyarakat waktu karya sastra tersebut tercipta.

2. Untuk mengetahui cerita dan fakta dalam cerpen Kota Kelamin karya Mariana Amiruddin.

3. Untuk mengetahui pengaruh karya sastra terhadap remaja.

D. Kajian Teori

Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia, baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atas.

Sebaliknya, kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra. Artikel ini dimulai dengan pembahasan mengenai studi kritik sastra yang sejak dulu dipahami sebagai sebuah bentuk kerja interpretasi (menjelaskan maksud) untuk karya imajinatif (atau karya sastra) ternyata sudah mulai bergeser fungsinya dengan tuntutan menjadikan kritik sastra sebagai sebuah bentuk karya sastra sekelas dengan seni yang lain. sastra juga dimaksudkan untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.

Dengan berpegang pada keunggulan, niscaya pada akhirnya kita juga harus meletakkan karya sastra pada kelas yang sama dengan kritik karena kritik yang tidak baik dan tidak memiliki keunggulan, pasti berasal dari tidak adanya keunggulan kesusastraan dari karya itu sendiri (no literal primacy in discourse at all). Yang pertama, ketika karya sastra ternyata hanya sekadar meniru tanpa memberikan refleksi lain, kritik sastra dapat dipandang sebagai karya utama karena kritik mampu menulis ulang (layaknya karya sastra) sebuah objek dalam terminologi atau pengertiannya sendiri (criticism is now have always been rewriting the object in the critic’s own terms).Walaupun dalam hal tata bahasa dan pilihan kata dapat dikatakan terlalu rumit, secara keseluruhan, tulisan Murray Krieger “Criticism as a Secondary Art” ini dapat dikatakan cukup baik dan membantu kita, pembacanya, mengerti bagaimana bentuk kritik sastra yang baik, kedudukan kritik sastra yang terus berkembang, dan sedikit kilasan perkembangan kritik sastra Amerika.

Untuk melakukan kritik terhadap cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin, penulis menggunakan pendekatan Sosiologi sastra karena untuk mengetahui lebih jelas kehidupan pengarang dan cerminan dalam masyarakat. Sosiologi berasal dari bahasa Yunani soio atau socious yang berarti ‘masyarakat’ dan kata logi atau logos yang berarti ‘ilmu’. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris (Ratna.2003:1).

Sastra juga diambil dari bahasa Yunani, dari kata sas (sansekerta) berarti ‘mengarahkan,mengajar, memberi petunjuk dan intruksi’. Dan akhiran tra berarti ‘alat atau sarana’. Jadi sastra berarti ‘kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik’. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian yaitu kesusastraan, yang berarti ‘kumpulan hasil karya yang baik’ (Ratna.2003:1).

Karya sastra biasanya berisi lukisan yang jelas tentang suatu tempat dalam suatu masa dengan berbagai tindakan manusia. Manusia dengan berbagai tindakannya di dalam masyarakat merupakan objek kajian sosiologi. Seperti yang dikatakan Marx dalam Faruk (1999:6), struktur sosial sustu masyarakat, juga struktur lembaga-lembaganya, moralitasnya, agamanya, dan kesusastraannya, terutama sekali ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan, khususnya kondisi-kondisi produktif kehidupan masyarakat itu.

Pembahasan hubungan antara sastra dengan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (litelature is an expression of society) (Wellek.1995:110). Hal ini dimaksudkan bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup. Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya tentang hidup, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat sebagai makhluk sosial.

Ratna (2003:2), mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda, bahkan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein), bukan apa yang seharusnya terjadi ( das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat evaluatif, subjektif, dan imajintif. Dan perbedaan antara sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.

PEMBAHASAN

1. Sastra sebagai cermin masyarakat

Dalam cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin diceritakan bahwa tokoh perempuan “aku” sekaligus sebagai tokoh utama mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya. Mereka melakukannya dengan rasa senang tanpa mempunyai rasa takut maupun rasa bersalah, yang ada hanyalah nafsu semata. Kutipan:

“Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur”,(hal 1).

Dalam kutipan tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh tokoh aku dilarang jelas oleh agama dan norma, serta nilai-nilai yang ada dalam masyaraakat. Mereka melakukan perbuatan zina, dan zina adalah perbuatan yang dosa. Namun mereka sering meakukan perbuatan tersebut yang seharusnya perbuatan itu hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Dalam hukum agama perbuatan zina akan mendapatkan hukuman rajam yaitu dicambuk sebanyak 100X. Maka perbuatan tersebut sangat dilarang. Perbuatan selayaknya suami istri itu pun seharusnya tidak boleh dengan penuh nafsu belaka namun harus dengan rasa suka dan ingin mendapatkan keturunan. Keturunan yang baik untuk semuanya, dan keturunan yang memang dikehendaki oleh seorang suami istri.

Tokoh “aku” dalam cerpen “Kota Kelamin” menganggap bahwa alat kelamin tidak boleh hanya untuk membuang air seni saja. Kelamin juga perlu bahagia yaitu dengan melakukan hubungan seks. Mereka tahu bahwa alat kelamin tidak boleh terlihat oleh siapapun yang bukan suami atau istrinya, tpi mereka malah melakukan hubungan yang seharusnya tidak mereka lakukan yaitu hubungan selayaknya suami istri. Kutipan:

“Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak”.

“Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari”.

“Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia”.

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa mereka melakukan perbuatan sek dengan rasa suka dan mereka mengetahui apa resiko yang akan mereka dapatkan serta mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan dosa. Tetapi mereka tetap melakukannya.mereka menghiraukan kalau perbuatan tersebut adalah perbuatan dosa, dan menghiraukan telah melanggar nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.

Perbuatan itu mereka lakukan setiap malam hari setiap mereka bertemu. Mereka belum menemukan suatu kejenuhan dalam menjalaninya. Namun suatu ketika tokoh “aku” melihat vaginanya mulai memucat, tokoh “aku” merasa bahwa vaginanya sedih, dan dia bingung bagaimana lagi cara membahagiakannya.mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. tidak ada rasa yang seperti dulu lagi saat awal-awal mereka berpacaran dan awal-awal melakukan perbuatan itu. Kutipan:

“Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi”.

Dalam akhir cerita tokoh “aku” sadar bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh agama dan melanggar nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Sadar setelah merasakan akibat dari perbuatan yang telah dilakukan.

2. Masalah-masalah yang ada dalam cepen “Kota Kelamin”

a. Masalah pribadi tokoh utama.

Tokoh utama dalam cerpen yang berjudul “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin mempunyai kebiasaan melakukan hubungan selayaknya suami istri, namun yang sebenarnya tidak boleh karena mereka belum menikah. Perbuatan itu dilakukan dengan rasa senang dan penuh nafsu. Namun suatu ketika mereka tidak melakukan perbuatan tersebut karena kesibukan dengan pekerjaan. Jadi mereka jarang bertemu dalam jangka waktu yang cukup lama. Kebiasaan itu membuat tokoh”aku” merasa jenuh dan tidak mempunyai gairah lagi. Ketika mereka ingin melakukan perbuatan itu lagi. Dia bingung dengan semua ini dan bertanya-tanya mengapa ini semua bisa terjadi pada mereka.

Dalam melakukan hubungan seks seharusnya sudah ada suatu ikatan yaitu ikatan pernikahan terlebih dahulu. Namin mereka melanggarnya, malah mendahuluinya sebelum mereka menikah.

b. Masalah dengan Tuhan

Dalam melakukan hubungan seks harus didasarkan rasa senang dan ingin mendapatkan keturunan yang baik dan dapat menjadi anak yang shaleh, namun mereka melakukannya dengan rasa nafsu sesaat belaka, dan itu dilarang oleh agama. Pernikahan adalah salah satu cara agar dapat melakukan hubungan seks, karena jika seseorang belum menikah tidak boleh melakukan perbuatan tersebut.

Tokoh utama “aku” merasa sangat bersalah dan menyesal dengan perbuatan yang telah dilakukannya dan sadar behwa perbuatan tersebut selah dan dilarang oleh agama. Kutipan:

.........

“Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin”.

..........

“Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu”.

............

3. Pengaruh karya sastra terhadap kehidupan remaja

Dalam cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin diceritakan bahwa tokoh perempuan “aku” sekaligus sebagai tokoh utama mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya. Mereka melakukannya dengan rasa senang tanpa mempunyai rasa takut maupun rasa bersalah, yang ada hanyalah nafsu semata.

Hubungan seks hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai ikatan pernikahan saja. Agar pera generasi pemuda tidak melakukan perbuatan tersebut, harus ada hukuman yang tegas dan jelas agar mereka tidak melakukannya. Selain itu setiap anak harus dididik dengan baik dengan memberikan bekal yang banyak tentang ilmu agama agar mereka mengetahui bahwa itu dilarang dan melanggar norma- dan nilai-nilai yang ada. Penyuluhan kepada generasi penerus bangsa jugaperlu dilakukan yaitu dengan menjelaskan bahaya-bahaya apa yang akan terjadi jika melakukan hubungan seks bebas.

Cerpen yang berjudul Kota Kelamin karya Mariana Amiruddin memberikan pendidikan yang baik bagi para pembaca karena dapat mengetahui salah satu bahaya apa yang akan terjadi akibat seks bebas. Penyesalan tokoh utama memberikan pengetahuan bahwa perbuatan itu sangat tidak mengenakkan dan yang ada hanya penyesalan diakhir saja. Tidak ada penyesalan yang ada di awal.

KESIMPULAN

  1. Sastra sebagai cermin masyarakat

Karya sastra merupakan hasil karya manusia baik lisan maupun tulisan yang menggunakan bahasa sebagai pengantar dan mempunyai nilai estetik yang dominan. Dalam penulisan karya sartra biasanya adalah sesuatu hal atau peristiwa yang ada kemudian ditulis dalam bentuk karya sastra. Peristiwa yang ada dalam cerpen Kota Kelamin mengambarkan keadaan masyarakat saat peristiwa itu terjadi. Setelah iotu ditulis dalam cerpen yang berjudul kota kelamin.

  1. Masalah-masalah yang ada dalam cerpen Kota Kelamin

Masalah-masalah yang ada dalam cerpen Kota Kelamin berupa permasalahan pribadi tokoh utama “aku” dan permasalahan tokoh utama”aku” dengan Tuhan.

  1. Pengaruh karya sastra terhadap kehidupan remaja

Dalam cerpen “Kota Kelamin” karya Mariana Amirudin diceritakan bahwa tokoh perempuan “aku” sekaligus sebagai tokoh utama mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya. Mereka melakukannya dengan rasa senang tanpa mempunyai rasa takut maupun rasa bersalah, yang ada hanyalah nafsu semata. Cerpen yang berjudul Kota Kelamin karya Mariana Amiruddin memberikan pendidikan yang baik bagi para pembaca karena dapat mengetahui salah satu bahaya apa yang akan terjadi akibat seks bebas. Penyesalan tokoh utama memberikan pengetahuan bahwa perbuatan itu sangat tidak mengenakkan dan yang ada hanya penyesalan diakhir saja.

DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Rahmad Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rahmad Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra..Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra.Yogyakarta: Pustaka.

POLEMIK UJIAN AKHIR NASIONAL

Disusun Oleh :

Rindit Setiawan 08003124

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARYA

2010

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ujian Akhir Nasional beberapa tahun terakhir menjadi perbincangan di kalangan dunia pendidikan. Hal ini disebabkan banyaknya siswa yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional. Akibatnya banyak siswa yang menganggap ini merupakan akhir dari masa depan mereka. Siswa yang tidak lulus banyak yang mengalami depresi yang berat, bahkan tidak sedikit siswa yang tidak lulus mencoba mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Di kalangan pelajar dan orang tua siswa terutama masyarakat awam, menganggap bahwa Ujian Akhir Nasional sebagai momok yang paling menakutkan untuk mencapai masa dapan siswa yang lebih baik. Dengan adanya hal tersebut memicu adanya protes bahkan demo dari masyarakat.

Di kalangan pemerintah memandang Ujian Akhir Nasional sebagai tolok ukur untuk mengetahui kemampuan siswa selama menimba ilmu di sekolah. Bahkan dari pihak DEPDIKNAS setiap tahun mengambil langkah agar mutu kelulusan siswa menjadi lebih baik dengan meningkatkan standar nilai kelulusan Ujian Akhir Nasional. Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintah bersikap tegas untuk tetap mengadakan Ujian Akhir Nasional walaupun banyak yang memprotes kebijakan tersebut.

Dengan adanya kebijakan pemerintah tentang Ujian Akhir Nasional masyarakat jangan menganggap bahwa semua itu merupakan pembunuhan masa depan siswa, tetapi orang tua harus mendukung sepenuhnya kebijakan tersebut. Sebagai orang tua harus dapat memotivasi anaknya untuk lebih rajin belajar, sehingga anak tersebut dapat mengerjakan soal-soal Ujian Akhir Nasional dengan baik dan lulus dengan nilai yang maksimal.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui peran dan fungsi ujian nasional.

2. Untuk mengetahui apa penyebab banyaknya siswa yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional.

3. Untuk mengetahui dampak dari pelaksanaan Ujian Akhir Nasional.

4. Untuk mengetahui solusi apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus ini.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa peran dan fungsi ujian nasional?

2. Apa penyebab banyaknya siswa yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional ?

3. Apa dampak dari pelaksanaan Ujian Akhir Nasional ?

4. Bagaimana solusi yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus ini?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ujian Nasional

Pada era globalisasi ini, semua negara berkompetisi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Yang dimaksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada Ujian Nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan yang tidak lulus disebut batas kelulusan. Kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, pada bab XVI pasal 57 sampai dengan 59 tentang evaluasi menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.

Kontroversi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) memang bukan kali pertama terjadi. Tercatat kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) 2005 mengundang kritik dari berbagai kelompok masyarakat, terutama komunitas pendidikan di Tanah Air. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007, tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/ Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2007/2008. Tujuan UN memang sangat mulia. Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 2 (a) menyebutkan tujuan UASBN adalah mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu.

Mendiknas pun menetapkan pelaksanaan ujian nasional tahun 2008 merupakan Ujian akhir sekolah berstandar nasional. Artinya, ujian nasional dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah. Hasil UASBN pun menjadi sumber untuk: a. pemetaan mutu satuan pendidikan; b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c. penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan d. dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 3).

Pelaksanaan ujian akhir di berbagai tingkatan pendidikan setiap akhir tahun ajaran, seringkali memunculkan pro-kontra. kegunaannya. Perdebatan dan kritik makin gencar. Kalangan masyarakat berpendapat, pemenuhan berbagai sarana dan prasana kebutuhan pendidikan tampaknya belum terlalu dihiraukan pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Bahkan, beberapa kalangan pendidikan menilai UN 2005 sudah menabrak UU Sisdiknas, terutama Pasal 35 Ayat (1): ''Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala''. Dalam Bab Penjelasan disebutkan, kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Jadi, tidak semata-mata hanya didasarkan pada nilai ujian nasional.

Diperkuat pula oleh Pasal 38 Ayat (2), bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Koordinasi dan supervisi dilakukan oleh dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar, serta provinsi untuk pendidikan menengah. Dengan demikian, pusat tidak memiliki otoritas tersebut, kecuali merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum untuk pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Ayat (1).

Selama ganjalan terhadap berbagai payung hukum ini belum dapat diatasi, sebaiknya pemerintah menunda dulu pelaksanaan UN 2005. Sebab dikhawatirkan muncul anggapan bahwa pemerintah tak konsisten, atau tidak memiliki arah dalam pembangunan pendidikan di Indonesia, atau bahkan berlaku inkonstitusional.

B. Peran dan Fungsi Ujian Nasional

Di antara berita masalah hukum yang belum berkeadilan, masih ada berita masalah pendidikan yang juga tak kalah seru. Ujian nasional akan dimajukan waktunya, dan sungguh sangat mengejutkan Bila sampai mereka mogok, maka akan sengsaralah para guru, apalagi buat mereka yang belum dinyatakan lulus sertifikasi guru. Sudah lulus saja masih bermasalah, apalagi belum lulus sertifikasi pastilah ada banyak masalah, khususnya masalah isi kantong yang belum menyebar merata ke semua guru.

Masalah pendidikan memang masalah pelik, dan tidak semua orang bisa memahaminya dengan cara-cara yang bijaksana. Tentu dari kebijakan menteri pendidikan nasional yang baru, kita berharap ada terobosan yang berbeda dari menteri pendahulunya. Perbedaan itu misalnya berani menghapus Ujian Nasional karena Ujian Nasional mematikan kreatifitas siswa dan guru. Ujian Nasional hanya melatih siswa menjawab soal-soal pilihan ganda dan semua soal Ujian Nasional itu bisa di drill dengan latihan soal-soal terus menerus. Bagi mereka yang mempunyai uang banyak mungkin tak ada kesulitan dalam memberikan materi tambahan, tetapi bagi mereka yang tak punya uang, maka harus belajar ekstra keras berlatih soal-soal. Untuk bisa mengerjakan soal-soal Ujian Nasional, anda tak perlu sekolah, cukup masuk bimbingan belajar (bimbel) selama beberapa bulan, dijamin anda pasti lulus. Bila tak lulus, janji mereka, uang kembali 100 %.

Ujian Nasional tidaklah cocok dijadikan penentu kelulusan siswa. Sebab, masih banyak ukuran kelulusan yang bisa dilakukan, misalnya dengan sistem tes masuk perguruan tinggi, sehingga bila ada peserta didik yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka peserta didik itu harus ikut tes sesuai dengan jenjang yang akan dimasukinya. Seleksi tes perguruan tinggi tak melihat nilai siswa, tetapi kemampuan siswa. Mereka yang tak lolos tes, otomatis akan terlibas oleh mereka yang lulus tes.

Selain masalah Ujian Nasional, ada masalah sertifikasi guru yang belum tuntas dan masih terus dievaluasi. Pelaksanaan sertifikasi guru memang belum menyenangkan semua pihak. Guru diibaratkan seperti kelinci percobaan dari para penentu kebijakan yang sebenarnya kebijakan ini dipaksakan. Satu sisi jelas guru harus disertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme mereka, tetapi di sisi lain masalahnya adalah banyak guru yang kurang bersabar dalam menunggu giliran sesuai dengan jenjang kepangkatannya, dan kurang bersyukur dengan apa yang telah didapatkan, sehingga banyak kita lihat guru yang sudah tersertifikasi justru mengalami penurunan kinerja.

Akhirnya Ujian Nasional dan sertifikasi adalah masalah yang memusingkan menteri, dan kita doakan beliau mampu mengatasinya dengan kebijakan yang “smart” . Berlaku adil dan menyenangkan semua pihak. Kita pun berharap guru semakin bermartabat. Guru di sekolah mampu menjalankan tugasnya dengan baik, dan dosen di perguruan tinggi tidak terlalu asyik mengerjakan tugasnya di luar, untuk mencari tambahan penghasilan sehingga banyak mahasiswa yang tidak terbina dengan baik.
Semoga saja kita bisa memberikan dorongan positif agar pelaksanakan Ujian Nasional dan sertifikasi ini berjalan sesuai dengan harapan semua pihak. Tidak 100 % mungkin memang, tetapi setidaknya masalah pendidikan di negeri ini terselesaikan dengan tepat dan cepat.

Fungsi Ujian Nasional SMA, SMK, dan MA sebagai bahan pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Fungsi evaluasi nasional tidak lagi merupakan syarat kelulusan tetapi terutama adalah untuk mengevaluasi sampai di mana pencapaian mutu pendidikan, baik secara kewilayahan maupun nasional.

C. Penyebab Banyaknya Siswa Tidak Lulus Ujian Nasional

Dalam keseharian kurikulum pendidikan di Indonesia memang ‘membiasakan’ anak-anak dijejali dengan semua pelajaran. Sekolah umum memang begitu adanya. Semua anak diberikan berbagai mata pelajaran. Hal ini memang baik untuk memberi keluasan pengetahuan bagi anak didik. Namun, perlu dimengerti pula dampak negatif dibalik itu. Jejalan berbagai mata pelajaran bukan tidak mungkin membuat anak didik menjadi stres, bahkan malas sekolah. Mereka menganggap sekolah tidak lebih dari ‘penjara’ atau hantu yang mematikan kreativitas mereka.

Taraf-taraf kemampuan yang dikuasai anak didik dipasung dalam kurikulum yang harus semua mereka terima. Bukankah lebih baik apabila ada penjurusan bagi anak-anak sedari dini? Model penjurusan (IPA, IPS, atau bahasa) di tingkat SLTA tampaknya terlambat. Anak-anak terlampau lama dijejali banyak pelajaran. Banyak pelajaran yang harus mereka telan ‘mentah-mentah’ tanpa tahu secara mendalam.

Menghadapi UN pun bukan saja beban berat bagi para siswa. Guru dan pihak sekolah pun dihadapkan pada beban kelulusan anak-anak didik mereka. Bisa dilihat, realita sekolah yang tidak sanggup menghadapi UN.

Secara langsung atau tidak, jumlah siswa yang berhasil lulus atau banyaknya siswa tidak lulus menjadi catatan tersendiri bagi pihak sekolah. Bukan tidak mungkin, sekolah yang jumlah anak didiknya dominan tidak lulus akan kehilangan ‘kepercayaan’ dari para orang tua murid untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah tersebut. Jadi tidak salah pula, keberhasilan anak didik mereka lulus merupakan ‘harga mati’ menjaga nama baik sekolah.

Selain itu banyak penyebab lain yang mengakibatkan siswa tidak lulus ujian akhir nasional, misalnya kualitas guru yang kurang sesuai dengan standar pendidik, banyaknya siswa yang menyepelekan suatu mata pelajaran yang mereka anggap mudah, banyak siswa yang terlalu mengandalkan teman yang kemampuannya lebih dari siswa itu sendiri yang mangakibatkan kurangnya belajar.

D. Dampak Ujian Nasional

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sebaiknya sistem pendidikan yang ada sekarang ini diubah menjadi sistem yang lebih baik. Saat ini pemerintah menetapkan nilai yang cukup tinggi untuk dapat lulus dari Ujian Akhir Nasional / UAN baik di tingkat SD, SMP maupun SMA. Untuk dapat lulus setiap siswa diwajibkan untuk mendapatkan nilai 5,50 pada masing-masing mata pelajaran yang diujikan.

1. Dampak Positif Ujian Nasional

Dengan adanya Ujian Akhir Nasional yang semakin meningkat nilai setandar kelulusannya maka, siswa lebih terpacu semangatnya dalam belajar untuk menempuh Ujian Akhir Nasional dan dapat lulus dengan nilai yang memuaskan. Selain itu siswa dapat merasa lebih bangga karena usaha yang dilakukan sebelum maupun selama menempuh ujian tidak sia-sia.

Pemerintah bisa merasa puas karena siswa lulus dengan mutu yang semakin meningkat setiap tahunnya apabila tingkat kelulusan siswa tinggi.

2. Dampak Negatif Ujian Nasional

Perhelatan rutin tahunan Ujian Nasional telah usai. Sebagai sebuah kebijakan pemerintah Ujian Nasional jelas ada sisi positif (manfaat) dan juga ada sisi negatifnya. Untuk kasus Ujian Nasional, manfaatnya jelas ada, dampak negatif dari Ujian Nasional itu jauh lebih besar dibanding dengan manfaatnya. Tulisan ini sengaja hanya akan mencoba menguak dampak negatif dari pelaksanaan Ujian Nasional dengan sistem yang ada sekarang. Bukankah Ujian Nasional yang sungguh telah menghabiskan dana negara atau uang rakyat yang sangat banyak itu, langsung maupun tidak langsung, sebenarnya telah meninggalkan efek negatif terhadap masyarakat di dalam mempersepsi keberadaan pendidikan nasional?.

Dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini adalah bergesernya paradigma bagi para praktisi pendidikan, peserta didik dan wali peserta didik.

Pertama, konstruk berfikir para kepala sekolah / madrasah dan guru tentang hakekat atau substansi dari kegiatan pendidikan sekarang ini hanyalah sebatas mengantarkan para peserta didik untuk lulus Ujian Nasional saja. Akibatnya, tentang bagaimana mengantarkan peserta didik untuk menjadi anak yang cerdas sebagaimana dirumuskan dalam tujuan utama pendidikan nasional, tidak pernah terpikirkan secara sistemik. Karena yang penting bagaimana para peserta didik itu siap berlaga dalam Ujian Nasional yang hanya terdiri dari tiga mata pelajaran tersebut.

Kedua, dampak Ujian Nasional bagi peserta didik adalah timbulnya pemahaman yang keliru terhadap makna bejalar di sekolah/madrasah. Tujuan studi (belajar) yang mestinya dalam rangka mencari ilmu, kecerdasan dan akhlak yang mulia berubah menjadi sekedar meraih kelulusan Ujian Nasional untuk tiga mata pelajaran Ujian Nasional. Akibatnya, mata pelajaran yang tidak di Ujian Nasionalkan akhirnya menjadi dinomorduakan, termasuk gurunya. Kondisi demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan Ujian Nasionalnya tidak jujur.

Setiap kali ada pelaksanaan Ujian Nasional hampir pasti muncul aroma yang cukup tajam bahwa ada beberapa sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya tidak fair-play alias tidak jujur. Artinya, dalam pelaksanaan Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah itu panitianya dan tentu dengan “restu” kepalanya secara langsung atau tidak langsung membantu siswa supaya lulus Ujian Nasional, misalnya dengan cara memberi kunci jawaban kepada peserta Ujian Nasional, dan juga bisa dengan cara menggunakan siswa pandai untuk “dicontoh” oleh peserta didik yang memang lemah.

Sebenarnya untuk mendeteksi sebuah sekolah/madrasah bertindak curang atau tidak itu tidak terlalu sulit, di antaranya menanyakan kepada para peserta didik yang baru saja menyelesaikan belajarnya (tamat). Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebuah sekolah/madrasah itu melakukan curang/ tidak. Di samping itu, di dunia pendidikan kita sekarang ini muncul “keanehan-keanehan”. Pertanyaannya adalah “ada apa denganmu panitia Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah?” Sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya itu tidak jujur dan tidak fair-play, sebenarnya lembaga pendidikan tersebut telah melakukan “kejahatan intelektual” secara berjama’ah. Siapa yang paling berdosa, tidak lain adalah panitia Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah yang tentu saja “dikomandani” oleh kepala sekolah/kepala madrasahnya. Dengan melakukan kecurangan, berarti telah menafikan nilai-nilai akademis dari sebuah kegiatan pendidikan yaitu kejujuran dan obyektifitas itu sendiri. Kalau dalam wilayah ilmu itu tidak jujur, jelas itu merupakan bentuk “kejahatan intelektual”. Bagi sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya curang, maka akan berdampak pada peserta didik di kelas bawahnya yang tahun berikutnya akan melaksanakan Ujian Nasional. Mereka para adik kelas yang mwngetahui bahwa kakak kelas dalam Ujian Nasionalnya itu dibantu oleh guru, maka jelas mereka akan “ogah-ogahan” dalam belajar karena mereka tahu bahwa nanti pada saat UJian Nasional pasti akan dibabntu oleh guru sebagaimana kakak kelasnya dulu.

Ketiga, dampak negatif terhadap wali peserta didik adalah bahwa sekarang ini sudah banyak wali peserta didik yang beranggapan bahwa yang namanya sukses pendidikan anaknya yaitu apabila anaknya lulus Ujian Nasional. Degan demikian para wali peserta didik sudah tidak lagi memperdulikan apakah anaknya itu akhlak/kelakuannya baik atau tidak, menjadi tambah mandiri, berwawasan luas, kretaif dan inovatif atau tidak?. Yang penting apabila sudah lulus Ujian Nasional berarti sudah berhasil. Konsekuensi asumsi yang demikian adalah wali peserta didik kemudian menjadi kurang respek terhadap pengawasan dan pendampingan belajar anaknya. Orang tua baru akan peduli terhadap belajar anaknya ketika Ujian Nasional sudah dekat, sementara untuk saat-saat di luar menjelang Ujian Nasional, anak tidak pernah dimotivasi untuk belajar secata continue.
Di samping apa yang telah diuraikan di atas, sebenarnya dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini juga melanda ke lembaga-lembaga /para pengelola pendidikan non pemerintah.

Mereka berkewajiban “mencicil” tiap bulan ke Bank dan membayar guru/karyawan tiap bulan. Coba apa yang bakal terjadi apabila sekolah tersebut banyak yang tidak lulus?. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan non pemerintah yang kondisinya demikian penulis yakin akan berusaha dengan “cara apapun” yang penting para siswanya harus lulus Ujian Nasional. Sebab, kalau sampai terjadi banyak yang tidak lulus Ujian Nasional akan dapat berakibat fatal dan bahkan bisa terjadi “kiamat” di lembaga pendidikan tersebut. Sebab, secara empirik, lembaga pendidikan non pemerintah yang demikian itu, sebenarnya bukan saja berfungsi sebagai wahana pencerdasan anak bangsa/peserta didik tetapi juga berfungsi ekonomis, yakni sebagai “lahan penghidupan” bagi guru dan pegawai yang berada di dalamnya beserta keluarganya. Dengan demikian kelulusan Ujian Nasional itu ada hubungannya dengan “dapur” / kecurangan.

Pelaksanaan Ujian Nasional sering kali mengorbankan siswa dan guru, di tingkat akhir sekolah pembelajaran siswa hanya difokuskan untuk lulus Ujian Nasional dengan pemberian pelajaran tambahan yang bisa menyebabkan siswa stress.

Ada yang berpendapat Ujian Nasional malah menghambat perkembangan anak didik. Ujian Nasional merupakan pemborosan untuk sesuatu yang tidak berarti apa-apa dalam peningkatan perkembangan anak didik.

E. Solusi Yang Dilakukan Pemerintah

Untuk menghindari pro dan kontra tentang perlu-tidaknya ada Ujian Nasional, maka penulis menawarkan alternatuf solusi. Pertama, kembalikan fungsi Ujian Nasional itu sebagai sekedar alat “pemetaan” kualitas pendidikan, bukan sebagai alat penentu kelulusan. Jadi, Ujian Nasional itu berfungsi seperti sistem Ebtanas yang model dahulu. Artinya anak tetap mendapat STTB dan nilai Ebtanas sebagai lampiran dari STTB tersebut.

Ketika Ujian Nasional tidak dijadikan alat penentu kelulusan, maka pelaksanaan Ujian Nasional di sekolah/madrasah jelas cenderung akan lebih fair-play dan jujur karena tidak ada rasa khawatir peserta didiknya tidak lulus. Kemudian yang menentukan lulus-tidaknya peserta didik, diserahkan kepada sekolah/madrasah.

Kedua, apabila Ujian Nasional itu tetap dijadikan alat penentu kelulusan, maka agar Ujian Nasional itu lebih demokratis dan adil, batas kelulusan (passing-grade) yang dijadikan patokan kelulusan itu jangan hanya ada satu seperti sekarang, tapi paling tidak ada tiga tipologi /strata passing-grade, misalnya : tipe A dinyatakan lulus dengan passing grade 5,1, tipe B lulus dengan passing grade 4,1 dan tipe C lulus dengan passing grade 3,1. Sejak awal pendaftaran Ujian Nasional peserta didik sudah mendaftar Ujian Nasional dengan preferensi tipe yang sesuai dengan kemampuan dirinya.

Sekolah/madrasah yang pinggiran, sekolah/madrasah yang gurunya belum memenuhi standar, sekolah/madrasah yang sarprasnya sangat tidak memenuhi, tipenya disamakan dengan sekolah yang sudah berstandar SSN. Dimana letak keadilannya?. Apabila tiga tipologi passing-grade itu sejak awal sudah ditawarkan kepada peserta didik yang akan melaksanakan Ujian Nasional berarti telah ada keadilan dalam dunia pendidikan kita. Peserta didik yang mendapat nilai tinggi tentu akan masuk ke sekolah-sekolah favorit, sementara yang nilainya rendah akan memilih sekolah/madrasah yang sekiranya mau menerima dirinya sesuai dengan nilai hasil Ujian Nasional/Nilai Ebtanas Murni yang dimiliki.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Indonesia sudah mengalami beberapa kali perombakan berkenaan dengan sistem yang digunakan dalam bidang pendidikan. Yang terakhir kurikulum yang digunakan dalam system pendidikan nasional disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang secara substansi dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh tiap satuan pendidikan dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal.
Ada yang bahagia karena berhasil lulus dan ada sekelompok kecil yang bersedih karena tidak berhasil lulus. Yang lulus belum berarti mereka lebih pintar daripada yang tidak lulus tidak mengindikasikan bahwa mereka lebih bodoh.
Satu hal lagi yang dilupakan oleh pemerintah adalah bahwa tidak semua siswa menjadi lebih rajin dalam mempersiapkan menghadapi Ujian Nasional. Pemerintah mungkin lupa akan adanya kecerdasan majemuk dan sifat para siswa.

IV. DAFTAR PUSTAKA

www.google.com
http://anakhawa.blogspot.com/2010/12/14/ujian-nasional-sebagai-standar.html
http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/14/ujian-nasional-dansertifikasi/

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007, tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).