Sabtu, 08 Mei 2010

Kota Kelamin
Cerpen Mariana Amiruddin

Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.

Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.

Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.

Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.

Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.

Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.

Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.

Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.

Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.

Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.

Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?

Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.

Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.

Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.

Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?

Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.

Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***

untuk Hudan Hidayat yang ’takkan pernah sembuh’
Jakarta, 1 September 2005


Tentang Pengarang

Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Kajian Wanita Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan
dan Manager Program Yayasan Jurnal Perempuan. Bukunya antara lain Perempuan Menolak Tabu, Beyond Feminist dan novel berjudul Tuan dan Nona Kosong bersama Hudan Hidayat.

Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu
Cerpen Agus Noor

AKU terbang menikmati harum cahaya pagi yang bening keemasan bagai diluluri madu, dan terasa lembut di sayap-sayapku. Sungguh pagi penuh anugerah buat kupu-kupu macam aku. Kehangatan membuat bunga-bunga bermekaran dengan segala kejelitaannya, dan aku pun melayang-layang dengan tenang di atasnya. Sesaat aku menyaksikan bocah-bocah manis yang berbaris memasuki taman, dengan topi dan pita cerah menghiasi kepala mereka. Aku terbang ke arah bocah-bocah itu. Begitu melihatku, mereka segera bernyanyi sembari meloncat-loncat melambai ke arahku, "Kupu-kupu yang lucuuu, kemana engkau pergiii, hilir mudik mencariii…"
Aku selalu gembira setiap kali bocah-bocah itu muncul. Biasanya seminggu sekali mereka datang ke taman ini, diantar ibu guru yang penuh senyuman mengawasi dan menemani bocah-bocah itu bermain dan belajar. Berada di alam terbuka membuat bocah-bocah itu menemukan kembali keriangan dan kegembiraannya. Taman penuh bunga memang terasa menyenangkan, melebihi ruang kelas yang dipenuhi bermacam mainan. Sebuah taman yang indah selalu membuat seorang bocah menemukan keluasan langit cerah. Ah, tahukah, betapa aku sering berkhayal bisa terbang mengarungi langit jernih dalam mata bocah-bocah itu? Siapa pun yang menyaksikan pastilah akan terpesona: seekor kupu-kupu bersayap jelita terbang melayang-layang dalam bening hening mata seorang bocah…
Aku pingin menjadi seperti bocah-bocah itu! Menjadi seorang bocah pastilah jauh lebih menyenangkan ketimbang terus-menerus menjadi seekor kupu-kupu. Alangkah bahagianya bila aku bisa menjadi seorang bocah lucu yang matanya penuh kupu-kupu. Terus kupandangi bocah-bocah itu. Alangkah riangnya. Alangkah gembiranya. Uupp, tapi kenapa dengan bocah yang satu itu?! Kulihat bocah itu bersandar menyembunyikan tubuhnya di sebalik pohon. Dia seperti tengah mengawasi bocah-bocah yang tengah bernyanyi bergandengan tangan membentuk lingkaran di tengah taman itu…
Seketika aku waswas dan curiga: jangan-jangan bocah itu bermaksud jahat --dia seperti anak-anak nakal yang suka datang ke taman ini merusak bunga dan memburu kupu-kupu sepertiku. Tapi tidak, mata bocah itu tak terlihat jahat. Sepasang matanya yang besar mengingatkanku pada mata belalang yang kesepian. Dia kucel dan kumuh, meringkuk di balik pohon seperti cacing yang menyembunyikan sebagian tubuhnya dalam tanah, tak ingin dipergoki. Mau apa bocah itu? Segera aku terbang mendekati…
Aku bisa lebih jelas melihat wajahnya yang muram kecoklatan, mirip kulit kayu yang kepanasan kena terik matahari. Dia melirik ke arahku yang terbang berkitaran di dekatnya. Memandangiku sebentar, kemudian kembali mengawasi bocah-bocah di tengah taman yang tengah main kejar-kejaran sebagai kucing dan tikus. Aku lihat matanya perlahan-lahan sebak airmata, seperti embun yang mengambang di ceruk kelopak bunga. Aku terbang merendah mendekati wajahnya, merasakan kesedihan yang coba disembunyikannya. Dia menatapku begitu lama, hingga aku bisa melihat bayanganku berkepakan pelan, memantul dalam bola matanya yang berkaca-kaca…
Terus-menerus dia diam memandangiku.

2.
HERAN nih. Dari tadi kupu-kupu itu terus terbang mengitariku. Kayaknya dia ngeliatin aku. Apa dia ngerti kalau aku lagi sedih? Mestinya aku nggak perlu nangis gini. Malu. Tapi nggak papalah. Nggak ada yang ngeliat. Cuman kupu-kupu itu. Ngapain pula mesti malu ama kupu-kupu?! Dia kan nggak ngerti kalau aku lagi sedih. Aku pingin sekolah. Pingin bermain kayak bocah-bocah itu. Gimana ya rasanya kalau aku bisa kayak mereka?
Pasti seneng. Nggak perlu ngamen. Nggak perlu kepanasan. Nggak perlu kerja di pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Nggak pernah digebukin bapak. Kalau ajah ibu nggak mati, dan bapak nggak terus-terusan mabuk, pasti aku bisa sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Nggak perlu takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu lari rebutan ngamen di perempatan.
Aku senang tiduran di sini. Sembunyi-sembunyi. Nggak boleh keliatan, entar diusir petugas penjaga kebersihan taman. Orang kayak aku emang nggak boleh masuk taman ini. Bikin kotor --karena suka tiduran, kencing dan berak di bangku taman. Makanya, banyak tulisan dipasang di pagar taman: Pemulung dan Gelandangan Dilarang Masuk. Makanya aku ngumpet gini. Ngeliatin bocah-bocah itu, sekalian berteduh bentar.
Kalau ajah aku bebas main di sini. Wah, seneng banget dong! Aku bisa lari kenceng sepuasnya. Loncat-loncat ngejar kupu-kupu. Nggak, nggak! Aku nggak mau nangkepin kupu-kupu. Aku cuman mau main kejar-kejaran ama kupu-kupu. Soalnya aku paling seneng kupu-kupu. Aku sering mengkhayal aku jadi kupu-kupu. Pasti asyik banget. Punya sayap yang indah. Terbang ke sana ke mari. Sering aku bikin kupu-kupu mainan dari plastik sisa bungkus permen yang warna-warni. Aku gunting, terus aku pasang pakai lem. Kadang cuman aku ikat pakai benang aja bagian tengahnya. Persis sayap kupu beneran! Kalau pas ada angin kenceng, aku lemparin ke atas. Wuuss… Kupu-kupuan plastik itu terbang puter-puter kebawa angin. Kalau jumlahnya banyak, pasti tambah seru. Aku kayak ngeliat banyak banget kupu-kupu yang beterbangan…
Ih, aneh juga kupu-kupu ini! Dari tadi terus muterin aku. Apa dia ngerti ya, kalau aku suka kupu-kupu? Apa dia juga tau kalau aku sering ngebayangin jadi kupu-kupu? Apa kupu-kupu juga bisa nangis gini kayak aku? Bagus juga tuh kupu. Sayapnya hijau kekuning-kuningan. Ada garis item melengkung di tengahnya. Kalau saja aku punya sayap seindah kupu-kupu itu, pasti aku bisa terbang nyusul ibu di surga. Ibu pasti seneng ngelus-elus sayapku…
Aku terus ngeliatin kupu-kupu itu. Apa dia ngerti yang aku pikirin ya?

3.
BERKALI-KALI, kupu-kupu dan si bocah bertemu di taman itu.
Kupu-kupu itu pun akhirnya makin tahu kebiasaan si bocah, yang suka sembunyi di sebalik pohon. Sementara bocah itu pun jadi hapal dengan kupu-kupu yang suka mendekatinya dan terus-menerus terbang berkitaran di dekatnya. Kupu-kupu itu seperti menemukan serimbun bunga perdu liar di tengah bunga-bunga yang terawat dan ditata rapi, membuatnya tergoda untuk selalu mendekati. Kadang kupu-kupu itu hinggap di kaki atau lengan bocah itu. Bahkan sesekali pernah menclok di ujung hidungnya. Hingga bocah itu tertawa, seakan bisa merasa kalau kupu-kupu itu tengah mengajaknya bercanda.
Kupu-kupu dan bocah itu sering terlihat bermain bersama, dan kerap terlihat bercakap-cakap. Dan apabila tak ada penjaga taman (biasanya selepas tengah hari saat para penjaga taman itu selesai makan siang lalu dilanjutkan tiduran santai sembari menikmati rokok) maka kupu-kupu itu pun mengajak si bocah kejar-kejaran ke tengah taman.
"Ayolah, kejar aku! Jangan loyo begitu…," teriak kupu-kupu sembari terus terbang ke arah tengah taman.
Dan si bocah pun berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu itu.
"Kamu curang! Kamu curang! Bagaimana aku bisa mengejarmu kalau kamu terus terbang?! Kamu curang! Tungguuu kupu-kupuuu… Tungguuuu…"
Kupu-kupu itu terus terbang meliuk-liuk riang. Lalu kupu-kupu itu hinggap di setangkai pohon melati. Kupu-kupu itu menunggu si bocah yang berlarian mendekatinya dengan napas tersengal-sengal.
"Coba kalau aku juga punya sayap, pasti aku bisa mengejarmu…," bocah itu berkata sambil memandangi si kupu-kupu.
"Apakah kamu yakin, kalau kamu punya sayap kamu pasti bisa menangkapku?"
"Pasti! Pasti!"
Kupu-kupu itu tertawa --dan hanya bocah itu yang bisa mendengar tawanya.
"Benarkah kamu ingin punya sayap sepertiku?" tanya kupu-kupu.
"Iya dong! Pasti senang bisa terbang kayak kamu. Asal tau ajah, aku tuh sebenernya sering berkhayal bisa berubah jadi kupu-kupu…" Lalu bocah itu pun bercerita soal mimpi-mimpi dan keinginannya. Kupu-kupu itu mendengarkan dengan perasaan diluapi kesyahduan, karena tiba-tiba ia juga teringat pada impian yang selama ini diam-diam dipendamnya: betapa inginnya ia suatu hari menjelma menjadi manusia…
"Benarkah kamu sering membayangkan dirimu berubah jadi kupu-kupu? Apa kamu kira enak jadi kupu-kupu seperti aku?"
"Pasti enak jadi kupu-kupu seperti kamu…"
"Padahal aku sering membayangkan sebaliknya, betapa enaknya jadi bocah seperti kamu…"
"Enakan juga jadi kamu!" tegas bocah itu.
"Lebih enak jadi kamu!" jawab kupu-kupu.
"Lebih enak jadi kupu-kupu!"
"Lebih enak jadi bocah sepertimu!"
Setiap kali bertemu, setiap kali berbicara soal itu, kupu-kupu dan bocah itu semakin saling memahami apa yang selama ini mereka inginkan. Bocah itu ingin berubah jadi kupu-kupu. Dan kupu-kupu itu ingin menjelma jadi si bocah.
"Kenapa kita tak saling tukar saja kalau begitu?" kata kupu-kupu.
"Saling tukar gimana?"
"Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku."
"Apa bisa? Gimana dong caranya?"
"Ya saling tukar saja gitu…"
"Kayak saling tukar baju?" Bocah itu ingat kalau ia sering saling tukar baju dengan temen-temen ngamennya, biar kelihatan punya banyak baju. "Iya, gitu?"
"Hmm, mungkin seperti itu..."
Keduanya saling pandang. Ah, pasti akan menyenangkan kalau semua itu terjadi. Aku akan berubah jadi kupu-kupu, batin bocah itu. Aku akan bahagia sekali kalau aku memang bisa menjelma manusia, desah kupu-kupu itu dengan berdebar hingga sayap-sayapnya bergetaran.
"Bagaimana?" kupu-kupu itu bertanya.
"Bagaimana apa?"
"Jadi nggak kita saling tukar? Sebentar juga nggak apa-apa. Yang penting kamu bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi kupu-kupu. Dan aku bisa merasakan bagaimana kalau jadi bocah seperti kamu. Setelah itu kita bisa kembali lagi jadi diri kita sendiri. Aku kembali jadi kupu-kupu lagi. Dan kamu kembali lagi jadi dirimu. Gimana?"
Si bocah merasa gembira dengan usul kupu-kupu itu. Gagasan yang menakjubkan, teriaknya girang. Lalu ia pun mencopot tubuhnya, agar kupu-kupu itu bisa merasuk ke dalam tubuhnya. Dan kupu-kupu itu pun segera melepaskan diri dari tubuhnya, kemudian menyuruh bocah itu masuk ke dalam tubuhnya. Begitulah, keduanya saling berganti tubuh. Bocah itu begitu senang mendapati dirinya telah berwujud kupu-kupu. Sedangkan kupu-kupu itu merasakan dirinya telah bermetamorfosa menjadi manusia.

4.
WAH enak juga ya jadi kupu-kupu! Bener-bener luar biasa. Lihat, sinar matahari jadi kelihatan berlapis-lapis warna-warni lembut tipis, persis kue lapis. Aku juga ngeliat cahaya itu jadi benang-benang keemasan, berjuntaian di sela-sela dedaunan. Aku jadi ingat benang gelasan yang direntangkan dari satu pohon ke pohon yang lain, setiap kali musim layangan. Aku lihat daun-daun jadi tambah menyala tertimpa cahaya. Semuanya jadi nampak lebih menyenangkan. Dengan riang aku melonjak-lonjak terbang. Terlalu girang sih aku. Jadi terbangku masih oleng dan nyaris nubruk ranting pohon.
"Hati-hati!"
Kudengar teriakan, dan kulihat kupu-kupu yang kini telah merasuk ke dalam tubuh bocahku. Dia kelihatan panik memandangi aku yang terbang jumpalitan. Aku bener-bener gembira. Tak pernah aku segembira ini. Emang nyenengin kok jadi kupu-kupu.
Aku terus terbang dengan riang…

5.
TUBUHKU perlahan-lahan berubah, dan mulai bergetaran keluar selongsong kepompong. Kemudian kudengar gema bermacam suara yang samar-samar, seakan-akan menghantarkan kepadaku cahaya pertama kehidupan yang berkilauan. Dan aku pun seketika terpesona melihat dunia untuk pertama kalinya, terpesona oleh keelokan tubuhku yang telah berubah. Itulah yang dulu aku rasakan, ketika aku berubah dari seekor ulat menjadi kupu-kupu. Dan kini aku merasakan keterpesonaan yang sama, ketika aku mendapati diriku sudah menjelma seorang bocah. Bahkan, saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang lebih meruah dan bergairah.
Aku pernah mengalami bagaimana rasanya bermetamorfosa, karena itu aku bisa menahan diri untuk lebih menghayati setiap denyut setiap degup yang menandai perubahan tubuhku. Aku merasakan ada suara yang begitu riang mengalir dalam aliran darahku, seperti berasal dari jiwaku yang penuh tawa kanak-kanak. Aku ingin melonjak terbang karena begitu gembira. Tapi tubuhku terasa berat, dan aku ingat: aku kini tak lagi punya sayap.
Lalu kulihat bocah itu, yang telah berubah menjadi kupu-kupu, terbang begitu riang hingga nyaris menabrak ranting pepohonan. Aku berteriak mengingatkan, tetapi bocah itu nampaknya terlalu girang dalam tubuh barunya. Dia pasti begitu bahagia, sebagaimana kini aku berbahagia.
Kusaksikan bocah itu terbang riang mengitari taman, kemudian hilang dari pandangan. Aku pun segera melenggang sembari bersiul-siul. Tapi aku langsung kaget ketika seorang penjaga taman menghardikku, "Hai!! Keluar kamu bangsat cilik!" Kulihat penjaga taman itu mengacungkan pemukul kayu ke arahku. Segera aku kabur keluar taman.

6.
KETIKA bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu terbang melintasi etalase pertokoan, ia bisa melihat bayangan tubuhnya bagai mengambang di kaca, dan ia memuji penampilannya yang penuh warna. Sayapnya hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya. Rasanya seperti pangeran kecil berjubah indah.
Tapi segera ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas. Bising lalu lintas membuatnya cemas. Puluhan sepeda motor dan mobil-mobil mendengung-dengung mirip serangga-serangga raksasa yang siap melahapnya. Ia gemetar, tak berani menyeberang jalan. Dari kejauhan ia melihat truk yang menderu bagai burung pelatuk yang siap mematuk. Tiba-tiba ia menyadari, betapa mengerikannya kota ini buat seekor kupu-kupu sekecil dirinya. Sungguh, kota ini dibangun bukan untuk kupu-kupu sepertiku. Ia merasakan dirinya begitu rapuh di tengah kota yang semerawut dan bergemuruh. Gedung-gedung jadi terlihat lebih besar dan begitu menjulang dalam pandangannya. Tiang-tiang dan bentangan kawat-kawat tampak seperti perangkap yang siap menjerat dirinya. Semua itu benar-benar tak pernah terbayangkan olehnya. Ketika ia sampai dekat stasiun kereta, ia menyaksikan trem-trem yang berkelonengan bagaikan sekawanan ular naga dengan mahkota berlonceng terpasang di atas kepala mereka. Sekawanan ular naga yang menjadi kian mengerikan ketika malam tiba. Ia menyaksikan orang-orang yang keluar masuk perut naga itu, seperti mangsa yang dihisap dan dikeluarkan dari dalam perutnya…
Ia begitu gemetar menyaksikan itu semua, dan buru-buru ingin pergi. Ia ingin kembali ke taman itu. Ia ingin segera kembali menjadi seorang bocah.

7.
SEMENTARA itu, kupu-kupu yang telah berubah jadi bocah seharian berjalan-jalan keliling kota. Lari-lari kecil keluar masuk gang. Main sepak bola. Bergelantungan naik angkot. Kejar-kejaran di atas atap kereta yang melaju membelah kota. Rame-rame makan bakso. Ia begitu senang karena bisa melakukan banyak hal yang tak pernah ia lakukan ketika dirinya masih berupa seekor kupu-kupu.
Tengah malam ia pulang dengan perasaan riang, sembari membayangkan rumah yang bersih dan tenang. Hmm, akhirnya aku bisa merasakan bagaimana enaknya tidur dalam sebuah rumah. Selama ini ia hanya tidur di bawah naungan daun, kedinginan didera angin malam. Rasanya ia ingin segera menghirup semua ketenangan yang dibayangkannya.
Tapi begitu ia masuk rumah, langsung ada yang membentak, "Dari mana saja kamu!" Ia lihat seorang laki-laki yang menatap nanar ke arahnya. Ia langsung mengkerut. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi suasana seperti ini.
"Brengsek! Ditanya diam saja," laki-laki itu kembali membentak, mulutnya sengak bau tuak. Inikah ayah bocah itu? Ia ingat, bocah itu pernah bercerita tentang bapaknya yang seharian terus mabuk dan suka memukulinya. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa ketika laki-laki itu mencekik lehernya. "Uang!" bentak laki-laki itu, "Mana uangnya?! Brengsek! Berapa kali aku bilang, kamu jangan pulang kalau nggak bawa uang!"
Ia meronta berusaha melepaskan diri, membuat laki-laki itu bertambah marah dan kalap. Ia rasakan tamparan keras berkali-kali. Ia rasakan perih di kulit kepalanya ketika rambutnya ditarik dan dijambak, lantas kepalanya dibentur-benturkan ke dinding. Ia merasakan cairan kental panas meleleh keluar dari liang telinganya. Kemudian perlahan-lahan ia merasakan ada kegelapan melilit tubuhnya, seakan-akan membungkus dirinya sebagai kepompong. Ia rasakan sakit yang bertubi-tubi menyodok ulu hati. Membuatnya muntah. Saat itulah bayangan bocah itu melintas, dan ia merasa begitu marah. Kenapa dia tak pernah cerita kalau bapaknya suka menghajar begini? Ia megap-megap gelagapan ketika kepalanya berulang-ulang dibenamkan ke bak mandi…

8.
UDAH hampir seharian aku nunggu. Kok dia belum muncul juga ya? Aku mulai bosen jadi kupu-kupu begini. Cuma terbang berputar-putar di taman. Habis, aku takut terbang jauh sampai ke jalan raya kayak kemarin sih! Takut ketubruk, dan sayap-sayapku remuk. Padahal sebelum jadi kupu-kupu, aku paling berani nerobos jalan. Aku juga bisa berenang, dan menyelam sampai dasar sungai ngerukin pasir. Sekarang, aku cuman terbang, terus-terusan terbang. Nyenengin sih bisa terbang, tapi lama-lama bosen juga. Apalagi kalau cuman berputar-putar di taman ini.
Cukup deh aku ngrasain jadi kupu-kupu gini. Banyak susahnya. Apa karna aku nggak terbiasa jadi kupu-kupu ya? Semaleman ajah aku kedinginan. Tidur di ranting yang terus goyang-goyang kena angin, kayak ada gempa bumi ajah. Aku ngeri ngeliat kelelawar nyambar-nyambar. Ngeri, karena aku ngerasa enggak bisa membela diri. Waktu jadi bocah aku berani berkelahi kalau ada yang ngancem atau ganggu aku. Sekarang, sebagai kupu-kupu, aku jadi ngerasa gampang kalahan. Nggak bisa jadi jagoan! Karna itu aku ingin cepet-cepet berhenti jadi kupu-kupu...
Nggak bisa deh kalau hanya nunggu-nunggu begini. Gelisah tau! Kan kemarin dia janji, hanya mau tukar sebentar. Apa dia keenakan jadi aku, ya? Jangan-jangan dia lagi rame-rame ngelem ama kawan-kawannku. Atau dia lagi didamprat ayah? Ah, moga-moga ajah tidak. Tapi ngapain sampai gini hari belum datang juga? Terus terang aku udah cemas. Aku mesti ketemu dia. Aku nggak mau terus-terusan jadi kupu-kupu gini.
Baiklah, daripada cemas gini, mendingan aku nyusul dia. Apa dia pulang ke rumahku ya? Aku mesti nyari dia, ah!

9.
IA mendapati kemurungan di sekitar rumahnya. Bocah yang telah menjadi kupu-kupu itu bisa merasakan indera kupu-kupunya menangkap kelebat firasat, sebagaimana indera serangga bila merasakan bahaya. Ia mencium bau kematian, bagaikan bau nektar yang menguar. Dan ia bergegas terbang masuk rumah. Ia tercekat mendapati tubuh bocah itu terbujur di ruang tamu. Memar lebam membiru, mengingatkannya pada rona bunga bakung layu. Apa yang terjadi? Alangkah menyedihkan melihat jazad sendiri. Segalanya terasa mengendap pelan, namun menenggelamkan. Ia terbang berkelebat mendekati para tetangganya yang duduk-duduk bercakap-cakap pelan. Kemudian ia mencoba mengajak para tetangga itu bercakap-cakap dengan isyarat kepakan sayapnya. Tapi tak ada yang memahami isyaratnya. Tentu saja mereka tak tahu bagaimana caranya berbicara pada seekor kupu-kupu sepertiku! Dan ia merasa kian ditangkup sunyi, terbang berputar-putar di atas jazadnya. Ia merasakan duka itu, melepuh dalam mata yang terkatup. Sepasang kelopak mata yang membiru itu terlihat seperti sepasang sayap kupu-kupu yang melepuh rapuh. Ia terbang merendah, dan mencium kening jazad itu. Saat itulah ia mendengar percakapan beberapa pelayat.
"Lihat kupu-kupu itu…"
"Aneh, baru kali ini aku melihat kupu-kupu hinggap di kening orang mati."
"Kupu-kupu itu seperti menciumnya…"
"Mungkin kupu-kupu itu tengah bercakap-cakap dengan roh yang barusan keluar dari tubuh bocah itu."
Bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu kemudian terbang keluar ruangan, dan orang-orang yang melihatnya seperti menyaksikan roh yang tengah terbang keluar rumah. Tapi ke mana roh kupu-kupu itu? Ia tak tahu ke mana roh kupu-kupu itu pergi. Apa sudah langsung terbang membumbung ke langit sana? Apakah kalau kupu-kupu mati juga masuk surga?
Di surga, aku harap roh kupu-kupu itu bertemu ibuku. Aku ingin dia bercerita pada ibuku, bagaimana kini aku telah menjadi seekor kupu-kupu yang terus-menerus dirundung rindu. Semua kejadian berlangsung bagaikan bayang-bayang yang dengan gampang memudar namun terus-menerus membuatku gemetar.
Bunga-bunga mekar dan layu, sementara aku masih saja selalu merasa perih setiap mengingat kematian kupu-kupu yang menjelma jadi diriku itu. Kuharap bapak membusuk di penjara. Aku terbang, terus terbang, berusaha meneduhkan kerisauanku. Aku ingin terbang menyelusup ke mimpi setiap orang, agar mereka bisa mengerti kerinduan seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu. Dapatkah engkau merasakan kesepian seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu seperti aku?
Aku terbang mencari taman yang dapat menentramkanku. Aku terbang mengitari taman-taman rumah yang menarik perhatianku. Aku suka bertandang ke rumah-rumah yang penuh keriangan kanak-kanak. Keriangan seperti itu selalu mengingatkan pada seluruh kisah dan mimpi-mimpiku. Aku suka melihat anak-anak itu tertawa. Aku suka terbang berkitaran di dekat jendela kamar tidur mereka.
Seperti pagi ini. Dari jendela yang hordennya separuh terbuka, aku menyaksikan bocah perempuan yang masih tertidur pulas. Kamar itu terang, dan cahaya pagi membuatnya terasa lebih tenang. Sudah sejak beberapa hari lalu aku memperhatikan bocah perempuan itu. Dari luar jendela, dia terlihat seperti peri cilik cantik yang terkurung dalam kotak kaca. Aku terbang menabrak-nabrak kaca jendelanya. Aku ingin masuk ke dalam kamar bocah perempuan itu. Betapa aku ingin menyelusup ke dalam mimpinya…

10.
HANGAT pagi mulai terasa menguap di horden jendela yang setengah terbuka, tetapi kamar berpendingin udara itu tetap terasa sejuk. Bocah perempuan itu masih meringkuk dalam selimut. Sebentar ia menggeliat, dan teringat kalau hari ini Mamanya akan mengajak jalan-jalan. Karena itu, meski masih malas, bocah perempuan itu segera bangun, dan ia terpesona menatap cahaya bening matahari di jendela. Seperti sepotong roti panggang yang masih panas diolesi mentega, cahaya matahari itu bagaikan meleleh di atas karpet kamarnya. Cuping hidung bocah itu kembang-kempis, seakan ingin menghirup aroma pagi yang harum dan hangat.
Di luar jendela, dilihatnya seekor kupu-kupu tengah terbang menabrak-nabrak kaca jendela, seperti ingin masuk ke dalam kamarnya. Segera ia mendekati jendela. Ia pandangi kupu-kupu itu. Sayapnya, hijau kekuning-kuningan, bergaris hitam melengkung di tengah-tengahnya. Seperti kupu-kupu dalam mimpiku semalam, gumam bocah perempuan itu. Lalu ia ingat mimpinya semalam: ia bertemu seorang bocah yang telah menjelma kupu-kupu. Terus ia pandangi kupu-kupu itu. Kayaknya kupu-kupu itu yang semalam muncul dalam mimpiku? Jangan-jangan itu memang kupu-kupu yang semalam meloncat keluar mimpiku? Bocah perempuan itu ingin membuka jendela. Tapi jendela itu penuh teralis besi. Lagi pula daun jendelanya dikunci mati, karena orang tuanya takut pencuri. Bocah perempuan itu hanya bisa memandangi kupu-kupu yang terus terbang menabrak-nabrak kaca jendela…
Pintu kamar terbuka, muncul Mamanya yang langsung terkejut mendapati anaknya tengah berdiri gelisah memandangi jendela. "Kenapa?" tanya Mama sambil memeluk putrinya dari belakang, berharap pelukannya akan membuat putrinya tenang.
"Kasihan kupu-kupu itu, Mama…"
"Kenapa kupu-kupu itu?"
"Aku ingin kenal kupu-kupu itu."
"Kamu ingin tahu kupu-kupu? Kamu suka kupu-kupu?"
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Kalau gitu cepet mandi, ya. Biar kita bisa cepet jalan-jalan. Nanti habis Mama ke salon kita mampir ke toko buku, beli buku tentang kupu-kupu. Kamu boleh pilih sebanyak-banyaknya… Atau kamu pingin ke McDonald dulu?"
Bocah perempuan itu menatap ibunya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ingin bercerita soal mimpinya semalam. Ingin mengatakan kenapa ia suka pada kupu-kupu di luar itu. Ia ingin menceritakan apa yang dirasakannya, tapi tak tahu bagaimana cara mengatakan pada Mamanya.
Setelah lama terdiam, baru bocah itu berkata, "Gimana ya, Ma… kalau suatu hari nanti aku menjadi kupu-kupu?"
Mamanya hanya tersenyum. Sementara kupu-kupu di luar jendela itu terus-menerus terbang menabrak-nabrak jendela, seperti bersikeras hendak masuk dan ingin menjawab pertanyaan bocah perempuan itu.

11.
PERNAHKAH suatu pagi engkau menyaksikan seekor kupu-kupu bertandang ke rumahmu? Saat itu engkau barangkali tengah sarapan pagi. Engkau tersenyum ke arah anakmu yang berwajah cerah, seakan-akan masih ada sisa mimpi indah yang membuat pipi anakmu merona merah. Engkau segera bangkit ketika mendengar anakmu berteriak renyah, "Papa, lihat ada kupu-kupu!"
Dan engkau melihat kupu-kupu bersayap hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya sedang terbang berputar-putar gelisah di depan pintu rumahmu. Kupu-kupu itu terlihat ragu-ragu ingin masuk ke rumahmu. Apakah yang melintas dalam benakmu, ketika engkau melihat kupu-kupu itu?
Kuharap, pada saat-saat seperti itu, engkau terkenang akan aku: seorang bocah yang telah berubah menjadi seekor kupu-kupu…

Surabaya-Yogyakarta, 2004

*) Agus Noor, buku terbarunya Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak setia), 2004. Tinggal di Jogjakarta.

HIKAYAT 1001 MALAM

Matahari masuk ke paraduannya. Malam telah tiba. Raja Syahrayar, Syahrazad, dan Dunyazad kembali bertemu.
"Baginda," ujar Syahrazad kepada Raja Syahrayar, "setelah si pedagang kaya itu
mengucapkan terima kasih kepada ketiga orang kakek tua yang menolongnya, ketiganya
pun kembali ke negeri masing-masing. Akan tetapi, tahukah baginda bahwa cerita tadi masih kalah hebat dibandingkan kisah tentang seorang nelayan?" "Bagaimana ceritanya?" tanya baginda penasaran. "Begini ceritanya," Syahrazad memulai ceritanya.
Alkisah, hiduplah seorang lelaki tua bersama seorang istri dan tiga orang anak-nya. Mereka adalah sebuah keluarga yang sangat miskin. Setiap hari, lelaki tua tersebut mencari nafkah dengan cara mencari ikan. Uniknya, setiap hari si nelayan tidak pernah menebarkan jaring yang dimilikinya kecuali hanya empat kali lemparan, tidak lebih. Sampai pada suatu tengah hari, nelayan ini pergi ke pantai untuk mencari ikan. Diletakkannya tempat ikan yang dibawanya, dan kemudian dengan sigap, dilemparkan jaringnya untuk kali pertama. Dengan sabar, dibiarkannya jaring yang dilemparnya itu masuk ke dalam air. Dan setelah beberapa saat, ditariknya jaring tersebut perlahan-lahan. Di luar dugaan, ternyata jaring itu terasa berat. Dia berusaha menarik jaringnya, tapi sia-sia. Jaring itu ternyata terlalu berat untuk dapat ditarik oleh lelaki setua dirinya. Akhirnya, nelayan tua itu memasang pasak di bibir pantai, dan diikatnya jaring yang berat itu ke pasak. Si nelayan kemudian melepas pakaiannya, dan menceburkan dirinya ke dalam air untuk melihat benda apakah gerangan yang menyangkut di jaringnya sehingga membuatnya menjadi sedemikian berat. Dengan susah payah dikeluarkannya benda yang tersangkut di jaringnya itu dari dalam air. Si nelayan kembali mengenakan pakaiannya, dan melihat ke bagian dalam jaring. Aneh. Di dalam jaring yang dilemparkannya tadi, si nelayan tua melihat seekor keledai yang sudah menjadi bangkai! Demi melihat apa yang didapatkannya, maka dengan muka masam nelayan tua itu bersenandung:
Duhai, yang menyelam di gelap malam penuh petaka Usah kau berpayah, rezki tak datang karena usaha Saat kau lihat laut, dan nelayan setengah mati kejar rezki, sementara gemintang diam berhenti Di tengah laut ia menyelam dan ombak datang menampar sedang matanya terus telisik jaring yang dilempar Tidur lelap di malam hari baru bisa jika banyak ikan didapat, sampai penuh panggangannya Dibeli oleh dia yang malamnya hanya tidur lelap Tak rasakan dingin dengan segala berkah yang lengkap Mahasuci Tuhan, membuat kaya si ini, membuat miskin si itu Si miskin ini mencari ikan, si kaya itu tinggal menyantap
Ketika melihat bangkai keledai di dalam jaringnya, si nelayan segera mengeluarkan bangkai dari dalam jaring. Diperasnya jaringnya yang telah basah, dan dilemparkannya lagi ke laut.
"Bismillah!"ujar si nelayan tua sambil menebarkan jaringnya untuk kali kedua. Jaring yang dilemparkannya itu lalu dibiarkan turun ke dalam air. Beberapa saat kemudian, nelayan itu menarik jaringnya. Aneh. Lagi-lagi jaring itu terasa berat, bahkan kali ini lebih berat dari yang pertama. Kali ini, si nelayan tua begitu yakin bahwa yang menyangkut di jaringnya adalah seekor ikan yang besar. Sekali lagi, nelayan itu mengikat jaringnya dan kemudian dia melepas pakaian-nya untuk kembali masuk ke dalam air. Dengan susah payah si nelayan tua mendorong tangkapannya ke darat. Ternyata benda yang menyangkut di jaring si nelayan tua itu adalah sebuah tempayan yang berisi pasir dan tanah. Demi melihat 'tangkapannya' kali ini, si nelayan kembali menunjukkan kekesalannya. Langsung dilemparkannya tempayan yang tersangkut di jaringnya itu dan dia pun kembali memeras dan membersihkan jaringnya. Seraya mengucapkan istigfar, si nelayan tua kembali ke laut untuk ketiga kalinya. Jaring dilempar lagi. Setelah jaring masuk ke laut untuk beberapa saat, si nelayan tua menariknya perlahan-lahan. Lagi-lagi si nelayan harus menelan kekecewaan, karena kali ini yang menjadi 'tangkapan'nya adalah beberapa buah tembikar dan barang pecah belah. Dengan hati yang sudah dipenuhi kekesalan, si nelayan bersenandung:
Memang rezki tak tentu, kadang terurai kadang terikat Seolah tak ada goresan pena yang memberi berkat Zaman sering rendahkan mereka yang baik Dan mengangkat mereka yang tak berhak Duhai mati datanglah kau, hidup ini sialan memang Karena burung telah jatuh, dan itik malah terbang Seekor burung terbang arungi timur dan barat dunia Sedang burung lain mendapat makan tanpa harus ke mana-mana
Si nelayan menengadahkan kepalanya ke langit dan berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak pernah menebarkan jaringku lebih dari empat kali. Dan hari ini aku sudah menebarkan jaringku ini tiga kali." Sambil mengucapkan basmalah, si nelayan tua kembali menebarkan jaring-nya. Lagi-lagi dengan sabar, si nelayan membiarkan jaringnya masuk ke dalam air. Dengan amat perlahan si nelayan menarik jaringnya, namun gagal. Begitu berat jaring si nelayan tua, seakan-akan jaring itu menancap di tanah. Maka dengan mengucapkan
hauqalah "La haula wa la quwwata illa billah,"
si nelayan tua kembali melepas pakaiannya dan menceburkan dirinya ke dalam air. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, nelayan tua itu membawa jaringnya ke darat. Ternyata yang menyangkut di jaringnya adalah sebuah guci tembaga yang pada bagian mulutnya terdapat sebuah sumbat timah dengan stempel Nabi Sulaiman a.s. tertera di atasnya. Dengan menggunakan pisau yang dibawanya, si nelayan tua mencoba mencongkel tutup guci tersebut. Ternyata usahanya tidak sia-sia, guci yang tadi tertutup berhasil dibuka. Tiba-tiba dari dalam guci yang baru dibuka itu keluar kepulan asap putih yang membumbung ke angkasa. Si nelayan terkejut bukan main. Asap itu terus menggumpal-gumpal sampai akhirnya menjelma menjadi sesosok jin yang sangat besar, kepala jin itu mencapai awan, sedangkan kakinya berpijak di bumi. Si nelayan merasa amat ketakutan. Tubuhnya gemetar, giginya gemeretak, dan keringat terus mengalir deras. Di hadapan si nelayan tua, dunia tampak gelap gulita. "Tiada Tuhan selain Allah. Sulaiman adalah Nabi Allah," tiba-tiba jin itu mengeluarkan suaranya.
Dengan perasaan takut si nelayan berujar, "Hai durjana! Mengapa kau mengatakan bahwa Sulaiman a.s. adalah Nabi Allah, padahal Nabi Sulaiman a.s. telah wafat seribu delapan ratus tahun yang lampau. Saat ini kita telah tiba di akhir zaman. Coba kau katakan padaku riwayat hidupmu dan bagaimana kau sampai dimasukkan ke dalam guci ini." Ketika mendengar perkataan si nelayan, jin itu berseru, "Tiada Tuhan selain Allah. Hai nelayan, aku akan memberi kabar gembira padamu!" "Apa kabar gembira darimu untukku?" ujar nelayan. "Yaitu dengan membunuhmu sekarang juga dengan cara yang kejam," jawab jin. Nelayan tua menyergah, "Tetapi, apa dosaku, sehingga aku harus memikul hukuman sekeji itu?" "Hai nelayan, dengarkanlah kisahku ini," jawab jin. Dengan tubuh gemetar karena ketakutan, si nelayan tua mendengar pe-nuturan jin. "Ketahuilah," jin itu memulai kisahnya, "Aku adalah jin yang jahat. Dulu aku adalah jin yang menentang ajaran baginda Sulaiman ibn Daud a.s. Ketika baginda mengetahui pembangkanganku, baginda Sulaiman a.s. mengutus salah seorang menterinya yang bernama Ashif ibn Barkhiya untuk menyeretku ke hadapan baginda Sulaiman a.s. hingga akhirnya, aku berhasil dipaksa untuk dibawa ke hadapan baginda. Sesampainya aku di hadapan baginda Sulaiman a.s., beliau mengajakku untuk beriman kepada Allah s.w.t. dan tunduk di bawah kekuasan beliau. Te-tapi seruan itu kutolak. Mendengar penolakanku, baginda Sulaiman a.s. langsung mengambil sebuah guci dan kemudian beliau memasukkan aku ke dalam guci itu. Pada bagian mulut guci, beliau memasang segel timah yang di atasnya tertera nama beliau yang agung. Setelah itu beliau memerintahkan kepada beberapa jin untuk membawaku pergi. Guci tembaga yang berisi tubuhku itu kemudian dibuang ke dasar laut. Seratus tahun telah berlalu. Di dalam hati aku berkata, 'Barangsiapa yang dapat membebaskan aku dari dalam guci ini, akan kubuat kaya raya.' Tetapi, sampai seratus tahun kemudian ternyata tidak ada seorang pun yang datang untuk membebaskan diriku. Maka aku kembali berkata di dalam hati, 'Barangsiapa yang dapat membebaskan aku dari dalam guci ini, akan aku
beri seluruh kekayaan yang ada di bumi.' Tetapi, sampai empat ratus tahun kemudian ternyata tidak ada seorang pun yang datang untuk mengeluarkan aku dari dalam guci. Aku pun kembali berkata di dalam hati, 'Siapa saja yang membebaskan aku, akan aku kabulkan tiga permintaannya.' Tetapi, lagi-lagi tak ada seorang pun yang menolongku, hingga akhirnya dengan perasaan marah aku bersumpah, bahwa siapa pun yang membebaskan aku dari dalam guci ini, akan aku bunuh dengan cara yang kejam. Nah, tenyata engkaulah yang membebaskan aku. Seusai mendengar penjelasan sang jin, si nelayan tua berkata, 'Duhai, betapa mengagumkan ceritamu itu! Ternyata akulah yang berhasil menyelamatkanmu. Oleh sebab itu, ampunilah aku, maka Allah akan mengampunimu, dan jangan kau bunuh aku, karena jika aku kau bunuh, Allah akan mendatangkan orang yang akan membunuhmu.' Jin itu tetap menolak dan berkata, 'Tidak, kau tetap harus kubunuh.' Tetapi, si nelayan terus merajuk, 'Ampunilah aku, karena akulah yang telah membebaskanmu.' Akhirnya jin itu berkata, 'Haruskah aku mengampunimu hanya disebabkan jasamu membebaskan aku?' Mendengar perkataan sang jin, nelayan tua itu berkata, 'Wahai jin, se-benarnya aku telah berbuat baik padamu, jadi mengapa kau balas aku dengan perbuatan buruk. Ternyata apa yang diungkapkan syair ini memang benar.' Si nelayan tua itu kemudian menyanyikan sebuah syair.
Kami buat kebaikan, mereka balas dengan kebalikannya Demi umurku! Busuk nian perbuatan seperti itu Barangsiapa berbuat baik kepada yang tak berhak Maka balasannya adalah seperti balasan bagi yang membebaskan serigala
Namun rupanya sang jin tetap bergeming, 'Sudahlah jangan merajuk, kau tetap harus mati, katanya. 'Apakah kau sungguh-sungguh akan tetap membunuhku?' nelayan tua itu kembali bertanya. 'Tentu,' jawab sang jin. Di ujung keputusasaan, nelayan tua itu berkata, 'Demi nama agung yang terukir di segel Sulaiman a.s., aku memintamu melakukan sesuatu.'
Ketika mendengar nama agung Sulaiman a.s. disebutkan, jin itu merasa takut dan berkata, 'Mintalah, pasti akan aku kabulkan.' Si nelayan lalu berkata, 'Bagaimana mungkin engkau dapat berada di dalam botol ini, padahal ukurannya begitu kecil. Bahkan tangan dan kakimu pun tidak mungkin muat di dalamnya, apatah lagi badanmu?' 'Apakah kau tidak percaya bahwa aku benar-benar pernah dikurung di dalamnya?' tanya sang jin. 'Tentu tidak, aku tidak dapat mempercayaimu sampai kedua mataku ini melihat langsung bahwa tubuhmu yang besar itu memang benar-benar dapat masuk ke dalam botol ini'." ujar si nelayan.
Tanpa terasa, pagi telah tiba. Syahrazad pun menghentikan ceritanya.
MALAM KE-4
"Wahai baginda Syahrayar," Syahrazad melanjutkan ceritanya, "terdorong oleh rasa kesal atas ketidakpercayaan si nelayan tua, bahwa tubuhnya memang benar-benar dapat masuk ke dalam botol, sang jin tiba-tiba mengubah menjadi asap. Asap itu kemudian mengecil dan mulai masuk ke dalam botol sedikit demi sedikit. Mengetahui muslihatnya berhasil, si nelayan tua segera menutup botol tembaga itu dengan tutup timahnya seperti semula seraya berkata, 'Hai jin busuk! Kini bayangkanlah sesukamu bagaimana cara membunuhku, karena aku akan melemparkan engkau kembali ke dasar laut. Dan kemudian aku akan membuat rumah di pantai ini, untuk memperingatkan siapa pun yang datang untuk tidak mencari ikan di sini, karena perairan ini dihuni oleh jin jahat yang akan membunuh siapa pun yang membebaskannya dari dalam botol.' Ketika sang jin mendengar perkataan nelayan tua itu, dia pun menyadari kebodohannya dan berniat untuk kembali keluar dari dalam botol. Namun usahanya sia-sia, jin jahat itu kembali terkurung di dalam botol seperti sedia kala, apalagi dia melihat segel baginda Sulaiman a.s. yang amat ditakutinya, telah kembali menutup mulut botol dengan rapat
Dari dalam botol dia tahu bahwa si nelayan tua sedang membawa botol tembaga tempatnya dikurung ke arah laut. Maka dengan suara lembut, jin itu berkata, 'Wahai nelayan yang budiman, apa yang akan kau lakukan terhadapku?' Nelayan tua itu menjawab, 'Aku akan melemparkanmu ke dasar laut. Jika selama ini kau telah tinggal di sana selama seribu delapan ratus tahun, maka aku akan membuatmu tinggal di dasar laut sampai kiamat!' 'Wahai nelayan, bebaskanlah aku, dan aku berjanji untuk berbuat baik padamu,' jin bodoh itu terus merajuk. 'Hai laknat! Kau tentu berdusta. Kelakuanmu sama saja seperti menteri Raja Yunan dan ahli hikmah yang bernama Duban,' ujar si nelayan tua. 'Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan?' tanya sang jin. Sembari membawa botol tembaga dengan jin di dalamnya, si nelayan tua berkata, 'Dulu, di negeri Persia pernah hidup seorang raja yang bernama Raja Yunan. Raja Yunan memiliki begitu banyak harta kekayaan, pasukan, kekuatan, dan bala bantuan. Tetapi, ternyata Raja Yunan yang perkasa itu memiliki belang di kulitnya yang tidak dapat disembuhkan, baik oleh para ahli ilmu hikmah maupun oleh para tabib. Sementara itu di ibu kota kerajaan, telah tiba seorang ahli hikmah tua yang terkemuka bernama Duban. Duban adalah seorang ahli hikmah yang mempelajari banyak kitab-kitab dari Yunani, Persia, Romawi, Arab, dan Suryani. Dia juga menguasai ilmu kedokteran dan ilmu nujum dengan segala seluk-beluknya, dan bahkan dia juga mengetahui khasiat bermacam-macam tumbuhan, tanaman, dan rerumputan berkhasiat. Duban juga menguasai filsafat dan ilmu kedokteran dengan berbagai cabangnya. Setelah beberapa hari tinggal di ibu kota kerajaan, Duban mendengar penyakit yang diderita baginda raja yang tidak dapat diobati oleh para tabib dan orang pintar. Demi mengetahui hal itu, Duban terus memikirkannya di sepanjang malam, hatinya pun resah. Keesokan harinya, Duban menghadap baginda Raja Yunan. Duban mem-perkenalkan dirinya, 'Paduka, hamba mendengar berita tentang penyakit yang menyerang tubuh Paduka. Hamba mendengar bahwa sudah banyak tabib yang tidak mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Pagi ini izinkan hamba me-nawarkan diri untuk mengobati penyakit yang Paduka derita. Hamba tidak akan meminta Paduka Raja untuk meminum obat tertentu dan hamba juga tidak akan mengobati penyakit Paduka dengan menggunakan minyak oles.'
Ketika mendengar tawaran yang diajukan oleh Duban, Raja Yunan merasa takjub, ia lalu berkata, 'Jadi apa yang akan kau lakukan? Karena, demi Allah, jika kau berhasil menyembuhkan penyakitku, niscaya aku akan membuat kau dan semua keturunanmu menjadi kaya raya, aku juga akan memberimu semua yang kau inginkan, dan kau pun akan kujadikan sahabatku yang paling kusukai.' Raja Yunan tampak amat tertarik pada tawarannya yang diajukan Duban. 'Benarkah kau sanggup menyembuhkan penyakitku tanpa obat maupun minyak oles?' tanya baginda penasaran. 'Benar,' jawab Duban. Dengan diliputi perasaan heran, Raja Yunan memerintahkan Duban untuk segera memulai proses pengobatan. Duban pun mematuhi perintah itu, dan dia mulai tinggal di dekat istana raja, di sebuah rumah yang disewa khusus untuknya. Duban juga membawa semua buku, obat-obatan, dan botol-botol yang dia miliki ke dalam rumah itu. Tak lama berselang, Duban mengeluarkan beberapa macam obat dan beberapa buah botol. Setelah itu, Duban mulai membuat obat dan ramuan. Dari obat dan ramuan yang dibuatnya, Duban membuat sebuah tongkat yang dilubangi pada bagian tengahnya. Duban juga membuat sebuah bola. Ketika semua yang dibutuhkannya telah selesai dibuat, pada keesokan harinya, Duban kembali menghadap Raja Yunan. Setelah bertemu dengan Raja Yunan, Duban meminta Raja segera pergi ke lapangan untuk bermain bola dengan tongkat yang telah dibuatnya. Raja menuruti perintah Duban dan mulai bermain bola bersama para pejabat, pengawal, menteri, dan pembesar negeri. Dengan perasaan yang campur aduk, Raja Yunan memasuki lapangan. Tak lama, datanglah Duban untuk menyerahkan tongkat yang dibuatnya kepada baginda raja. Dia berkata, 'Silakan Paduka ambil tongkat ini, dan peganglah dengan cara seperti ini. Setelah itu, masuklah ke tengah lapangan dan pukullah bola ini sekuat-kuatnya, sampai tangan dan tubuh Paduka berkeringat. Dengan adanya keringat itulah, obat yang hamba buat akan mengalir dari tangan ke sekujur tubuh Paduka. Setelah selesai bermain, Paduka hendaknya langsung kembali ke istana untuk mandi dan membersihkan diri. Semoga saja pada saat itu penyakit Paduka telah sembuh.' Raja Yunan kemudian mengambil tongkat dari tangan Duban dan segera menaiki tunggangannya. Bola pun dilemparkan, dan Raja Yunan langsung me-ngejarnya dan memukulnya sekuat tenaga dengan tongkat yang digenggamnya erat-erat. Berulang-ulang Raja Yunan memukul bola, sampai tangan dan sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat. Ramuan obat pun mulai mengalir. Ketika Duban mengetahui bahwa ramuan yang dibuatnya telah mengaliri seluruh tubuh Raja Yunan, ia pun meminta baginda menyudahi permainan dan kembali ke istana untuk mandi. Raja Yunan menuruti permintaan itu, dan baginda langsung pulang ke istana dan memerintahkan agar kamar mandi segera disiapkan. Para pelayan dan budak istana sibuk menyiapkan kamar mandi. Raja kemudian mandi sampai badannya benar-benar bersih. Sesuai mandi, Raja Yunan mengenakan pakaiannya di dalam kamar mandi. Sekeluarnya dari kamar mandi, baginda melihat-lihat tubuhnya. Ajaib. Dia tidak lagi melihat belang yang bertahun-tahun tidak bisa hilang itu. Tubuh baginda Raja Yunan kembali bersih bagaikan perak putih. Bukan main gembiranya Raja Yunan ketika mengetahui bahwa penyakitnya telah sembuh. Baginda pun segera menuju istana untuk tidur. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Yunan telah memasuki ruang utama istana dan duduk di singgasananya. Beberapa pengawal dan pembesar kerajaan datang menghadap. Mari kita tinggalkan sejenak Raja Yunan yang sedang berbahagia. Sekarang kita beralih untuk melihat Duban, si orang pintar. Setelah pulang dari pertandingan kemarin petang, Duban kembai ke tempat tinggalnya. Keesokan harinya, orang pintar ini langsung menuju istana dan meminta izin untuk menghadap raja. Raja tentu mengizinkan Duban untuk bertemu dengannya. Di hadapan Raja Yunan, Duban bersenandung:
Kemuliaan tampak, ketika seorang bapak dipanggil Dia tentu menolak, jika bukan kau yang memanggil Wahai pemilik wajah yang cahayanya begitu mulia, dan menghapus gulita Wajahmu terus bersinar bak bulan di tengah malam hingga tak kau lihat wajah zaman yang masam Kau limpahi aku segala anugerah kemuliaan Memperlakukan kami bagai awan kepada tutnbuhan Banyak harta kau habiskan 'tuk mencari kemuliaan Dan di tengah zaman, begitu banyak yang kau butuhkan Ketika Raja Yunan melihat orang yang telah berhasil mengobati penyakitnya itu datang, baginda pun meminta Duban duduk di sampingnya. Kemudian mereka berdua menyantap hidangan yang telah disajikan. Sepanjang hari Raja Yunan menjamu Duban dengan segala kenikmatan, dan ketika malam tiba, Raja Yunan memberikan dua ribu dinar kepada Duban, belum termasuk berbagai macam bingkisan dan hadiah lainnya. Duban pulang kembali ke rumahnya. Sementara sang raja yang sedang gembira tak henti-hentinya mengagumi orang yang telah mengobati penyakitnya. Di dalam hati Raja Yunan berkata, 'Orang ini telah berhasil mengobati penyakitku tanpa meng-gunakan minyak oles sama sekali. Demi Allah, hal seperti itu tentu merupakan hasil dari pengetahuan yang mendalam. Aku harus terus membuatnya senang dan memuliakan dirinya, aku pun juga harus menjadikannya teman selama-lamanya.' Malam itu, Raja Yunan tidur dengan hati berbunga-bunga. la begitu gembira atas kesembuhan dirinya dari penyakit yang telah dideritanya begitu lama. Keesokan harinya, seperti biasa baginda Raja Yunan kembali duduk di singgasananya. Beberapa pembesar kerajaan datang menghadap. Telah hadir pula beberapa pejabat dan menteri yang duduk di sisi kanan dan kiri baginda raja. Raja Yunan lalu memerintahkan agar Duban dipanggil. Duban pun datang dan masuk ke dalam istana. Setibanya di istana, Raja Yunan langsung menyambut orang pintar ini dan kemudian mempersilakannya duduk di samping baginda raja. Tak berapa lama, mereka berdua tenggelam dalam pembincangan sampai malam menjelang. Sebelum Duban pulang, Raja Yunan menghadiahinya dengan lima potong pakaian dan uang seribu dinar. Setelah mengucapkan terima kasih pada sang raja, Duban kembali pulang. Keesokan harinya, Raja Yunan kembali masuk ke ruang utama istananya. seperti biasanya, di dalamnya telah hadir seluruh pejabat, menteri, dan pengawal raja. Tampak hadir pula salah seorang menteri yang suka mendengki. Ketika menteri yang jahat ini mengetahui bahwa baginda raja memiliki kedekatan khusus dengan Duban serta sering memberinya berbagai macam pemberian, muncul perasaan dengki di hatinya dan dia mulai menyusun sebuah rencana busuk. Menteri jahat itu menghadap Raja Yunan. Dia berkata, 'Wahai Paduka Raja yang begitu baik kepada semua orang, sesungguhnya hamba memiliki sebuah nasihat untuk Paduka yang akan hamba sampaikan atas perkenan Paduka.' Mendengar permintaan itu, Raja menjawab, 'Apa nasihatmu?' 'Wahai Paduka Raja,' si menteri jahat memulai penuturannya, 'Sesungguh-nya hamba melihat bahwa Paduka telah melakukan kesalahan dengan memberi berbagai macam hadiah kepada salah seorang musuh Paduka yang terus berusaha merongrong kerajaan yang Paduka pimpin. Paduka justru terus mem-perlakukan musuh itu dengan baik serta memuliakannya begitu rupa. Hamba takut kalau-kalau hal itu justru akan membahayakan Paduka. Demi mendengar apa yang diungkapkan oleh menterinya itu, seketika wajah baginda Raja Yunan menjadi merah padam, seraya berkata, 'Siapa yang kau maksud sebagai musuhku tetapi aku memperlakukannya dengan baik itu?' 'Duhai, sadarlah Paduka,' ujar sang menteri, 'yang hamba maksud adalah Duban!' 'Mengapa kau berkata begitu? Duban adalah sahabatku, dan dia juga adalah orang yang paling mulia bagiku, karena dialah yang berhasil menyembuhkan penyakitku yang bertahun-tahun tidak dapat disembuhkan oleh tabib mana pun. Di zaman seperti ini, aku tak dapat menemukan orang seperi Duban. Kukira kau mengatakan ini hanya karena kau iri seperti yang pernah kudengar tentang Raja Sindbad,' ujar baginda tak percaya."
Pagi datang lagi, Cerita Syahrazad pun terhenti. Satu malam lagi, putri yang cerdas ini selamat dari mati.
MALAM KE-5
Syahrazad melanjutkan ceritanya...
Raja Yunan lalu berkata kepada menterinya itu, "Hai menteri! Ketahuilah bahwa perasaan iri telah merasuki dirimu atas Orang Pintar itu. Kau tentu ingin agar aku membunuhnya, dan sesudah itu, aku akan menyesal seperti yang pernah menimpa Raja Sindbad yang membunuh burung elang kesayangannya." "Bagaimana ceritanya?" tanya sang menteri. "Pada zaman dahulu hiduplah seorang raja Persia," Raja Yunan memulai penuturannya, "Raja Persia ini memelihara seekor elang yang amat disayanginya, bahkan seringkali elang ini tidur di tangannya sepanjang malam. Raja selalu membawa elang kesayangannya itu ketika ia berburu. Raja juga mengalungkan sebuah cangkir yang terbuat dari emas di leher elang itu untuk digunakan di saat minum. Pada suatu hari, juru rawat elang raja datang menghadap, 'Wahai baginda, musim berburu telah tiba,' ujarnya. Mengetahui hal itu, sang raja segera mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya berburu. Tak lupa, baginda membawa serta burung elang kesayangannya. Setelah beberapa lama menempuh perjalanan, rombongan Raja tiba di sebuah lembah. Jaring buruan pun dipasang. Tak perlu menunggu terlalu lama, ketika tiba-tiba seekor kijang terperangkap di dalam jaring yang mereka pasang. Pada saat itu, Raja berkata, 'Kalau ada di antara kalian yang menyebabkan kijang ini terlepas, maka aku akan membunuhnya.' Mendengar ancaman sang Raja, seluruh pengawal memperkuat jeratan jaring buruan yang mereka pegang. Entah bagaimana, kijang yang terjerat di dalam jaring itu menghadapkan mukanya ke arah Raja seraya menundukkan kepalanya, seakan-akan kijang itu sedang bersujud kepada Raja. Melihat itu, sang Raja pun menganggukkan kepalanya, dan tiba-tiba saja kijang itu melompat ke atas kepala Raja dan melarikan diri. Seraya terkejut atas apa yang dialaminya, baginda Raja memalingkan pan-dangannya ke arah para pengawal. Raja pun melihat bahwa para pengawalnya itu menunjukkan tatapan mata yang aneh padanya. 'Wahai menteri, apa yang mereka gunjingkan?' Menterinya menjawab, 'Mereka ramai membicarakan pernyataan baginda tadi bahwa baginda akan membunuh siapa pun yang menyebabkan kijang tadi melarikan diri.' Mendengar sindiran itu, Raja langsung bersumpah, 'Demi hidupku, akan kutangkap kijang itu ke mana pun larinya.' Raja pun kemudian mengikuti jejak kijang yang tadi melarikan diri. Tak terlalu sulit bagi Raja untuk menemukan kijang yang dikejarnya. Sebelum Raja mendekati kijang tersebut, seketika elang kesayangannya terbang menerkam kijang tersebut, hingga matanya buta, dan kijang itu pun berhasil ditaklukkan. Kemudian Raja mengeluarkan sebilah besi dan dipukulnya kijang itu. Raja lalu menyembelih kijang hasil buruannya itu.
Pada saat itu, udara terasa amat panasnya, sementara tempat itu adalah gurun yang kering kerontang. Raja dan kuda yang ditungganginya mulai merasakan haus. Raja memandang sekelilingnya untuk mencari air. Ajaib. Raja menemukan sebatang pohon yang dari batangnya keluar air. Tanpa pikir panjang, sang Raja langsung mengambil cangkir yang terdapat di leher elang peliharaannya dan mengisinya dengan air. Setelah cangkir itu penuh, Raja meletakkannya di hadapannya, dan tiba-tiba elang kesayangannya menyambar cangkir itu hingga air di dalamnya tumpah. Rajapun mengambil lagi cangkir yang terjatuh dan kembali diisinya dengan air. Sang Raja mengira bahwa kelakuan elangnya itu disebabkan karena elangnya juga merasakan haus seperti dirinya. Untuk kedua kalinya, sang Raja meletakkan cangkir yang berisi air di ha-dapannya, namun lagi-lagi elang miliknya terbang dan menyambar cangkir tersebut hingga airnya tumpah. Bukan main marahnya sang Raja kepada burung peliharaannya itu. Diambilnya untuk ketiga kalinya, dan langsung diberikan kepada kuda tunggangannya, namun lagi-lagi, si elang terus berusaha menumpahkan isi cangkir itu dengan sayapnya. 'Dasar burung terkutuk! Mengapa kau halang-halangi kita semua minum,' ujar baginda Raja seraya mengayunkan pedangnya ke arah elang miliknya, hingga putuslah sayapnya. Sembari menahan sakit, elang kesayangan Raja itu memberi isyarat kepada Raja untuk melihat ke atas pohon tempat dia mengambil air. Raja pun mengangkat kepalanya ke atas pohon untuk melihat apa sebenarnya yang ada di atas pohon. Raja terkejut, karena ternyata di atas pohon itu terdapat seekor ular besar yang membiarkan bisa dari mulutnya menetes ke bawah pohon. Bukan main penyesalan yang dirasakan oleh sang Raja, ketika menyadari kebodohannya yang telah menebas sayap elang kesayangannya. Dia lalu bangkit dan menaiki kudanya untuk kembali ke tempatnya semula. Kijang yang berhasil ditangkapnya diserahkan kepada juru masak. Kemudian sang Raja duduk, sementara di tangannya, elang kesayangannya sedang meregang nyawa. Burung yang amat disayanginya dan baru saja menyelamatkan nyawanya itu pun mati. Kesedihan sang Raja meledak dalam penyesalan atas apa yang telah dilakukannya." Ketika menteri Raja Yunan mendengar kisah itu, iapun berkata kepada baginda Raja, "Wahai baginda raja yang agung, jadi bahaya apa yang baginda lihat dari apa yang hamba lakukan? Sebenarnya hamba melakukan ini karena hamba kasihan kepada baginda. Hamba juga yakin bahwa baginda akan segera mengetahui kebenaran atas apa yang hamba ucapkan. Jika baginda sudi mendengarkan peringatan hamba, baginda akan selamat, tetapi jika tuduhanku ini ternyata salah, maka hamba pasti akan dihukum mati seperti yang dulu dialami oleh seorang menteri yang melakukan tipu muslihat atas diri seorang putra Raja. Raja tersebut memiliki seorang putra yang sangat gemar berburu. Selain itu, sang Raja juga memiliki seorang menteri yang ditugaskan untuk selalu mengikuti putranya ke mana pun putranya itu pergi. Pada suatu hari, pangeran putra Raja ini keluar istana untuk berburu. Sang menteri pun menyertai perburuan yang dilakukan oleh pangeran yang harus terus dikawalnya itu. Singkat cerita, mereka menemukan seekor binatang yang besar. "Sungguh seekor buruan yang tepat untuk pangeran, kejarlah ia!" ujar menteri kepada sang pangeran. Tanpa pikir panjang, sang pangerang langsung mengejar buruannya sendirian. Sampai akhirnya, setelah jauh mengejar dan tidak berhasil menangkap buruan yang dikejarnya, sang pangeran menyadari bahwa dirinya telah tersesat. Sang pangeran kebingungan, entah berada di mana dia sekarang. Di tengah kebingungan, sang pangeran melihat seorang gadis yang sedang menangis di ujung jalan yang dilaluinya. Dia lalu bertanya pada gadis itu, "Siapa kau?" Gadis itu menjawab, "Aku adalah salah seorang putri Raja Hindustan. Sebenarnya aku sedang melakukan perjalanan, namun aku terserang kantuk sehingga aku terjatuh dari kuda yang kukendarai. Kini aku di sini, tanpa tahu di mana aku sebenarnya." Mendengar pengakuan itu, sang pangeran merasa iba kepada putri Raja Hindustan itu. Dipapahnya sang putri dan dinaikkan ke punggung kuda yang ditungganginya. Setelah beberapa lama berjalan, mereka tiba di sebuah semenanjung. Sang putri berkata, "Tuan, izinkan aku untuk buang air barang sejenak." Sang pangeran menurunkan putri tersebut dan menguntitnya dari belakang. Dengan amat perlahan, tanpa sepengetahuan sang putri, sang pangeran mendekati sang putri dari belakang. Dugaannya benar, gadis yang mengaku sebagai putri Raja Hindustan itu ternyata adalah hantu betina. Hantu itu sedang berbicara kepada anak-anaknya, "Hai anak-anakku, hari ini ibu berhasil membawa seorang manusia yang gemuk."
"Terima kasih, Bu. Bawalah ia kemari untuk segera kami santap," jawab anak-anaknya. Ketika telinganya mendengar semua kalimat itu, sang pangeran langsung menyadari bahwa dirinya berada di ambang maut, dengan tubuh gemetar, sang pangeran kembali ke tempatnya semula. Di tengah ketakutan yang me-ngepungnya, si 'Putri Hidustan' kembali ke hadapannya dan berkata, "Mengapa tuan ketakutan?" Sang pangeran menjawab, "Sebenarnya aku memiliki seorang musuh yang amat kutakuti." "Bukankah tadi tuan mengaku bahwa tuan adalah seorang pangeran?" Tanya hantu betina itu. "Benar," jawab pangeran. "Kalau memang demikian, mengapa tuan tidak memberi harta benda kepada musuh tuan itu agar dia senang," kata hantu itu. "Tak mungkin. Musuhku itu tidak menyukai harta, yang dia inginkan hanyalah nyawaku. Sungguh aku takut padanya, dan aku adalah orang yang dizalimi." Jawab sang pangeran. Kemudian hantu itu pun berkata, "Jika benar tuan adalah orang yang dizalimi seperti yang tuan katakan, lantas, mengapa tuan tidak meminta per-tolongan kepada Allah agar Dia menghentikan kejahatan musuh tuan itu?" Setelah mendengar anjuran si hantu betina, sang pangeran kemudian me-nengadahkan kepalanya ke langit seraya berdoa, "Wahai Zat Yang Menjawab Doa dan Menyingkirkan Keburukan bagi setiap orang sengsara yang berdoa pada-Nya. Tolonglah hamba dari kejahatan musuh hamba, dan jauhkanlah ia dari diri hamba, karena sesungguhnya Engkau Mahasanggup berbuat apa saja sekehendak-Mu." Seusai doa itu dibacakan, tiba-tiba hantu betina itu langsung lenyap dari hadapan sang pangeran, sedangkan sang pangeran secara ajaib telah tiba kem-bali di istana ayahnya. Di sana pangeran menuturkan semua hal yang baru dialaminya, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh sang menteri. Menteri busuk itu menyudahi ceritanya. "Jadi, jika Paduka terus mempercayai Duban, tentu dia akan membunuh Paduka," ujar sang menteri meyakinkan Raja Yunan. Akhirnya, Raja Yunan mempercayai dusta yang disampaikan menterinya itu, "Jadi apa yang harus kulakukan sekarang?"
Menteri jahat itu menjawab, "Saat ini juga, panggillah Duban untuk menghadap Paduka. Sesampainya di sini, Paduka harus langsung memenggal lehernya, jangan sampai Paduka didahului olehnya." "Baik, akan kulakukan," Raja Yunan setuju, dan dia segera mengirim salah satu pelayan istana untuk memanggil Duban. Ketika Duban sampai di hadapan Raja, dia menyenandungkan qasidah berikut ini:
Sungguh kau telah berbuat baik padaku sebelum kuminta Segala kenikmatan datangi aku, tanpa halangan apa pun Aku kukatakan bahwa apa yang kaulakukan padaku Meringankan sedihku, meski memberatkan aku
Dia lalu menyenandungkan syair berikut:
Jangan tunjukkan dukamu semuanya Karena segala sesuatu ada takdirnya Senanglah dengan kebaikan saat ini Kau 'kan lupakan apa yang kau lalui Karena, berapa banyak masalah yang melelahkan bagimu, padahal ujungnya ada yang menyenangkan Allah, sanggup berbuat sekehendak-Nya Maka janganlah kau melawan-Nya
Duban melanjutkan senandungnya:
Tenang, dan berbaik-baiklah dengan segala susah hati Karena keresahan 'kan hilangkan akal yang jeli Tak ada guna mengasuh budak yang sudah tua Tinggalkan dia, agar kau selamat sejahtera
"Apakah kau tahu mengapa kau kupanggil ke istanaku, wahai Orang Pintar?" ujar baginda Raja. "Hanya Allah yang mengetahui hal gaib, Baginda," jawab Duban.
"Aku memanggilmu ke sini tak lain, adalah untuk membunuhmu!" jawab sang Raja. Mendengar jawaban itu, Duban terkejut, lalu dia berkata, "Wahai baginda, mengapa kau ingin membunuhku? Apa dosaku sehingga aku harus dihukum mati?" "Ada seseorang yang mengatakan padaku bahwa sebenarnya kau adalah seorang mata-mata yang datang ke sini untuk membunuhku," jawab Raja. Ke-mudian Raja memanggil algojo untuk menyingkirkan Duban yang dianggapnya sebagai pengkhianat. Merasa dirinya terancam, Duban berseru, "Baginda, biarkan hamba hidup, maka Allah akan membiarkan baginda hidup. Jangan bunuh hamba, karena jika tidak, Allah yang akan membunuh Baginda." Namun, Raja bergeming, "Tidak, aku takkan pernah merasa aman sampai kau dibunuh. Karena kau telah berhasil menyembuhkan penyakitku dengan sesuatu yang hanya kupegang, maka kau tentu sanggup membunuhku hanya dengan sesuatu yang kucium, atau dengan cara lain." Duban menyergah, "Wahai baginda Raja, inikah balasan baginda untuk hamba? Air susu dibalas air tuba." "Tidak, kau tetap harus kubunuh," ujar sang Raja. Duban patah arang. Airmatanya meleleh. Dia menyadari bahwa perbuatan baiknya selama ini ternyata memang berada tidak pada tempatnya. Di tengah kesedihannya, Duban melagukan sepotong syair:
Maimunah adalah seorang gadis tolol Meski ayahnya termasuk orang berilmu Tak pernah berjalan di tanah kering dan lumpur Kecuali dengan cahaya petunjuk karena takut tergelincir Kuberi nasihat, aku tak beruntung, karena mereka berdusta Nasihatku memerosokkan aku di negeri yang hina Kalau aku hidup kutakkan pernah beri nasihat, dan kalau aku mati, laknatlah para penasihat sepeninggalku dengan segala ungkapan
Duban lalu berkata, "Balasan baginda atas jasa hamba adalah seperti bala-san yang dulu pernah dilakukan oleh seekor buaya." "Bagaimana kisah tentang buaya yang kau maksud?" tanya sang Raja.
Duban menjawab, "Hamba tak mungkin menuturkan kisahnya dalam ke-adaan seperti sekarang ini. Maka demi Allah, biarkanlah hamba hidup, maka Allah akan membiarkan baginda hidup." airmata Duban kembali mengalir deras. Melihat kejadian itu, beberapa orang pembantu Raja bangkit dan berkata, Wahai Raja, batalkanlah hukuman mati atas orang ini, karena kami tidak pernah melihatnya berbuat dosa atas baginda. Yang kami tahu, orang inilah yang telah menyembuhkan baginda yang tak dapat disembuhkan oleh tabib lain." Di ujung keputusasaan, Duban mengetahui bahwa Raja Yunan tak mungkin membatalkan hukumannya. Duban berkata, "Wahai Raja, kalau memang baginda tetap harus membunuhku, maka berilah hamba kesempatan barang sejenak untuk kembali ke rumah hamba untuk memberi petunjuk kepada keluarga dan semua tetangga hamba tentang cara penguburan hamba nanti. Hamba juga akan menghibahkan semua kitab ketabiban yang hamba miliki. Baginda, hamba memiliki sebuah kitab yang sangat istimewa yang akan hamba berikan kepada baginda." Raja lalu bertanya, "Kitab apa yang kau maksud?" Duban menjawab, "Di dalam kitab tersebut terdapat begitu banyak rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Jika baginda memenggal kepala hamba, bukalah kitab itu. Pada lembar ketiga di baris ketiga halaman sebelah kiri, terdapat sebuah mantera yang akan membuat kepala yang telah terpenggal dapat berbicara untuk menjawab pertanyaan apa pun yang baginda ajukan." Dengan rasa takjub, baginda kembali bertanya, "Hai orang pintar, apakah jika kepalamu kupenggal dan kubacakan mantera itu, kepalamu akan dapat berbicara denganku?" "Ya," jawab Duban. Setelah itu, Raja mengizinkan Duban untuk pulang ke rumahnya di bawah pengawalan ketat. Duban masuk ke dalam rumahnya. Dan seharian dia menyelesaikan segala urusannya. Keesokan harinya, Raja kembali memasuki ruang utama istananya. Dan tak lama kemudian, masuklah Duban si Orang Pintar dan langsung berdiri di hadapan Raja. Tampak tangannya memegang sebuah kitab kuno. Duban pun duduk seraya berkata, "Tolong ambilkan sebuah baki." Setelah baki yang dimintanya tiba, Duban berkata, "Wahai baginda, silakan ambil kitab ini, namun jangan baginda buka kitab ini sebelum baginda memenggal kepala hamba. Ketika kepala hamba sudah dipenggal, letakkan kepala hamba itu di atas baki ini, karena dengan demikian darah dari kepala hamba akan berhenti. Sesudah itu, silakan Paduka membuka kitab ini." Tanpa menunggu lebih lama, baginda Raja langsung memerintahkan algojo untuk memenggal kepala Duban. Kitab yang diberikan padanya diambilnya. Terpenggallah kepala Duban. Seperti yang telah diminta oleh Duban, algojo lalu meletakkan kepala yang telah terpisah dari badan itu di atas baki, tepat di hadapan Raja. Tiba-tiba Duban membuka matanya seraya berkata, "Wahai Raja, bukalah kitab itu!" Ketika mendengar perintah dari penggalan kepala di hadapannya, baginda Raja langsung membuka kitab yang telah berada di tangannya. Aneh. Rupanya lembaran kitab rua itu telah melekat satu sama lain, sehingga baginda Raja membasahi ujung jarinya dengan lidahnya agar dapat membuka halaman-halaman kitab tua itu. Dengan susah payah baginda Raja membuka halaman demi halaman. Berkali-kali sang Raja membasahi ujung jarinya dengan lidahnya untuk mempermudah dirinya ketika membuka lembaran-lembaran kitab kuno itu. Sudah enam lembar halaman kitab kuno itu yang dibuka oleh Raja Yunan, tetapi tidak satu huruf pun yang dilihat oleh baginda. Di tengah keheranannnya, Raja Yunan bertanya, "Wahai Orang Pintar, aku tidak menemukan tulisan apa pun di dalam kitab ini." "Cobalah baginda buka lagi halaman lainnya," ujar Duban. Maka Raja Yunan kembali membolak-balik halaman kitab di tangannya. Dan seperti sebelumnya, berkali-kali sang Raja membasahi ujung jarinya dengan lidahnya untuk membuka halaman demi halaman yang rupanya memang sudah saling melekat. Lembar demi lembar dibuka oleh Raja Yunan. Entah sudah berapa kali jarinya berulang-ulang dibasahi dengan lidahnya, sampai akhirnya Raja Yunan terjatuh dari singgasananya dan langsung tewas! Rupanya, lembaran-lembaran kitab kuno yang diberikan Duban kepada Raja Yunan telah dibaluri racun yang amat mematikan. Tindakan Raja yang berkali-kali membasahi ujung jarinya dengan lidah untuk membuka halaman kitab yang lengket, telah membuat racun merasuk ke dalam rubuhnya. Melihat orang yang membunuhnya telah tewas, dari atas baki terdengar penggalan kepala Duban bersenandung:
Mereka berkuasa, dan terus berlama-lama Sungguh sedikit yang baik, seolah hukum tak ada Jika harus insaf, insaflah! Tapi mereka menolak Maka waktu datang dengan bencana dan bala' Biarlah lisan kenyataan yang menyenandungkan Ini dibalas itu, karena tak ada yang mencela zaman
"Raja Yunan telah mati. Jadi, ketahuilah wahai jin seandainya saja dia membiarkan Duban hidup, tentulah Allah akan membiarkannya hidup. Akan tetapi sang Raja lebih memilih untuk membunuh Duban yang telah me-nolongnya, maka Allah membalas kejahatannya. Begitu pula denganmu, jika kau membiarkan aku hidup, maka Allah akan membiarkanmu hidup," ujar si nelayan tua kepada jin di dalam botol tembaga yang dibawanya.
Malam hampir lewat. Pagi sudah dekat. Syahrazad menutup mulutnya rapat-
rapat.
MALAM KE-6
Malam keenam tiba. Syahrazad kembali menuturkan ceritanya.
Ketika si nelayan tua berkata kepada sang jin, "Sebenarnya, jika kau mau mem-biarkan aku hidup, maka aku akan membebaskanmu, tetapi rupanya yang kau inginkan hanyalah membunuhku, oleh sebab itu aku biarkan kau mati di dalam botol yang akan kulemparkan ke dalam laut." Ketika mendengar ucapan si nelayan tua, sang jin berkata, "Demi Allah, jangan kau lakukan itu! Beri aku kesempatan untuk hidup. Janganlah kau mem-balas kejahatan yang aku lakukan. Wahai nelayan, berbuat baiklah, meski tadi aku telah berbuat jahat padamu. Janganlah kau mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh Umamah bersama Atikah." "Apa yang mereka berdua lakukan?" tanya si nelayan. Dari dalam botol, jin itu menjawab, "Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menceritakannya. Bebaskanlah aku, maka aku akan menuturkan kisah tentang kedua orang itu padamu." Tetapi si nelayan menolak dan berkata, "Tampaknya kau memang harus segera dilempar ke dalam laut. Tak mungkin aku mengeluarkanmu dari dalam botol sekali lagi." Setelah berpikir dua kali, si nelayan tua akhirnya berkata, "Hai jin Ifrit, Allah pernah berfirman,
'Tepatilah janji, karena janji akan dipertanggungjawabkan'
Engkau telah berjanji kepadaku dan bersumpah bahwa kau tidak akan mengkhianatiku. Jika kau mengkhianatiku, maka Allah akan membalas perbuatanmu, karena Dia hanya menunda pembalasan atas kejahatan, dan tidak pernah melalaikannya. Aku akan memperingatkan dirimu seperti yang dilakukan oleh Duban kepada Raja Yunan,
'Biarkanlah aku hidup, maka Allah akan membiarkan kau hidup'."
Si nelayan membuka botol yang dipegangnya. Sang jin pun tertawa terbahak-bahak. Sambil melangkah dia berkata, "Hai nelayan, ikuti aku." Si nelayan pun mengikuti sang jin dari belakang. Dengan perasaan gembira atas kebebasannya, sang jin membawa si nelayan ke sebuah tempat di atas gunung. Tempat yang mereka berdua tuju adalah sebuah dataran luas yang di tengahnya terdapat sebuah telaga. Jin itu kemudian memerintahkan si nelayan untuk menebarkan jaringnya ke tengah telaga untuk mengambil ikannya. Si nelayan tua lalu melihat ke dalam telaga. Di dalam telaga, si nelayan tua melihat begitu banyak ikan beraneka warna, ada yang putih, merah, biru, dan kuning. Sebuah pemandangan yang membuat si nelayan tua takjub. Tanpa pikir panjang, si nelayan langsung menebarkan jaringnya. Perlahan ditariknya jaringnya, ternyata dia berhasil menangkap empat ekor ikan dengan warna yang berbeda. Sang jin lalu berkata, "Bawalah keempat ekor ikan itu untuk dihadiahkan kepada Sultan, niscaya engkau akan mendapatkan apa pun yang kau inginkan. Tetapi, demi Allah, maafkanlah aku, karena aku tidak tahu jalan yang harus kita tempuh, sebab aku telah berada di dasar laut selama seribu delapan ratus tahun. Sungguh baru sekarang aku melihat dunia. Aku akan meninggalkanmu, pesanku, jangan kau mengambil ikan dari telaga ini lebih dari satu kali setiap hari. Semoga Allah melindungimu." Setelah mengucapkan kata perpisahan, sang jin menginjakkan kakinya dua kali ke tanah. Bumi pun terbelah, dan sang jin masuk ke dalam tanah meninggalkan si nelayan tua. Dengan perasaan berbunga-bunga, si nelayan tua kembali ke kota, di dalam hatinya dia masih tak dapat mempercayai apa yang dialaminya bersama sang jin. Sesampainya di rumah, si nelayan memasukkan ikan yang ditangkapnya ke dalam sebuah wadah yang telah diisi air. Diletakkannya wadah itu di atas kepalanya untuk dibawa ke istana seperti yang dianjurkan sang jin. Setibanya di istana, si nelayan langsung menunjukkan ikan tangkapannya kepada Sultan. Sultan merasa takjub atas apa yang dilihatnya, karena seumur hidupnya, baginda tidak pernah melihat ikan seperti yang dilihatnya kali ini. Sultan kemudian menyerahkan ikan-ikan yang dibawa si nelayan kepada juru masak untuk digoreng. Sultan kemudian memerintahkan salah seorang menterinya untuk memberikan uang empat ratus dinar kepada si nelayan tua. Setelah menerima uang yang diberikan menteri, si nelayan tua pulang ke rumahnya. Dengan perasaan gembira yang meluap-luap, si nelayan tua menemui istrinya untuk membeli berbagai kebutuhan keluarganya dengan uang yang diterimanya dari Sultan. Sementara itu, di dapur istana, juru masak istana tengah sibuk menyiangi ikan yang diserahkan Sultan padanya. Setelah ikan itu bersih, si juru masak memasukkan ikan-ikan itu ke dalam penggorengan. Si juru membiarkan ikan yang digorengnya di atas penggorengan, dan terjadilah sebuah kejadian aneh. Ikan yang sedang digoreng itu tiba-tiba berdiri, seraya menghadapkan wajahnya ke arah dinding dapur. Dinding dapur yang ditatap oleh ikan itu kemudian terbuka, dan keluarlah seorang gadis kecil yang cantik jelita. Di kedua tangan gadis kecil itu melingkar sepasang gelang yang indah, dan di jari-jemarinya tersemat beberapa buah cincin bertatahkan permata yang indah. Sementara tangan gadis kecil itu memegang sebatang rotan. Gadis kecil itu kemudian menusukkan batang rotan yang dipegangnya ke dalam penggorengan seraya berkata, "Hai ikan, apakah kau menepati janjimu yang dulu?" Berkali-kali gadis kecil itu mengucapkan pertanyaan yang sama, dan ikan-ikan itu pun menjawab, "Ya, tentu." Dan keempat ikan itu pun melagukan sebait syair:
Jika kau kembali, kami 'kan kembali. Jika kau menepati janji, kami pun 'kan menepati janji Akan tetapi jika kau pergi, maka kami pun mencukupkan sampai di sini
Seketika, si gadis kecil membalikkan penggorengan di hadapannya, dan kemudian masuk ke tempatnya yang tadi. Tembok dapur kembali seperti se-dia kala.
Juru masak kerajaan yang sedari tadi menyaksikan kejadian aneh itu langsung berdiri menghampiri ikan-ikan yang dimasaknya. Sayang, ternyata keempat ikan itu telah hangus menjadi arang. Pada saat yang bersamaan, salah seorang menteri masuk untuk membawa ikan yang tadi dimasak ke hadapan Sultan. Karena keempat ikan yang dimasaknya telah hangus, juru masak kerajaan menangis seraya menceritakan kepada sang menteri semua yang dilihatnya tadi. Sang menteri pun terkejut ketika mendengar penuturan si juru masak, dia kemudian memerintahkan salah seorang pembantunya untuk memanggil si nelayan tua. "Hai nelayan, kau harus membawakan kami empat ikan baru yang sama dengan keempat ikan yang kau bawa tadi," ujar sang menteri kepada si nelayan tua. Si nelayan pun mematuhi permintaan menteri. Dia segera kembali ke telaga yang dikunjunginya bersama jin. Sesampainya di sana, jaring pun langsung ditebarnya. Seperti sebelumnya, kali ini si nelayan berhasil menangkap empat ekor ikan. Tergopoh-gopoh dibawanya ikan iku kepada menteri yang telah menunggunya untuk kemudian diserahkan kepada juru masak istana. Ketika menyerahkan ikan-ikan aneh itu, sang menteri berkata, "Gorenglah ikan-ikan ini di hadapanku, agar aku dapat melihat apa yang kau katakan tadi." Juru masak istana pun langsung membersihkan ikan-ikan yang baru diterimanya dan kemudian memasukkannya ke dalam penggorengan. Benar. Tak berapa lama, dinding dapur istana terbelah dan keluarlah seorang gadis cantik yang tangannya memegang sebatang rotan. Sambil menusukkan rotan ke dalam penggorengan, gadis itu berkata, "Hai ikan, apakah kau menepati janjimu yang dulu?" Ikan-ikan itu pun mengangkat kepala mereka seraya berkata, "Ya, tentu." Dan sekali lagi, keempat ikan itu melagukan syair yang telah disebut di atas.
Hari hampir pagi. Cerita yang dituturkan Syahrazad pun terhenti.
MALAM KE-7
Syahrazad melanjutkan ceritanya...
Seusai mendengar perkataan sang ikan, gadis kecil itu kembali membalikkan penggorengan dengan menggunakan tongkatnya. Setelah melakukan itu, si gadis kembali masuk ke tempatnya keluar tadi, dan tembok yang terbelah pun kembali seperti semula. Setelah melihat kejadian tersebut dengan mata kepalanya sendiri, sang menteri lalu berkata, "Masalah ini harus disampaikan kepada Sultan." Sang menteri pun bergegas menghadap baginda Sultan untuk menyampaikan apa yang baru terjadi di hadapannya. "Aku harus melihat sendiri," demikian ucapan Sultan ketika mendengar laporan sang menteri. Sekali lagi, si nelayan rua diminta datang ke istana dengan membawa empat ekor ikan seperti sebelumnya. Sultan memberi waktu tiga hari kepada si nelayan rua untuk memenuhi permintaannya. Sang nelayan pun kembali mendatangi telaga tempatnya mengambil ikan ajaib. Dan setelah berhasil me-nangkap empat ekor ikan, sang nelayan langsung menyerahkannya kepada sang menteri. Setelah menerima ikan yang diberikan oleh si nelayan rua, Sultan me-merintahkan menterinya untuk memberi empat ratus dinar kepada si nelayan. Kemudian baginda Sultan berkata, "Hai menteriku, gorenglah ikan-ikan itu di hadapanku." "Baik, Baginda," jawabnya. Lalu sang menteri mengambil sebuah penggore-ngan dan langsung memasukkan keempat ikan ajaib. Benar. Tembok istana terbelah dan keluarlah seorang budak hitam yang rupanya seperti kerbau atau orang Ad yang buruk rupa, sementara tangannya memegang sebatang ranting berwarna hijau. Budak hitam itu lalu berkata, "Hai ikan, apakah kau menepati janjimu yang dulu?" Ikan-ikan itu pun mengangkat kepala mereka seraya berkata, "Ya, tentu." Dan sekali lagi, keempat ikan itu melagukan syair yang telah disebut di atas. Dan seperti yang dilakukan si gadis cantik, si budak hitam itu pun kembali membalikkan penggorengan yang digunakan untuk memasak ikan tersebut hingga keempat ikan yang sedang digoreng di atasnya hangus menjadi arang. Setelah itu, si budak hitam kembali masuk ke bagian tembok yang tadi terbelah. Setelah budak itu menghilang, Sultan berkata, "Masalah ini tidak boleh dibiarkan. Ikan-ikan ini pasti menyimpan misteri yang luar biasa." Sultan pun kemudian memerintahkan agar si nelayan tua dipanggil ke istana. Ketika si nelayan tua tiba di istana, Sultan bertanya padanya, "Dari mana kau dapatkan ikan ini?" "Dari sebuah telaga di antara empat gunung di balik gunung yang terletak di tepi ibu kota," jawab si nelayan. Lalu Sultan kembali bertanya pada nelayan tua itu, "Berapa hari waktu yang dibutuhkan untuk ke sana?" "Kira-kira hanya setengah jam, Baginda," jawab si nelayan. Jawaban itu tentu membuat Sultan terkejut, dan baginda pun segera mem-bawa sebagian pasukannya untuk pergi bersama si nelayan tua. Di dalam hati, si nelayan tua mengutuk jin yang mengajaknya ke telaga ajaib itu. Rombongan besar kesultanan terus bergerak, hingga akhirnya mereka tiba di puncak gunung dan tiba di sebuah dataran luas yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Sultan dan seluruh pasukan merasa takjub dengan dataran yang mereka lihat. Sebuah dataran yang terletak di antara empat buah gunung, dengan sebuah telaga berisi ikan empat warna: putih, merah, kuning, dan biru. Sultan hanya berdiri mematung, karena merasa ada yang tidak beres dengan apa yang dilihatnya, baginda berkata, "Apakah ada di antara kalian yang melihat sebuah telaga di tempat ini?" Mereka menjawab, "Tidak." Kemudian Sultan berkata lagi, "Demi Allah, aku tidak akan kembali ke ibu kota dan aku juga tidak akan duduk di singgasanaku lagi, sebelum aku mengetahui misteri di balik telaga ajaib tersebut." Sultan pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk menetap di sekitar gunung, dan setelah itu, baginda memanggil salah seorang menterinya yang diketahui memiliki pengetahuan serta wawasan yang luas tentang berbagai masalah. Kepada menterinya itu Sultan berkata, "Aku akan melakukan melakukan sesuatu, dan hanya kau yang tahu. Terbersit di dalam benakku untuk mencari tahu tentang telaga ajaib sendirian. Tugasmu adalah duduk di pintu kemahku ini, dan katakan kepada semua pembesar, menteri, dan pengawal, bahwa aku tidak mengizinkan siapa pun masuk untuk menemuiku. Dan jangan kau bocorkan rahasia ini kepada siapa pun." Dengan pakaian biasa dan dengan hanya membawa sebilah pedang, diam-diam Sultan pergi meninggalkan pasukannya dan terus berjalan hingga pagi tiba. Sultan terus berjalan sampai ketika matahari terasa begitu menyengat, ba-ginda pun berhenti untuk melepas lelah. Hanya sebentar Sultan beristirahat, dan kembali melanjutkan perjalanannya sampai malam datang dan terus ber-lanjut sampai pagi tiba. Tiba-tiba, nun di kejauhan mata Sultan melihat sebuah noktah hitam. Kegembiraannya muncul, "Mudah-mudahan di sana ada orang yang dapat memberi tahu aku hal ihwal telaga dan ikan di dalamnya," begitu katanya di dalam hati. Ketika Sultan semakin dekat dengan noktah hitam yang dilihatnya, bagin-da mengetahui bahwa ternyata noktah hitam itu adalah sebuah istana yang dibangun dengan menggunakan batu hitam dan besi. Salah satu daun pintu istana itu terbuka. Dengan perasaan gembira, Sultan mengetuk pintu istana tersebut, tetapi tak ada jawaban. Sultan pun kembali mengetuk pintu istana itu untuk kedua kalinya, namun tetap tak ada jawaban. Sampai pada kali ketiga Sultan mengetuk pintu itu dan masih tidak ada jawaban, akhirnya baginda memukul pintu istana itu kuat-kuat. Hening. Tak ada suara apa pun dari dalam istana. Sultan berkesimpulan bahwa istana di hadapannya itu pasti kosong. Dan setelah menghimpun segenap keberaniannya, Sultan akhirnya masuk ke dalam istana aneh itu. Setibanya di bagian depan istana, baginda berseru, "Wahai penghuni istana, aku adalah orang asing yang sedang dalam perjalanan, apakah kalian memiliki makanan?" Namun, lagi-lagi hanya sunyi yang menjawab seruannya. Sultan mengulang seruannya sampai tiga kali, dan masih tidak ada jawaban. Setelah menguatkan hati, Sultan akhirnya memberanikan diri untuk masuk lebih jauh ke bagian dalam istana. Tak ada seorang pun yang dilihatnya. Matanya hanya melihat sebuah ruangan luas dengan lantai yang tertutup permadani. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah air mancur. Di atas air mancur itu terdapat empat patung binatang yang terbuat dari emas yang pada bagian mulutnya mengalirkan air yang jatuh ke dalam kolam air mancur seperti ratna mutu manikam. Di sekeliling air mancur, terdapat banyak burung yang tidak dapat keluar istana karena bagian atas ruangan ini dipasangi jaring. ketika melihat semua itu, baginda Sultan begitu takjub, meski di dalam hatinya baginda menyesal karena tidak dapat menemukan seorang pun yang dapat memberi tahu tentang telaga, ikan, gunung, dan istana ini.
Baginda Sultan masih tercenung sendiri dengan kepala yang dipenuhi seribu tanda tanya, ketika lamat-lamat telinganya mendengar nyanyian berikut ini:
Barang istimewa kusembunyikan, meski kekayaanku telah tampak Rasa kantuk telah pergi, dan mataku terus membelalak Muncul sebuah pikiran, dan kuseru hartaku Wahai harta, usah kau terus ada padaku Mengapa kalian muliakan pemimpin yang hina Ikuti nafsu, dan terus kejar kekayaan Apa yang dilakukan si pemanah ketika berjumpa musuh Dia ingin memanah, padahal tali busurnya putus Jika terlalu banyak gundah hinggapi seorang pemuda 'Kan lari ke mana dia dari qadar dan dari qadha
Ketika Sultan mendengar suara itu, baginda langsung bangkit dan men-dekati arah suara itu. Di tempat asal suara itu Sultan melihat sehelai kain pem-batas yang menutupi sebuah pintu. Sultan segera menyingkapkan kain penutup itu, dan terlihatlah seorang pemuda yang duduk di sebuah singgasana yang sangat tinggi. Pemuda itu adalah sesosok pemuda yang tampan, baik tutur katanya, dengan pipi indah bagai pualam. Seorang pemuda yang sangat mirip dengan yang diungkapkan oleh sebuah syair:
Tubuhnya dari ujung rambut dan dahinya Memendam banyak orang dalam gelap dan cahaya Jangan bantah dia yang di pipinya Terdapat titik hitam, hai saudara
Begitu gembira Sultan dapat berjumpa dengan pemuda itu. Baginda me-ngucapkan salam pada pemuda itu, dan pemuda itu pun membalas salamnya dari atas singgasana. "Wahai tuan, maafkan aku yang tidak bangkit dari sing-gasanaku," ujar sang pemuda. Sultan pun berkata, "Wahai pemuda, tolong beritahu aku tentang telaga, ikan aneka warna, istana ini, dan penyebab mengapa kau berada di tempat ini seorang diri sambil bersedih?" Usai mendengar pertanyaan Sultan itu, sang pemuda langsung menangis tersedu-sedu.
"Mengapa kau menangis lagi?" tanya Sultan keheranan. Pemuda itu tidak menjawab, dari mulutnya hanya terdengar senandung berikut ini:
Serahkan segalanya kepada Rabb manusia Tinggalkan gundah, jangan terus berpikir Jangan tanyakan akan apa yang terjadi Karena semuanya terikat qadha dan qadar
Pemuda itu lalu berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak menangis, se-mentara keadaanku seperti ini." Seraya mengatakan itu, sang pemuda itu mengangkat bagian bawah bajunya. Tersingkaplah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Ternyata dari kepala sampai perut, pemuda itu memang berwujud manusia, tetapi dari perut ke bawah tubuh pemuda itu berupa batu! Pemuda itu berkata, "Ketahuilah wahai Sultan, bahwa ikan yang kau maksud itu memiliki kisah yang unik. Begini kisahnya," sang pemuda memulai ceritanya. Dulu, ayahku adalah raja di negeri ini. Baginda bernama Mahmud, dan menguasai Kepulauan Hitam. Baginda berkuasa selama tujuh puluh tahun. Setelah beliau meninggal dunia, kekuasaan jatuh ke tanganku, dan aku pun menikahi salah seorang sepupuku. Sepupuku yang kunikahi itu adalah seorang gadis yang sangat mencintaiku, sampai-sampai jika aku pergi, dia akan berhenti makan dan minum sampai aku pulang. Aku telah menikahinya selama lima tahun. Sampai pada suatu saat, istriku itu pergi ke tempat pemandian, dan dia meminta juru masak untuk menyediakan makan malam. Pada saat itu, aku masuk ke istana dan tidur di tempatku ini. Aku meminta dua orang selirku untuk menemaniku, salah seorang dari mereka duduk di dekat kepalaku, sementara yang lain duduk di dekat kakiku. Di dalam hati aku gelisah karena teringat istriku yang sedang keluar istana, sehingga meskipun mataku terpejam, namun sebenarnya batinku terus memikirkannya. Tiba-tiba selirku yang duduk dekat kepalaku mengatakan kepada selirku yang duduk dekat kakiku, "Hai Mas'udah, sungguh malang nasib tuan kita ini, dia terus dikhianati oleh istrinya yang bejat itu." Temannya pun menjawab, "Dasar pezina laknat! Sungguh tuan kita ini tidak cocok memperistri seorang perempuan bejat pezina seperti dia yang se-tiap malam tidur dengan laki-laki lain."
"Tetapi, tuan kita ini tidak pernah mempertanyakan masalah ini," ujar selirku yang duduk dekat kepalaku. Temannya kembali berkata, "Ah kau pun! Tuan kita ini tidak mungkin tahu kebejatan istrinya itu, dan istrinya juga tidak mungkin mengerjakan itu atas izinnya? Karena yang sesungguhnya terjadi adalah istri tuan kita ini selalu membubuhkan sesuatu ke dalam minuman yang diminum oleh tuan kita ini sebelum tidur. Istrinya itu selalu membubuhkan obat tidur ke dalam minumannya, sehingga beliau selalu tidur sangat lelap dan tidak mengetahui apa yang terjadi, beliau juga tidak dapat mengetahui apa yang dikerjakan istrinya. Setelah beliau tertidur, istrinya langsung berdandan dan keluar dari kamarnya sampai pagi. Ketika pagi datang, istrinya akan membangunkannya dengan ramuan khusus yang diletakkan di hidungnya." Ketika aku mendengar semua penururan selirku itu, aku merasakan seolah langit runtuh menimpaku. Malam kembali datang. Istriku baru pulang dari tempat pemandian, dan kami langsung makan malam seperti biasa. Selesai makan, aku meminta segelas minuman yang biasa aku minum menjelang tidur. Istriku pun segera mengambil segelas minuman dan diberikan kepadaku. Aku langsung mengambil minuman yang dibawanya dan aku berpura-pura seolah aku meminum minuman yang dibawanya itu. Kemudian aku berpura-pura tidur. Ketika melihat aku memejamkan mataku, istriku tiba-tiba berkata, "Tidurlah seperti orang mati. Demi Allah aku sangat membenci dirimu dan tampangmu, aku juga sudah bosan hidup denganmu." Setelah mengucapkan kata-kata itu, istriku bangkit dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya yang paling indah, memakai minyak wangi, mengambil pedang, dan kemudian keluar dari istana. Tanpa sepengetahuan istriku, aku mengikutinya dari belakang. Terus kukuntit dia melewati pasar-pasar di dalam kota sampai akhirnya dia tiba di pintu gerbang kota. Tiba-tiba kudengar istriku mengucapkan beberapa kalimat yang tak kupahami artinya, dan seketika, semua kunci yang menempel di gerbang kota berjatuhan dan gerbang kota pun terbuka. Istriku terus berjalan keluar, dan tanpa sepengetahuan dirinya, aku terus mengikutinya dari belakang. Ternyata yang ditujunya adalah sebuah benteng yang terletak di antara dua bukit. Di dalam benteng itu terdapat sebuah bangunan berkuhah yang dibangun dengan bahan tanah. Istriku memasuki bangunan itu, sedangkan aku terus mengawasi istriku melalui bagian luar bangunan itu yang kupanjat.

Rabu, 05 Mei 2010

Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.
Kemarau Telah Tiba

musim hujan kemarin meruncingkan rerumputan

angin desember melibas sampai mei

mengacaukan dedaunan, mengetuk-ngetuk pintu

anak-anak ketakutan, lantunkanlah adzan, lalu iqamat

prahara akan reda, kemarau menghembus tiba

ada yang mengendap-endap di dada, menyelinap pintu

dan kalbu, sekalipun lapis-lapis pintu itu begitu kokoh

tetapi lubuk hati ditembus juga oleh kupu-kupu

aku terkapar di antara bunga-bunga

kemarau merapat tiba

hari-hari meranggas, hitam kecoklatan

tidak seperti silver queen, semua berlalu saja

seperti angin di juli ini yang menyesaki hati

udara dingin dari pagi ke pagi

tetapi begitu matahari menari, rerumputan terbakar

seperti hatiku yang terbakar, hari-hari tidak menentu

jam dinding dari itu ke itu, melulu menunggu

datang-pergimu tak juga kutahu

tetapi, setiap yang tampak di banyak arah itu

mengisyaratkan puisi indah wajahmu

lalu, kapan puisimu itu menjadi puisiku?

kemarau telah tiba

Jogjakarta, 23 Juli 2009

---

Kilat-Kilat Cahaya

Oranye di Udara Gaza

Kilat-kilat cahaya oranye

di udara Gaza

Bukanlah bunga-bunga api rayakan tahun baru

Tapi tembakan roket, artileri, dan tank-tank serdadu

Israel, dan angin musim dingin menambah beku

Perempuan Palestina tak ada

yang keluar rumah

Anak-anak Palestina menggigil dalam ruang

Berdinding dingin dan pengap

Lampu-lampu padam, aliran air mati harap

Yang terus menghembus hanya angin musim dingin, riuh

Membekukan tubuh 1,5 juta

orang Gaza

Seperti patung-patung es

Jadi sasaran tembak Israel yang makin bengis

''Kami tak mau mati sia-sia,'' kata lelaki tengah baya

''Apa salah anak-anak, sampai hati rumah hangat

mereka hujani bom!'' histeria lelaki tua

Yang tentu saja tak berarti apa-apa

Ribuan rumah luluh-lantak bagai debu padang pasir

Udara beracun, tank-tank kematian membelah Gaza

Tak ada raung ambulans, tak ada obat-obatan

Tak ada makanan, terobek-robek kemanusiaan

Tapi, ada seorang perempuan jelita mengibarkan bendera putih

Sontak saja, serdadu Israel memburunya dengan peluru

Tepat di indah matanya

Dan jendela dan pintu rumah-rumah pun terbuka

Iring-iringan truk buruk mengangkut perempuan

Dan anak-anak, ke arah selatan

Banyak juga yang lari sembari menggendong anaknya

Tatapan mata trauma, terusir dari rumah mereka sendiri

Tambah malam langit tambah benderang

Bukanlah sebab bintang-gemintang

Tapi tembakan roket, artileri dan tank-tank

Israel, dan angin musim dingin memperparah

Luka Gaza, diharu-biru di tahun baru

Sementara itu tak ada adzan kemanusiaan dari arah

jazirah Arabia

Tak ada, membeku seperti istana-istana es mereka di Barat Benua

Di Gaza tak ada kehidupan, selain doa dan ketakutan

Jogjakarta, 1 Januari 2009

---

Ziarah Sunan Pandanaran

Tercatat sejarah : tepat di puncak Gunung Jabalkat

Entah jin ataukah malaikat

Perlahan membawa mereka mendarat

Seorang guru dan muridnya, keduanya makrifat

Tetapi tidak! Para kekasih tak perlu sayap untuk terbang

Dari satu tempat ke waktu, dari waktu ke tempat-tempat

Cukuplah mereka memusatkan niat

Selebihnya Allah yang menentu waktu dan ruang

Tepat di puncak Gunung Jabalkat

Tanpa tangga-tangga, sampailah makrifat

Tanpa tangga-tangga, namanya menjadi penerang

Selama hayat disebut-sebut ''Sunan Padhang Aran''

Nama yang menjadi penerang

Melewati sang Adipati Semarang

Nama yang menjadi penenang

Di detak-detak jantungnya mewiridkan Yang

Maha Penerang Yang

Maha Penenang

Allah ....

Ya, para kekasih tak perlu sayap untuk terbang

Ya, para kekasih tanpa tangga-tangga untuk sampai

Di Gunung Jabalkat, menapaki tangga demi tangga

Para peziarah sepertiku masih juga mencari-cari arah kiblat

Bayat, Klaten, 11 Agustus 2009

---

Bangun Tidur

tiap bangun dinihari

kukirim fatihah, tanda ingat pertama kali

agar kau menemaniku nanti

di saat aku berjalan ke arah sianghari

kusebut namamu berkalikali

di batas mimpi dan kenyataan

di tepi tempat tidur, menuju tidur yang lain

harap-harap cemas ini tak usai-usai

untuk pagi terindah yang disepuh matahari

bertumbuhan berjuta bunga

berlarian kijang keemasan, juga berjuta satwa

dari jendela kamarku, ini bukanlah mimpi

untuk sapa menyapa dengan bahasa

kasih sayang, hari-hari kusyukuri

untuk gerak gesit istri yang tak tua-tua

kejantanan cinta ini yang mengimbangi

maka, tiap bangun dinihari

kukirimi fatihah, tanda ingat pertama kali

agar kau mengingatku nanti

di saat aku dibangunkan, ke lain dinihari

Yogyakarta, 25 Juli 2009

---

Ziarah Maulana Maghribi

berapa tangga lagi agar sampai padamu, kanjeng maulana?

di tiap tangga ini masih basah jejak air wudlumu

aku pun meniru caramu membasuh wajah

barangkali saja dengan air yang sama

di tangga-tangga ini antara ada tiada, terdengar

al-qur'an dilagukan dalam langgam jawa

padahal engkau hadir dari arah matahari farisi

engkau mulyakan orang di sini

dengan sapaan santri dan kiai

samasekali tak ada tanda-tanda maghribi di tanah ini

selain hurup-hurup al-qur'an

bahkan tempat tidurmu pun amatlah jawa

yang tinggal cumalah sebutan "kanjeng maulana"

di perbukitan kapur selatan ini

masih berjaga doa-doamu, sehingga amarah samodra

luruh sampai di pantai, sehingga parangtritis jadi

pagar bumi bagi yogya

kanjeng maulana

berapa tangga lagi agar sampai padamu?

di puncak itu, tak kujumpa anakcucumu

selain aura doamu, sunyi itulah yang bertahta

Yogyakarta, 26 Juli 2009


SOLO DALAM MEI
di persimpangan
gadis menggemerincingkan gelang kaki nasib
lampu-lampu redup pada geliat pinggul
malam sedingin setajam jarum
bocah-bocah membayangkan harum ransum
ruh menjerit menggarami udara
saya di antara
kata-kata sederhana penuh gairah
sebuah harapan lebih berumur panjang
seperti jam tangan, selalu menunjuk ke jantung
mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
terpahat ribuan nama, dan ribuan tercecer
gedung dan rumah gemetar
menutup pintu
mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
di puncaknya ruh menjerit menggarami udara
kemana alamat?
kusahut tanda cahaya yang berkelebat
kusebar harum harapan sepanjang jalan kaki
kureguk kenyataan dari setiap ancaman
panorama kota, seperti
tangis kehilangan airmata
1999
KAKI-KAKI KECIL ITU MELUNCUR
Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Surat kabar tak henti dari teriakan
Darah tambah membasah di headline
Jam demi jam membayang harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, awan atas
Sebuah kota, diserang sepeda-sepeda motor
Mengerang, slogan, kata-kata hujatan
Seperti hujan
Fatamorgana atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa temaram
Jika gelap mulai mencat langit
Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar
Menghitung batu-batu
Seorang lelaki nanar menanti pacar
Menghitung batu-batu
Seorang gadis remaja di ujung gang
Langkahnya terserimpung
Seperti ada darah terpercik di wajah
Lampu-lampu limbung
Langkah-langkah pun urung
Piatu yang ragu turun ke jalan, tertunduk
Ia kembali ke pintu
Jika hari merapat ke pagi
Adzan subuh hanya luruh
Embun hanya jerit, tergelincir di sela batu
Kini matahari hanya tahu bahasa debu
Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Para politisi tak henti dari teriakan
Darah tambah mencacah di tanah
Hari demi hari hanya kemarau, menguap harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, asap atas
Sebuah kota, diserang parang
Menegak, slogan, kata-kata hasutan
Seperti nyala
Bola gas raksasa atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa kelam
1999
SEORANG GADIS BERORASI
- 14 Mei
Dipertemukan oleh turunnya orang-orang ke jalanan
Kemudaan megar di antara
Keringat, rasa haus, teriakan-teriakan nurani yang dirobek
Adakah lebih bening dari mata perempuan murni?
Bahasa kasihsayang menjelma
Ledakan api, coretmoret sajak-sajak garang di tembok
Aku terpanggang dua api suci
Bara lelaki disetrum kewanitaan
Dan robekan nurani nyala disulut airmata seorang ibu
1998
PANORAMA PERMULAAN HUJAN
- 20 Mei
Kami masih disiangi arus cahaya yang 32 tahun padam dalam hari-hari.
Melewati jalanan aspal.
Tugu.
Malioboro.
Air di simpang yang bertahun terkubur itu kembali berterjunan,
dalam warna pelangi disepuh senjahari.
Orang gentayangan.
Orang bercinta.
Di bawah payung, corong demokrasi.
Dan moncong senjata mengarah ke mukaku.
Tapi sajak demi sajak melesat ke udara,
menjelma api di tengah gerimis.
Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah,
kebebasan kami tenggak.
Mandi pelangi.
Dan entah bagaimana baris sajak Rendra itu
turut menggemburkan wajah-wajah tanah.
Dengan bahasanya, air mengikis kekuasaan batu-batu,
yang 32 tahun menyumbat sungai hari kami.
Tapi di alun-alun kota kenangan raja-raja hujan mengucurkan doa.
Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah.
Terpaan arus cahaya gerimis mengetuki kaca-kaca jendela kantor pemerintahan.
Orang-orang gentayangan.
Orang-orang bercinta.
Kami mendengar letusan pertama pohon cendana keramat dari barat.
Lalu meluncurlah ladang-ladang, menghamparkan hijau rumputnya.
“Oh, Tuhanku…..”
Demikianlah cara hujan membangunkan tidur negeri kemarau panjang.
Dan ketika arus gerimis menjelma cahaya menaburkan alif-alifnya ke bumi,
kami membaca harapan.
Kubah masjid kebiruan menambah gagah di hadapan.
Panorama yang hanya berakhir ke bilik hati para rumput.
Kami.
Mensujudkan diri.
1998
ODE PENCARI PINTU
Aku buka pintu
Jam di dinding masih berputar
Apa jantungku masih berdentang?
Sejak kamu dan anak-anak tak di rumah
Tatkala dari arah utara gelombang orang-orang itu
Menuntut jagung, minyak goreng, bukan keju
Aku buka pintu-pintu
Jam di dinding kota masih berputar
Apa jantungmu dan anak-anak masih berdentang?
Sejak aku tersedot arus gelombang orang-orang itu
Saat terjengkang oleh senapang yang hilang mata
Sebuah jawab. Hanya sebab sajak-sajak :
Yang diinjak bertahun
Di bawah kursi tak beranjak
Yang menyeruak, ingin menghirup hawa pagi hari
Aku buka pintu-pintu
Jam-jam telah rusak
Jantung tak lagi berdentang
Di sebuah jalan malam-malam
Seorang serdadu tersedu
Mencari kekasihnya yang
Terbakar
1998
SEEKOR DOMBA
seekor domba datang dari masakecil
mengembik di antara batu-batu
lelaki itu heran, bukankah padang rumput hijau
lama lenyap dari pandang, menggigil ia
di antara gantungan-gantungan tangan buskota
tapi tetes darah domba amisnya sampai ke mimpi
ia tak mengerti, bagaimana mungkin
berpuluh kemarau deras angin menghalau kemari
: sebuah rumah kecil, menjorok ke kali
di satu ruang kartonnya, ia disengat dingin
Gusti, Tuhannya ibrahim,
domba ini tersesat pulang!
1997
ODE UNTUK PENYAIR
Lelaki hitam itu
Lagi di pintu senjahari
Badannya mengeras
Menambah kemarau ranggas
Kayak dulu
Wajah gagu
Tapi mulut karatan itu toh berkata juga
;Rambut janggut kemlaratan ini
Tak kunjung terawat
Seperti sajak-sajak, kusisir nasib!
Tapi kayak dulu, yang gagu justru kami
Badan keras itu di mata tinggal sepenggal
Syair lagu melankolis
Seperti tomat yang diiris
Kami mengenalnya di penghujung tahun penuh hujan
Di pintu senjahari, kuyup hujan dan mimpi
Dengan teh hangat dan pisang goreng
Cerita ia pun berhalaman-halaman
Kesakitan ini memang kucari
Istri dan anak kukhianati
Gentayangan tak tentu tuju
Mengepalkan tinju pada apa yang kutemu!
Tapi itu tujuh tahun lalu. Yang gagu justru kami
Kenangan toh tersentak oleh kaing anjing
Berebut tulang
Lelaki itu datang untuk pergi
Ada degup jantungnya
Tapi apa hidupnya berdegup?
Ada sajak terbakar di jantungnya
Tapi apa ia sungguh penyair?
Lelaki hitam, kayak dulu, menghilang di ujung jalan itu
Dan lampu-lampu dan jalan itu menyiapkan terang
Barangkali di dadanya ada kota terakhir
Semoga
1997
MALAM SETELAH TURUN DI JALAN
pergi, sayang, suaramu
terlalu lembut untuk yang bernama keadilan
tapi itulah embun yang nyalangkan siapapun
agar tetap jaga di antara
jemputan batang-batang tangan
yang lebih baja dari baja
ke langit kota tiga detik menatap
mungkin sama juga langit jantungmu
deras dalam degup tapi
sunyi saja yang hingar
seorang lelaki lebih biasa pada mulut peluru
sehabis suara ditegakkan di siang
di jalan-jalan. orang-orang khusuk merobohkan
bendungan-bendungan nurani
tapi batang-batang serdadu
yang lebih baja dari baja
biarkan hidup tanpa cemas apa dan siapa
Tuhan di hati di jalan rakyat!
jerit lainnya
bukankah serdadu sama lahir dari ibu
kenapa yang tampak hantu melulu?
ya, itu di siang
tengah malamnya toh udara kelam mencium bau peluru
pergi, sayang,… istri cuma bisa ngelus
rahimnya yang mulai bergerak-gerak perlahan
di langit ada bermilyar mata meneteskan embun
suatu saat akan bangkit
turun di jalan-jalan, menumpulkan peluru
dan serdadu
1996
LAGU LANGIT MATI
Pagi itu ia lagi memanggil lagu langit
Bersila di sisi jendela
Lalu usai lalu menutup kitab
Lalu mulai menyurat lagi sajak-sajak tanpa
Tujuan yang terang :
Sepertinya dunia hanyalah
Jalan yang melingkar, tanpa halte
Tanpa terminal terakhir
Dan tempat ia berdiri mungkin saja suatu yang
Lebih mengering dari bunga-bunga di vas itu
Dan berjatuhan
Tapi lagu langit siapa
Apa turun dari udara berdebu?
Belum lagi sempat jawab, suara radio menajam
Yang di telinganya hanya memperlebar jurang
Dari pagi ini dengan pagi esok
Lalu istri mendekat makin menatah kekosongan mata
Juga gaduh anak tetangga berebut mainan
Ia masih di jendela
Ia masih mengharap sesuatu turun dari langit
1995
ORANG-ORANG BAYANGAN
Kami memasuki lagi jalanan berdebu
Yang dulu melukisi mata dan nasib
Yang berkedip-kedip dalam sebuah sajak
Yang dipenuhi kalimat lembut, tapi sesak tanjakan
Kecemasan memburu setiap ruang
Menggelepar ke sekitar, taman-taman mengering
Dan kami menjelma makhluk siang di dalamnya
Lalu kami dekap lagi tubuh kemlaratan itu
Selaksa bayang-bayang, kami bertukar tangkap
Masih dari trotoar, ke gang kecil dipenuhi rumah kumuh
Lalu langit kamar retak mengucuri pikiran dan
Perasaan kami membaca segala itu sebagai perlambang megah
Yang mungkin hanya berakhir di antara pusar surut ke paha
Menjadi lenguh dalam ledakan
(Ya mungkin ini hiburan kami satu-satunya yang anggur!)
Di situ barangkali kami menjadi makhluk siang yang
Sangsi akan diri sendiri, sekalipun
Kami hanya beroleh keringat serta airmata
Untuk dijadikan mandi malam
Untuk meredam teriakan-teriakan yang tersendat
Tapi selalu saja kami berkeras mengubur bayang-bayang
Tapi, “Ya Allah, kamilah bayangan itu sendiri di sela
jalanan berdebu.”
1994
JEMBATAN LURUS KE SENJA
Di tengah jembatan, aku atau kau antara dua nasib
Pasir Progo atau arus air deras di bawahnya
Tiba-tiba tubuhmu menggigil oleh airmata
Seperti pusaran sungai ini, memanjati tebingnya
(Mengingatkan tahun yang gemetar
September berdarah itu mengalir lagi padamu
Mengantarkan mayat tak berdosa ke muara)
Kini kengerian itu menjadi bahasa doa yang
Menggayuh cahaya langit, untuk disimpan
Dalam hatimu : sebuah kediaman yang sering mengeras
Sementara aku atau kau hanyalah dua bongkahan batu
Antara dua tebing yang senantiasa bersama
dalam mencari muara
Sepertinya kurasakan jalan jembatan ini
Kian meninggi, melewati waktu yang seperti tangga-
Tangga, lurus menuju sisa sinar senja
Bentangan sirothol mustaqim sepertinya lebih mendekat
Dan aku atau kau mesti melintas ke sana
Memilih arah satu antara dua dunia
Mungkin surga. Mungkin neraka